Niatnya mulia, ingin membantu perekonomian keluarga, meringankan beban suami dalam mencari nafkah.
Namum, Sriana tak menyangka jika kepergiannya mengais rezeki hingga ke negeri orang, meninggalkan kedua anaknya yang masih kecil – bukan berbuah manis, melainkan dimanfaatkan sedemikian rupa.
Sriana merasa diperlakukan bak Sapi perah. Uang dikuras, fisik tak diperhatikan, keluhnya diabaikan, protesnya dicap sebagai istri pembangkang, diamnya dianggap wanita kekanakan.
Sampai suatu ketika, Sriana mendapati hal menyakitkan layaknya ditikam belati tepat di ulu hati, ternyata ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Isyt : 24
“Ana, nanti makan diluar saja. Ini uang untuk beli menu yang dirimu sukai, kami sudah membawa masakan untuk nenek, tapi ada daging babinya, kamu tidak bisa makan.” Dia memberikan uang $200 kepada asisten rumah tangganya, paham kalau Sriana tidak boleh makan daging Babi.
“Terima kasih, Nyonya, Tuan.” Dia mengambil uang tersebut, lalu sedikit menunduk, setelahnya berjalan keluar.
Sriana memakai masker, celana jeans longgar, kaos panjang dilapisi jaket, dia berjalan sedikit jauh ke terminal bus. Jarak rumah nenek dengan anaknya jika pulang pergi setidaknya membutuhkan waktu satu setengah jam.
Sebelum sampai di terminal, ponselnya berdering, diambilnya dari tas selempang. Napas Sriana terdengar panjang, semuak itu sekarang kalau mendapatkan panggilan dari salah satu hama penghuni rumahnya.
Dia mencari tempat aman, agar tidak terdengar suara lampu lalu lintas, dan juga kendaraan, supaya tetap aman tanpa dicurigai oleh Dwita. Dilepasnya masker, ikatan rambut.
“Assalamualaikum,” sapanya lembut.
“Mbak, ini Ambar nesu. Sedari tadi ndak mau makan, ngerengek minta dibelikan baju kemeja putih sama tas sekolah,” tanpa membalas salam langsung mengutarakan maksudnya. Enggan juga menatap lama wajah jelek sang kakak ipar.
Ya, Sriana masih berjerawat. Sebab krim yang dia pilih tidak mengandung zat keras, sehingga pemulihannya sedikit lebih lama, tapi aman untuk jangka panjang.
“Mana dia, biar tak ngomong langsung,” pintanya dengan nada jauh lebih dingin.
Bulu mata Ambar terlihat basah, air mata pun masih tergenang di pelupuk.
Sungguh dia tidak tega. Namun harus dikeraskan hatinya agar tak goyah berakhir semuanya berantakan.
“Kamu tahu artinya sabar ndak, Ambar?” geramnya.
Setitik air mata jatuh, bukan sorot kesal melainkan ketidakberdayaan. Ambar mengangguk, melirik sang tante yang memegang sapu lidi, menatap bengis kearahnya.
“Tunggu sampai awal bulan Bunda gajian. Kalau ndak bisa sabar, keluar saja kamu dari sekolah! Percuma disekolahkan tapi adab sopan santunnya bukan ada kemajuan malah semakin jelek. Bunda disini kerja, bukannya memelihara pohon uang yang tinggal petik. Bisa menunggu sampai dua mingguan lagi tidak?!” intonasinya naik satu oktaf, dia tahan emosi, kesedihan agar matanya tidak bergetar.
Ambar mengangguk lemah. Langsung ponselnya direbut oleh Dwita.
“Mbak, kamu kok kasar banget sama Ambar?! Dia cuma minta dibelikan tas sama kemeja yang harganya murah, ndak nyampai dua ratus ribu. Kok yo nemen banget pakek ngancam_”
“Kalau menurutmu murah, kenapa nggak dirimu belikan? Kamu kan tantenya, ya sekali-kali kasih hadiah keponakanmu itu!” dia pun berbicara dengan nada tinggi sama seperti Dwita.
"Aku kan ndak kerja, uang dari mana Mbak?!” ia tidak terima dipojokan.
“Makanya jangan pilih-pilih kerja Wi! Ndak ada pengalaman tapi pengennya langsung dapat gaji besar, mana ada yang seperti itu. Kalau nggak kamu nyusul kesini saja, jadi TKW – lumayan gajinya sepuluh juta perbulan, daripada nganggur gelar sarjana ekonomi mu itu!”
“Ya nda sudi Mbak! Masak S1 jadi babu, habis dibully nanti aku sama satu angkatan _”
“Jangan lupakan fakta Dwi, kamu bisa sarjana ya dari pertolongan seorang TKW. Duit ku hasil mbabu lah yang menghantarkan mu sampai wisuda, kalau ndak ya cuma tamatan SMA,” pukulnya telak.
Dwita terdiam, berakhir mematikan secara sepihak sambungan telepon genggamnya.
“Mampus koen! Gaya elit ekonomi sulit. Gengsi selangit, tapi ndak ada modal sebagai penunjang. Cuma mengandalkan selembar kertas ijazah tanpa memiliki pengalaman kerja sama sekali. Dasar titisannya Sengkuni!” Sriana menggerutu, kembali memakai maskernya.
Dia menunggu bus seraya mengirim pesan suara ke Wulan, telinganya sudah disumpal headset.
“Kamu tenang saja Sri. Ambar, Tian – sudah tak belikan alat tulis satu persatu, terus aku nyetok isinya biar kalau habis ndak beli baru. Jadi, para Benalu itu nggak bakalan curiga.”
Wulan melakukan senatural mungkin, dia tidak memberikan berlebihan. Cuma satu buah pensil, pulpen yang bisa diisi ulang. Penggaris sederhana berharga murah, sehingga semisal suatu saat nanti ketahuan – kedua anak Sriana dapat memberikan alasan dibeli dari hasil memulung.
Ya, Agung, Toro, Wiyah, Dwita – tahu kalau darah daging mereka sepulang sekolah berjibaku dengan sampah. Para manusia tidak berhati nurani itu membiarkan saja, tak peduli.
Teruntuk barang besar yang mencolok mata, seperti tas, sepatu, pakaian – Wulan sudah berembuk dengan Sriana, dan mereka sengaja tidak membelikan.
***
“Mbak, kamu yakin kalau Sri stress itu masih ndak tahu jika kita manfaatkan? Pun, perihal perselingkuhanmu dengan mas Agung?”
Triani mendengus, dia tidak suka waktu liburnya diganggu. Apalagi sedang karokean di salah satu tempat hiburan bersama teman-temannya.
“Wes ta Dwi, kamu tenang saja! Dia tetap bodoh, tiap hari ya masih mengerjakan semua tugasku.”
“Kamu punya uang ndak Mbak? Aku mau jalan bareng keponakan calon suami, tapi duitku habis tak buat ke salon,” ia tak malu meminta.
“Minta sama mas mu, bukannya kalian baru ngejual hasil panen?” Triani tidak mau memberi.
“Mas Agung pelitnya minta ampun, seribu rupiah saja susah keluar dari saku celananya,” Dwita mencebik, kepalanya terasa pusing.
“Ya kalau gitu ndak usah jalan dulu! Aku juga lagi nggak punya uang,” dustanya, langsung memutuskan panggilan.
“Kamu kira aku Sriana apa? Yang bisa diporoti sesuka hati,” dengus Triani, kembali masuk ke ruangan karaoke.
***
“Kalian sing ngati-ati ya, jangan pancing amarah mereka. Kerjakan saja tugas rumah, semua ini cuma sementara sampai Bunda pulang,” Wulan tengah memberikan petuah. Dari apa yang tadi didengar lewat pesan suara – sepertinya Sriana sudah mulai membatasi pengeluarannya.
“Nggeh Bude.” Septian mengangguk, dirinya baru selesai makan siang dengan sayur bayam, Ayam goreng bumbu kuning.
Ambar masih lahap, menyeruput kuah beningan bayam. Gadis kecil itu terlihat lebih hidup, tidak selalu murung.
“Ndak usah dicuci Tian! Letakkan saja di lantai kamar mandi.”
Namun Septian tidak menghiraukan, dia tetap mencuci piring dan gelas bekas makannya.
Buah hati Sriana sekarang lebih terawat, tidak lagi kelaparan, cuma dikasih makan nasi putih sama kuah.
Setiap dua hari sekali, Wulan memasak menu hewani – kadang Ayam, kalau tidak ya Ikan, sayur mayur selalu tersedia. Dia belikan juga susu formula untuk pertumbuhan anak seusia Ambar serta Septian.
Kedua anak kecil itu bisa diajak bersandiwara, sudah terlatih karena sangat sering dijadikan tumbal demi menipu ibu kandung mereka.
***
Sriana tengah makan di toko Indonesia, menikmati satu mangkuk bakso dan segelas lemon tea hangat. Dia sudah kembali dari mengambil barang yang disebutkan nyonyanya.
Sebuah pesan masuk di aplikasi WhatsApp, dari Dimas suaminya Wulan.
Darah si wanita seperti mendidih, dia geram sekali. Sriana memperhatikan sekelilingnya, disaat kios terlihat sepi, cepat-cepat menghubungi Dimas.
“Mas Dimas ndak salah informasi ‘kan?”
.
.
Bersambung.
semoga berhasil
kacublik bikin para penghuni rumah Sri Podo teler sek Yo Ben Tian Ambar berhasil sek
semoga berhasil ambil Semua yg berharga,🤲🤲🤲
ada paparazi
lek Dimas?
naaaaaa kaaannnn
sudah lama hubungan mereka