Kiana Elvaretta tidak butuh pangeran. Di usia tiga puluh, dia sudah memiliki kerajaan bisnis logistiknya sendiri. Baginya, laki-laki hanyalah gangguan—terutama setelah mantan suaminya mencoba menghancurkan hidupnya.
Namun, demi mengamankan warisan sang kakek, Kiana harus menikah lagi dalam 30 hari. Pilihannya jatuh pada Gavin Ardiman, duda beranak satu yang juga rival bisnis paling dingin di ibu kota.
"Aku tidak butuh uangmu, Gavin. Aku hanya butuh statusmu selama satu tahun," cetus Kiana sambil menyodorkan kontrak pra-nikah setebal sepuluh halaman.
Gavin setuju, berpikir bahwa memiliki istri yang tidak menuntut cinta akan mempermudah hidupnya. Namun, dia salah besar. Kiana tidak datang untuk menjadi ibu rumah tangga yang penurut. Dia datang untuk menguasai rumah, memenangkan hati putrinya yang pemberontak dengan cara yang tak terduga, dan perlahan... meruntuhkan tembok es di hati Gavin.
Saat g4irah mulai merusak klausul kontrak, siapakah yang akan menyerah lebih dulu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Pindahan dan Benturan Budaya
"Ini koper kesepuluh, Kiana. Dan truk di depan bilang masih ada lima lagi. Kamu mau pindahan rumah atau mau buka cabang mall di ruang tamu saya?"
Gavin berdiri di tengah foyer mansion mewahnya yang biasanya lengang dan minimalis. Kini, area itu tampak seperti area kedatangan bandara internasional saat musim liburan. Tumpukan koper Louis Vuitton, Rimowa, dan kotak-kotak sepatu Hermes menggunung, menghalangi akses menuju tangga utama.
Kiana, yang sedang memberi instruksi pada kuli angkut, menoleh dengan kacamata hitam yang tersemat di kepala. Dia tidak terlihat merasa bersalah sedikitpun.
"Itu namanya kebutuhan dasar, Gavin. Kamu pikir kulit saya bisa tetap glowing dan rambut saya badai setiap hari cuma pakai air wudhu? Saya butuh amunisi," jawab Kiana santai sambil menunjuk kotak besar bertuliskan 'FRAGILE'. "Hati-hati, Mas! Itu isinya serum wajah seharga motor matic. Kalau pecah, Mas saya jual ke pasar gelap ya."
"Siap, Bu!" sahut kuli itu ngeri.
Gavin memijat pelipisnya. Rumahnya yang dulu tenang, dingin, dan monokrom kini ternoda oleh barang-barang Kiana yang berwarna-warni dan berisik.
"Kamar kamu di lantai dua, sayap kanan. Cukup luas untuk menampung ego kamu, tapi saya nggak yakin cukup buat nampung semua sampah bermerek ini," sindir Gavin.
"Sampah?" Kiana tertawa renyah, tapi matanya tajam. "Barang-barang ini nilainya lebih stabil daripada saham perusahaan kamu yang fluktuatif itu. Dan satu lagi, rumah ini..."
Kiana mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dinding abu-abu semen ekspos, lantai marmer hitam, perabotan besi dan kaca. Tidak ada foto, tidak ada bunga, tidak ada kehidupan.
"...rumah ini lebih mirip showroom mobil atau klinik dokter gigi daripada tempat tinggal manusia. Dingin. Kaku. Nggak ada jiwanya. Pantas Alea betah bakar-bakar sampah, dia pasti cari kehangatan."
Rahang Gavin mengeras. "Jangan mulai analisis psikologis murahan. Ini namanya minimalis modern. Efisiensi ruang."
"Ini namanya depresi arsitektural," koreksi Kiana sambil menyambar tas tangannya. "Biar saya yang atur ulang nanti. Sekarang, minggir. Saya mau mandi. Badan saya lengket gara-gara debu gudang."
Kiana melenggang naik ke tangga, meninggalkan Gavin yang berdiri kaku di antara tumpukan koper.
"Jangan sentuh apapun di luar kamar kamu!" teriak Gavin memperingatkan.
"Nggak janji!" balas Kiana tanpa menoleh.
Suasana damai di kediaman Ardiman resmi berakhir detik itu juga.
***
Matahari baru saja mengintip malu-malu dari ufuk timur. Jam dinding digital di dapur menunjukkan pukul 06.00 tepat.
Kiana menyeret kakinya menuju dapur dengan mata setengah terpejam. Dia mengenakan piyama sutra warna champagne dan robe senada. Rambutnya digelung asal. Nyawanya belum terkumpul sepenuhnya.
Bagi Kiana Elvaretta, hidup belum dimulai sebelum kopi masuk ke dalam aliran darahnya.
"Bi Inah," panggil Kiana dengan suara serak pada asisten rumah tangga yang sedang memotong buah. "Mesin espresso-nya di sebelah mana? Saya mau double shot."
Bi Inah, wanita paruh baya yang sudah bekerja sepuluh tahun di rumah Gavin, tampak bingung. Dia menunjuk ke arah rak gantung.
"Anu, Non... eh, Nyonya. Di rumah ini nggak ada mesin yang bunyi ngueng-ngueng gitu. Adanya ini."
Bi Inah menyodorkan toples kaca berisi bubuk hitam dan satu renceng kopi sachet instan rasa 'Mochaccino'.
Mata Kiana membelalak horor seolah Bi Inah baru saja menyodorkan racun tikus.
"Apa ini?" desis Kiana, mengangkat sachet itu dengan ujung jari telunjuk dan jempolnya. "Gula biang diabetes dicampur perasa kopi sintetik? Gavin minum ginian?"
"Bukan, Nya. Kalau Bapak biasanya minum kopi tubruk. Bubuk hitam disiram air panas mendidih. Pahit banget, Nya. Bapak nggak suka yang ribet."
Kiana mengerang frustasi. Dia meletakkan sachet itu kembali ke meja. "Pantas hidupnya pahit. Kopinya saja menyedihkan begini."
Tepat saat itu, Gavin masuk ke dapur. Dia sudah rapi dengan pakaian lari—kaos dry-fit hitam dan celana pendek yang menampilkan otot betisnya yang kencang. Dia baru selesai jogging keliling komplek. Keringat membasahi lehernya.
"Ada masalah apa lagi pagi-pagi?" tanya Gavin datar sambil mengambil botol air dingin dari kulkas. "Suara omelan kamu kedengaran sampai garasi."
"Kita perlu bicara serius soal manajemen dapur," Kiana berbalik, menatap Gavin tajam. "Kamu CEO perusahaan logistik multinasional. Aset triliunan. Tapi kamu nggak punya mesin kopi yang layak? Kamu mau membunuh saya pelan-pelan?"
Gavin meneguk airnya, jakunnya bergerak naik turun. "Saya minum kopi buat melek, bukan buat gaya-gayaan. Kafein ya kafein. Mau dari mesin lima puluh juta atau dari toples lima puluh ribu, fungsinya sama."
"Beda, Gavin! Itu namanya standar hidup!" protes Kiana. Dia membuka aplikasi belanja di ponselnya dengan cepat. "Saya pesan mesin baru sekarang. Nanti siang sampai. Jangan berani-berani kamu tolak paketnya."
"Terserah. Asal jangan taruh di meja kerja saya," Gavin tidak mau debat. Dia meletakkan botol kosong dan hendak naik ke atas untuk mandi. "Dan satu lagi, Kiana. Tolong kecilkan suara hairdryer kamu. Kemarin malam suaranya kayak mesin jet mau lepas landas. Tembok kamar kita sebelahan."
"Itu merek terkenal, Gavin. Teknologinya mutakhir. Anginnya kencang biar cepat kering. Saya kan wanita sibuk," bela Kiana.
"Saya nggak peduli mereknya apa. Alea tidur jam delapan. Kalau dia kebangun gara-gara suara bising dari kamar kamu, kamu yang harus nidurin dia lagi. Paham?"
Gavin menatapnya dengan tatapan mengancam yang serius.
Kiana mendengus. "Iya, iya. Cerewet. Padahal kamu sendiri kalau ngorok kayak knalpot bajaj."
"Saya nggak ngorok," bantah Gavin cepat, wajahnya sedikit memerah.
"Oh ya? Nanti malam saya rekam."
Gavin memutar bola matanya dan pergi meninggalkan dapur. Kiana menatap punggung lebar itu sambil tersenyum miring. Mengganggu Gavin ternyata hiburan yang lumayan menyenangkan untuk mengawali hari.
Namun, Kiana lupa satu hal. Di rumah ini, bukan cuma Gavin yang merasa terganggu dengan kehadirannya.
Di balik dinding partisi ruang makan, sepasang mata kecil mengawasi dengan penuh kebencian. Alea meremas boneka beruangnya. Dia mendengar percakapan itu.
Wanita itu mau mengubah rumah ini. Wanita itu mau mengganti barang-barang Papa. Wanita itu mau menguasai dapur.
"Nenek sihir," bisik Alea pelan. "Liat aja nanti."
Satu jam kemudian.
Kiana sudah mandi dan berpakaian rapi—setelan blazer navy yang pas badan. Dia siap berangkat ke kantor. Tanpa kopi yang layak, mood-nya sedikit senggol-bacok, tapi dia harus profesional.
Dia membuka pintu kamarnya di lantai dua, melangkah keluar sambil mengecek email di ponsel.
"Sinta, majukan meeting dengan vendor jadi jam sepuluh. Saya mau..." gumam Kiana pada ponselnya.
Dia berjalan menyusuri lorong menuju tangga. Lorong itu lantainya marmer licin yang baru saja dipoles oleh Bi Inah.
Kiana tidak melihat ke bawah. Dia terlalu sibuk membaca laporan penjualan.
Di ujung lorong, tepat sebelum tangga turun, terbentang seutas tali pancing transparan yang diikatkan kuat-kuat di antara kaki meja konsol dan pegangan tangga. Tali itu tipis, nyaris tak terlihat, setinggi mata kaki.
Di sudut lorong yang gelap, Alea menunggu sambil menahan napas. Dia sudah memperhitungkan semuanya. Dia belajar dari kartun Tom & Jerry.
Langkah Kiana semakin dekat. Hak stiletto 7 cm-nya berbunyi tak-tak-tak percaya diri.
"Oke, saya sampai sana lima belas menit la..."
Kaki kanan Kiana menyangkut di tali pancing itu.
"KYAAA!"
Tubuh Kiana terhuyung ke depan. Ponselnya terlempar dari genggaman. Keseimbangannya hilang total. Dia melayang jatuh tepat di bibir tangga.
Bayangan mengerikan melintas di benak Kiana: patah tulang leher, gagar otak, lumpuh, saham jatuh ke tangan Rio. Semuanya berakhir konyol gara-gara jatuh di tangga.
Dia memejamkan mata, bersiap menyambut benturan keras lantai marmer.
Tiba-tiba, sebuah lengan kekar menyambar pinggangnya dengan kuat.
HAP!
Kiana tersentak. Dia tidak menghantam lantai. Tubuhnya tertahan di udara, menggantung miring. Aroma mint segar dan sabun maskulin langsung memenuhi indra penciumannya.
Dia membuka mata.
Wajah Gavin hanya berjarak lima sentimeter dari wajahnya. Pria itu baru saja hendak turun tangga juga, sudah rapi dengan setelan jas kerjanya, dan refleknya sebagai mantan atlet basket saat kuliah ternyata masih berfungsi sempurna.
Tangan kiri Gavin mencengkeram pegangan tangga untuk menahan beban, sementara tangan kanannya memeluk pinggang Kiana erat-erat, menahan wanita itu agar tidak menggelinding ke bawah.
Posisi mereka sangat dekat. Dada Kiana menempel di dada bidang Gavin. Kiana bisa merasakan detak jantung Gavin yang berdegup kencang karena kaget.
Napas mereka beradu.
Untuk sesaat, waktu seolah berhenti. Kiana menatap mata Gavin yang cokelat tua. Ada kilatan kekhawatiran murni di sana, bukan tatapan dingin yang biasa.
"Kamu punya hobi baru? Terjun bebas?" tanya Gavin, suaranya serak dan napasnya sedikit memburu.
Kiana masih syok, tangannya secara refleks mencengkeram kerah jas Gavin. "A-ada tali... di situ ada tali..."
Gavin mengerutkan kening, lalu melirik ke arah kaki Kiana. Benar saja. Ada tali pancing yang putus menjuntai.
Gavin langsung paham. Dia menegakkan tubuh Kiana perlahan, memastikan wanita itu bisa berdiri tegak, tapi tangannya belum lepas dari pinggang Kiana.
"Kamu nggak apa-apa? Kakimu sakit?" tanya Gavin, nadanya berubah serius. Insting protektifnya keluar.
"Nggak... cuma kaget," jawab Kiana, merapikan blazernya dengan gugup. Jantungnya masih berdetak tidak karuan, dan dia benci mengakui kalau pelukan Gavin tadi terasa... nyaman.
"PAPA!"
Teriakan melengking memecah momen itu.
Alea keluar dari persembunyiannya. Wajah kecilnya merah padam karena marah dan kecewa. Rencananya gagal total. Musuhnya tidak jatuh, malah dipeluk Papanya.
"Jangan sentuh Papa!" jerit Alea histeris sambil berlari mendekat. Dia mendorong kaki Kiana sekuat tenaga, meski tenaga anak kecil itu tidak seberapa. "Lepasin Papa! Papa punya Alea! Papa punya Mama Sarah! Tante nggak boleh peluk-peluk Papa!"
Gavin melepaskan tangannya dari pinggang Kiana, lalu berjongkok menahan bahu Alea.
"Alea! Stop!" bentak Gavin. "Apa yang kamu lakukan? Kamu pasang tali itu? Kamu mau celakain orang?"
"Biarin! Biar dia jatuh! Biar dia pergi!" Alea menangis, memukuli dada Gavin. "Kenapa Papa tolongin dia?! Harusnya dia jatuh biar kakinya patah kayak di film!"
"Alea Ardiman!" Suara Gavin menggelegar.
Kiana terdiam melihat pemandangan itu. Alea bukan sekadar nakal. Anak ini terluka dan posesif. Dia melihat Kiana sebagai ancaman nyata yang akan merebut satu-satunya orang tua yang dia miliki.
"Cukup, Gavin," sela Kiana dingin. Dia memungut ponselnya yang untungnya tidak pecah.
Kiana menatap Alea. Tidak ada kemarahan di matanya, hanya kalkulasi dingin.
"Strategi penyergapan yang bagus, Alea. Tali transparan di area minim cahaya. Nilai sembilan untuk kreativitas," ucap Kiana datar.
Alea berhenti menangis, menatap Kiana bingung. Kenapa tidak dimarahi?
"Tapi eksekusinya nol besar," lanjut Kiana kejam. "Kamu lupa memperhitungkan variabel eksternal: Papa kamu. Kalau kamu mau mencelakai musuh, pastikan pelindungnya sedang tidak ada di tempat. Pelajaran pertama dalam perang: kenali medan tempur."
Kiana melangkah maju, menunduk sedikit ke arah Alea yang masih sesenggukan.
"Lain kali, kalau mau bikin saya jatuh, pakai oli. Lebih licin dan susah ditangkap," bisik Kiana, lalu menegakkan tubuh dan menoleh ke Gavin. "Didik anak kamu. Saya berangkat kerja. Dan Gavin..."
Kiana menunjuk dada Gavin dengan dagunya.
"...jantung kamu detaknya kencang banget tadi. Jangan-jangan kamu langgar pasal sepuluh?"
Tanpa menunggu jawaban, Kiana berbalik dan menuruni tangga dengan anggun, meninggalkan Gavin yang terpaku dan Alea yang melongo.