Setelah kematian istrinya, Nayla. Raka baru mengetahui kenyataan pahit. Wanita yang ia cintai ternyata bukan hidup sebatang kara tetapi ia dibuang oleh keluarganya karena dianggap lemah dan berpenyakitan. Sementara saudari kembarnya Naira, hidup bahagia dan penuh kasih yang tak pernah Nayla rasakan.
Ketika Naira mengalami kecelakaan dan kehilangan ingatannya, Raka melihat ini sebagai kesempatan untuk membalaskan dendam. ia ingin membalas derita sang istri dengan menjadikannya sebagai pengganti Nayla.
Namun perlahan, dendam itu berubah menjadi cinta..
Dan di antara kebohongan, rasa bersalah dan cinta yang terlarang, manakah yang akan Raka pilih?? menuntaskan dendamnya atau menyerah pada cinta yang tak seharusnya ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#3
Happy Reading...
.
.
.
(Masih Pov Raka yaa)
Raka mendudukkan dirinya di kursi ruang makan, lampu gantung memancarkan lingkaran cahaya kecil di atas tumpukan barang yang baru saja ia keluarkan dari kotak penyimpanan yang selama ini di sembunyikan oleh Nayla. Di depannya sekarang ada buku harian Nayla yang sudah ia selesai baca semua. Ada berlembar- lembar foto-foto lama seluruh keluarganya yang sedang tersenyum bahagia. Surat-surat yang setengah sobek dan sebuah amplop berisi surat pemeriksaan medis yang sebagian tidak ia ketahui.
Dia menatap buku harian itu lagi dengan tatapan penuh amarah. Setiap kata yang Nayla tuliskan seolah menuntunnya, memberi arah pada kemarahan yang selama beberapa bulan ini sudah bersarang di hati Raka.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu memejamkan mata. Bayangan wajah Nayla kembali melintas di benaknya. “Kamu tidak pantas di perlakukan seperti ini,” gumamnya pada diri sendiri. “Kamu tidak pantas diabaikan seperti sampah yang dibuang sembarangan seperti ini.”
Di dalam pikirannya, muncul beberapa nama yang ada dalam buku harian Nayla. Sosok ayah dan ibu yang selalu angkuh, saudara yang selalu mendapatkan perhatian dan kasih sayang penuh. Beberapa kerabat yang tidak pernah menganggapnya ada bahkan terkesan mendukung setiap perlakuan yang Nayla dapatkan. Mereka semua begitu jauh dari sosok sang istri.
Raka menekan jemarinya di pelipis, merasakan denyut yang semakin cepat. Ia tahu, rasa sakit di hatinya ini tidak akan hilang meskipun dirinya membenci dan membalaskan dendam. Tapi Raka ingin membuat mereka merasakan kehampaan yang sama, membuat mereka mengerti apa arti kehilangan. Bukan semata ingin melukai mereka tapi lebih tepatnya, Raka ingin memberi pelajaran dan menagih keadilan yang tak pernah di dapatkan Nayla.
“Ibuku pernah berkata membalas dendam itu tidak akan menenangkan." Raka bergumam dengan suara seraknya. “Tapi sisi lain hatiku tidak terima, aku tidak bisa membiarkan mereka hidup tenang di atas penderitaan kamu sayang." Ucapnya sambil mengusap foto Nayla.
Setelah mencoba untuk mencari informasi, Raka baru mengetahui jika keluarga Nayla termasuk salah satu pebisnis yang sukses. "Aku akan meminta keadilan untuk kamu. Biarkan publik tahu kebenaran semua ini, biar mereka semua tak bisa lagi berpura-pura untuk tidak tahu apa- apa.” Lanjutnya.
.
.
.
Entah kenapa malam ini keraguan tiba-tiba muncul di hati Raka. “Apa niatku sudah benar? Apa jika kamu masih hidup, kamu akan mendukungku untuk melakukan ini?” tanyanya pada diri sendiri.
Ia menutup kedua matanya, kembali memikirkan ulang rencananya. Bayangan apa yang akan terjadi ketika kebenaran akhirnya terungkap. Bukan sebuah pertengkaran tapi rasa bersalah di wajah mereka semua saat satu per satu fakta mulai muncul dengan sendirinya.
“Atau mungkin mereka akan marah, merasa malu atau bahkan kembali berpura-pura tidak tahu,” pikirnya. “Tapi paling tidak, mereka tidak bisa lagi menutup mata. Mereka tidak akan bisa lagi menyembunyikan fakta bahwa mereka sudah mengabaikan bahkan membuang anak mereka.” Ucap Raka meyakinkan dirinya.
Pandangan Raka kemudian tertuju pada anaknya yang sedang tertidur di sofa. Wajah Jingga tampak tenang dan polos. Anak kecil itu sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi dan apa yang mungkin akan menunggunya di masa depan.
Gadis kecil itu hanya sempat merasakan kasih sayang seorang ibu selama beberapa bulan saja. Setelah itu, ia tumbuh tanpa sentuhan hangat ibunya. Kini, Raka menyadari bahwa seluruh tanggung jawab untuk membesarkan dan mencintai Jingga sepenuhnya ada di tangannya.
“Papa tidak akan membiarkan kamu kesepian, Nak. Papa tidak akan membiarkan kamu merasa kurang kasih sayang,” bisiknya lalu menempelkan bibirnya di kening anak itu. “Papa akan membuat kamu tumbuh menjadi gadis yang bahagia. Papa juga akan membuktikan kepada mereka bahkan seluruh dunia bahwa ibumu pantas disayangi.”
Malam itu, Raka mulai menyadari sesuatu. Di dalam dirinya ada dua sisi yang bertolak belakang. Satu sisi adalah dirinya yang rapuh dan penuh penyesalan, sedangkan sisi lainnya dipenuhi kemarahan dan keinginan untuk membalaskan dendam.
Raka bangkit dari kursi dan berjalan ke jendela. Hujan di luar mulai reda, dan cahaya lampu jalan memantul di genangan air. Ia menatap keluar, seolah mencoba melihat masa depan yang belum pasti.
“Aku hanya ingin pengakuan. Aku ingin nama Nayla tidak lagi dianggap sebagai aib. Aku ingin anak kita tahu dari mana asal ibunya. Itulah keadilan yang sebenarnya.”
Sebelum mematikan lampu, Raka menatap foto Nayla di meja. Wajah itu masih terlihat lembut, meski kini kenangannya dibalut rasa kehilangan dan tekad yang kuat.
“Maafkan aku, Nayla,” bisiknya pelan. “Maaf karena banyak hal yang belum sempat aku katakan. Aku akan membuat dunia tahu bahwa kamu pernah ada dan bukan sebagai kesalahan, tapi sebagai cahaya yang tidak akan padam.”
Di luar, hujan benar-benar berhenti. Di dalam.
Raka merasa hatinya mulai menemukan arah baru. Jalan di depannya mungkin panjang dan berat, tetapi untuk pertama kalinya sejak Nayla pergi, ia tahu apa yang harus ia lakukan. Mencari kebenaran, menegakkan keadilan dan menebus semua penyesalannya selama ini.
.
.
.
Pagi itu langit tampak mendung. Udara masih menyisakan sisa hujan semalam, membuat jalanan terasa lembap dan penuh genangan air. Raka berangkat lebih awal menuju kantornya, berharap bisa tiba sebelum terjebak macet di jalanan. Ia menghela nafasnya ketika mobil-mobil di depannya berhenti nyaris tidak bergerak. Bunyi klakson bersahut-sahutan, membuat kepalanya terasa semakin berat.
Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Saat mobilnya berhenti di lampu merah, pandangannya tanpa sengaja tertuju ke trotoar di sisi kanan jalan. Di antara kerumunan orang yang sedang menunggu bus, matanya menangkap sosok seorang perempuan muda yang sedang berdiri sambil memegang payung lipat berwarna biru tua. Rambutnya terurai lembut, menutupi sebagian wajahnya. Ada sesuatu yang familiar dari cara perempuan itu berdiri. Ia terlihat tenang persis seperti kebiasaan Nayla semasa hidup.
Raka tertegun. Dadanya tiba-tiba berdebar cepat.
“Tidak mungkin…” bisiknya pelan. Ia menatap lebih tajam, berusaha memastikan pandangannya. Tapi jarak dan lalu lintas yang padat membuatnya sulit melihat dengan jelas. Sekilas, wajah perempuan itu menoleh ke arah mobilnya. Dalam sepersekian detik, Raka merasa benar-benar melihat wajah Nayla dengan senyum samar yang begitu dikenalnya.
Lampu lalu lintas berubah menjadi hijau, dan deretan mobil mulai bergerak. Raka masih terpaku beberapa saat, membuat pengemudi di belakangnya membunyikan klakson keras-keras. Ia segera menginjak pedal gas, tetapi pikirannya kacau. “Apa yang barusan kulihat?” tanyanya dalam hati. “Apakah aku hanya berhalusinasi?"
Sepanjang perjalanan menuju kantor, bayangan perempuan itu terus terlintas di pikirannya. Raka berusaha meyakinkan diri bahwa itu hanya kebetulan, mungkin seseorang yang memang mirip dengan almarhum istrinya. Info terakhir dari orang suruhannya, keluarga Nayla masih berada di Singapura.
.
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak yaa...