Seorang pemuda berusia 25 tahun, harus turun gunung setelah kepergian sang guru. Dia adalah adi saputra.. sosok oemuda yang memiliki masa lalu yang kelam, di tinggalkan oleh kedua orang tuanya ketika dirinya masih berusia lima tahun.
20 tahun yang lalu terjadi pembantaian oleh sekelompok orang tak di kenal yang menewaskan kedua orang tuanya berikut seluruh keluarga dari mendiang sang ibu menjadi korban.
Untung saja, adi yang saat itu masih berusia lima tahun di selamatkan okeh sosok misterius merawatnya dengan baik dari kecil hingga ia berusia 25 tahun. sosok misterius itu adalah guru sekaligus kakek bagi Adi saputra mengajarkan banyak hal termasuk keahliah medis dan menjadi kultivator dari jaman kuno.
lalu apa tujuan adi saputra turun gunung?
Jelasnya sebelum gurunya meninggal dunia, dia berpesan padanya untuk mencari jalan hidupnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarif Hidayat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 Insiden kecil
"Maaf, aku baru saja mendengar Anda akan menjual guci itu dengan harga sepuluh juta. Bolehkah saya memeriksa keasliannya?"
Seketika, seluruh pasang mata mengalihkan perhatian ke sumber suara tersebut. Mereka melihat seorang pemuda dengan pakaian yang sedikit lusuh berjalan perlahan membelah kerumunan, mendekati kios Sabdi.
"Eh, i-ini... Sobat, apakah Anda serius ingin membelinya?" Sabdi merasa sedikit terselamatkan dengan kemunculan pemuda itu. Ia segera memanfaatkan kesempatan ini untuk melepaskan diri dari tekanan Robert dan ketiga preman bawahannya.
"Tentu saja. Tapi, izinkan saya memeriksa guci itu terlebih dahulu," jawab pemuda yang tak lain adalah rayan.
"Ah, ya, ya! Silakan, Anda boleh memeriksanya," kata Sabdi dengan antusias, langsung menyodorkan guci itu.
Namun, belum sempat guci itu berpindah ke tangan rayan, sebuah benda tajam melesat cepat menghantam guci tersebut.
Wusss! Prak!
Guci itu terlepas dari genggaman Sabdi, pecah berkeping-keping di lantai akibat tebasan pisau yang dilemparkan oleh Robert.
"Dasar bajingan! Bocah bau kencur dari mana kau berani-beraninya ingin merebut barang milikku?!" teriak Robert dengan tatapan tajam yang penuh ancaman kepada rayan.
"Robert! Beraninya kau...!" Sabdi menggertakkan giginya menahan amarah, menyaksikan barang dagangannya hancur. Ia bahkan tidak menyadari kapan Robert menggunakan teknik pisau terbangnya.
"Hais... sayang sekali," lirih rayan, menunjukkan kekecewaan melihat guci itu telah tiada.
"Sobat, maafkan aku. Aku yang kurang hati-hati terhadap bajingan itu," Sabdi merasa bersalah pada pemuda di hadapannya.
"Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Mungkin keberuntunganku sedang kurang baik hari ini," jawab raya, mengabaikan tatapan Robert yang kini menatapnya dengan niat membunuh.
"Robert, sudah cukup kau membuat kekacauan di tempatku! Apa kau pikir aku tidak berani melaporkan perbuatanmu ini pada Tuan Paul?" Sabdi tak kuasa menahan emosinya. Ia segera mengeluarkan ponselnya, berniat menghubungi Tuan Paul.
"Oh, kalau begitu, kau boleh mencobanya," Robert menyeringai, menatap Sabdi dengan pandangan meremehkan. "Kurasa kau sudah begitu ketakutan, bukan? Bahkan ayahmu sendiri belum tentu memiliki nomor ponsel Tuan Paul. Beraninya kau berbicara omong kosong seolah punya hubungan dengannya!"
"Akh, sial! Aku lupa kalau memang tidak mungkin punya nomor Tuan Paul," gumam Sabdi, tersadar akan kebodohannya.
"Masih berani melawan Bos Robert? Sepertinya kau memang harus diberi sedikit pelajaran," ujar salah seorang preman. Ketiga bawahan Robert itu langsung menerjang Sabdi dengan sangat cepat.
"Kalian! Mau apa kalian?!" Sabdi terkejut melihat serangan mendadak itu.
"Tentu saja memberimu sedikit 'pengertian' karena terus melawan," jawab preman itu sambil melayangkan tinjunya, diikuti oleh dua rekannya yang menyerang dari arah lain, menutup semua celah Sabdi untuk melarikan diri.
Semua pengunjung menahan napas. Nasib pemilik kios itu sudah dipastikan akan berakhir buruk. Sementara Robert sendiri menyalakan rokoknya, menikmati pertunjukan yang sebentar lagi akan dipersembahkan oleh ketiga anak buahnya.
Wusss! Bam!
Tepat ketika serangan ketiga preman itu hanya berjarak beberapa senti dari Sabdi, mereka merasakan sebuah kekuatan maha besar mendorong tubuh mereka hingga terpental jauh.
Brak!
"A-apa yang terjadi?" Semua orang terkejut menyaksikan ketiga preman itu tiba-tiba terlempar tanpa melihat penyebabnya.
Bahkan Robert sendiri menyipitkan matanya, bingung mengapa ketiga anak buahnya bisa terpental.
"I-ini... apa yang terjadi?" lirih Sabdi. Tak ada yang lebih terkejut darinya, apalagi melihat ketiga preman itu langsung tak sadarkan diri.
"Bedebah! Siapa yang berani menyerang anak buahku secara tiba-tiba?! Cepat tunjukkan dirimu! Jangan bersikap seperti pengecut melakukan penyerangan menyelinap tak tahu malu!" teriak Robert sambil menyapukan pandangannya ke segala arah. Ia berasumsi, pasti ada seorang ahli bela diri yang cukup tinggi mencoba membantu Sabdi.
Namun, setelah beberapa saat, sosok yang dicarinya tak kunjung keluar dari keramaian. Robert langsung melompat ke hadapan Sabdi.
"Tampaknya kau tidak ingin keluar, ya? Baiklah! Kalau begitu, aku akan mematahkan tangan bocah ini terlebih dahulu! Lalu, aku akan mematahkan kedua kakinya jika kau masih tidak mau menampakkan batang hidungmu!" ancam Robert, bersiap mengulurkan tangannya pada Sabdi.
"Ini...?" Robert terkejut. Tepat ketika tangannya hendak menyentuh Sabdi, tangannya tiba-tiba berhenti, kaku, dan tak bisa digerakkan meski ia terus berusaha keras.
'Apa yang terjadi? Kenapa tanganku tak dapat bergerak?' Pikir Robert.
Ia pun menggerakkan tangan kirinya untuk menyentuh Sabdi, tetapi hasilnya sama. Kini, kedua tangannya berhenti kaku di udara. Sabdi menatap Robert dengan linglung, ia akhirnya menyadari ada seseorang yang sedang melindunginya dari kejauhan.
"Bedebah! Keluarlah jika kau seorang pria, bajingan!"
"Aku yakin ini pasti ulahmu!" Robert meraung marah, entah pada siapa.
Namun, detik berikutnya, Robert merasakan tangan kanannya bergerak sendiri tanpa bisa ia hentikan.
Plak!
"Akhhh! Bajingan!"
"Apa yang terjadi? Kenapa dia menampar dirinya sendiri?" lirih salah seorang penonton. Mereka semua kebingungan. Tiga preman sebelumnya belum sadar, dan sekarang Robert tampak menampar wajahnya sendiri.
Plak! Plak! Plak!
"Akhhh!"
Tangan kanan dan kiri Robert bergerak bergantian, menampar wajahnya sendiri. Wajahnya seketika bengkak tak karuan.
"Tidak! Akhh! Am-ampun! To-tolong hentikan!"
Plak!
"To-tolong hentikan! Saya-saya mengaku salah! Senior, saya mengaku salah!"
Keadaan Robert tampak begitu menyedihkan. Mulut dan hidungnya terus mengeluarkan darah. Entah sudah berapa kali ia menampar dirinya sendiri. Saat ini, Robert merasa tak bisa berpikir jernih. Selain tidak dapat melihat siapa yang menggunakan cara aneh itu, ia juga tak habis pikir siapa sebenarnya orang yang membantu sabdi ini.
"Te-terima kasih, Senior! Terima kasih! Saya berjanji tidak akan mengganggunya lagi!"
Setelah merasakan kedua tangannya kembali normal, Robert segera membungkukkan tubuhnya ke segala arah karena tak tahu asal orang misterius itu.
"So-sobat, aku meminta maaf padamu. Di dalam kartu ini ada sejumlah uang seratus juta rupiah. Anggap saja sebagai kompensasi atas kesalahanku."
Setelah memberikan kartu berisi uang pada Sabdi, Robert buru-buru pergi dari sana dengan menyeret ketiga bawahan yang baru saja ia tendang wajahnya hingga tersadar.
Sementara Sabdi dan semua orang di sana tampak linglung. Tak ada satu pun dari mereka yang mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah di pasar ini sekarang terdapat makhluk halus? Kenapa para preman itu tampak ketakutan?" ucap salah seorang dengan kebingungan.
"Mana aku tahu. Aku bahkan tidak tahu kenapa para preman itu sebelumnya terpental. Belum lagi Robert yang terus menampar dirinya sendiri saat akan menyerang pemuda itu?" timpal yang lainnya.
Tanpa mereka ketahui, rayan yang sedari tadi berdiri diam saja, cukup merasa puas dengan Jurus Pengendali yang sudah lama ia pelajari dari gurunya.
Meskipun ia baru mencapai tingkat dasar, tetapi itu sudah cukup baginya untuk mengendalikan sesuatu — termasuk makhluk hidup — dalam waktu kurang lebih satu menit, dan sekitar satu jam pada sebuah benda. Semakin tinggi tingkatan pengendaliannya, semakin lama pula waktu yang bisa ia dapatkan dalam mengendalikan sesuatu.
'Aku tidak berharap efek pada manusia tidak jauh berbeda dengan binatang,' pikir rayan.
Tujuan utama dirinya mendekati kios itu sebetulnya karena ia tidak menyukai sikap Robert dan anak buahnya. Karena semuanya telah teratasi, rayan pun langsung pergi dari sana, meninggalkan semua orang yang masih dalam kebingungan.