Cerita ini mengisahkan perjalanan lima teman—Aku, Danang, Rudi, Indra, dan Fandi—yang memutuskan mendaki Gunung Lawu. Namun, perjalanan mereka penuh ketegangan dan perdebatan sejak awal. Ketika mereka tiba di pasar aneh yang tampaknya terhubung dengan dimensi lain, mereka terperangkap dalam siklus yang tidak ada ujungnya.
Pasar Setan itu penuh dengan arwah-arwah yang terperangkap, dan mereka dipaksa untuk membuat pilihan mengerikan: memilih siapa yang harus tinggal agar yang lainnya bisa keluar. Ketegangan semakin meningkat, dan mereka terjebak dalam dilema yang menakutkan. Arwah-arwah yang telah menyerah pada pasar itu mulai menghantui mereka, dan mereka semakin merasa terperangkap dalam dunia yang tidak bisa dijelaskan. Setelah berjuang untuk melarikan diri, mereka akhirnya sadar bahwa pasar setan itu tidak akan pernah meninggalkan mereka.
Keputusasaan semakin menguasai mereka, dan akhirnya mereka harus menerima kenyataan bahwa mereka ternyata tidak pernah keluar dari pasar setan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pradicta Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perdebatan yang Tak Berujung
Setelah beberapa jam melanjutkan perjalanan, ketegangan yang sebelumnya terasa samar-samar, kini mulai memuncak. Kami semua merasa lelah, baik secara fisik maupun mental. Cuaca yang tak bersahabat semakin memperburuk situasi. Angin yang bertiup kencang ditambah dengan hujan ringan yang turun tanpa henti, membuat perjalanan kami semakin sulit.
Kami sudah cukup jauh dari basecamp dan semakin mendaki. Jalur yang kami lewati semakin curam dan licin. Rudi yang berjalan di depan tiba-tiba berhenti dan menoleh ke belakang dengan wajah serius. “Gue rasa kita harus lewat jalur Candi Cetho. Jalur itu lebih aman dan lebih jelas. Kalau kita lewat sini terus, gue takut kita malah nyasar.”
Danang yang sudah mulai terlihat lelah tiba-tiba mengangkat wajahnya dengan tatapan penuh ketegangan. "Lo gila, Rud! Jalur Candi Cetho itu lebih jauh! Kita udah setengah jalan. Masa sekarang kita putar balik? Ini jalur lebih pendek walaupun lebih sulit. Kalau kita balik sekarang, kita buang-buang waktu."
Rudi yang mendengar itu langsung menjawab, "Tapi jalur ini berbahaya, Danang! Lo nggak lihat tuh, jalurnya makin susah! Banyak batu licin dan tanjakan yang curam. Kalau kita terus lewat sini, gue khawatir banget."
Aku yang berjalan di belakang mereka mulai merasakan ketegangan yang besar. Seperti ada api kecil yang mulai membesar di antara Danang dan Rudi. Mereka berdua tampaknya punya pendapat yang berbeda soal jalur yang harus dilalui. Rudi ingin lewat jalur Candi Cetho yang lebih aman meski lebih lama. Sementara Danang bersikeras untuk terus lewat jalur yang lebih pendek meski lebih berbahaya.
Indra yang berjalan di sampingku terlihat mulai cemas. “Wah, jangan sampai berantem, ya. Kita udah capek. Jangan nambah masalah dengan perdebatan kayak gini.”
Aku mencoba menengahi, "Gais, kita semua di sini buat satu tujuan, kan? Kita cuma mau sampe puncak dengan selamat. Kenapa nggak coba cari titik tengahnya aja? Kita bisa istirahat dulu terus diskusi lagi.”
Tapi kata-kataku malah seperti bensin yang menyiram api. Danang menatap Rudi dengan tatapan tajam, "Lo nggak ngerti, Rud. Lo pikir kita bisa terus putar balik dan ambil jalur Candi Cetho? Itu bakal nambah waktu lebih lama lagi. Kita udah capek banget. Kita nggak punya waktu buat mikirin itu."
Rudi balas dengan nada tinggi, "Danang, lo pikir gue nggak mikirin keselamatan kita? Gue nggak mau nanti ada yang jatuh atau malah celaka cuma karena lo ngotot pilih jalur ini!"
Aku dan Indra cuma bisa diam, mencoba untuk tetap tenang meski percakapan yang semakin panas itu mulai membuat perjalanan terasa canggung. Ketegangan itu benar-benar terasa. Semua usaha kami untuk menjaga suasana tetap ringan dan menyenangkan kini terasa sia-sia. Danang dan Rudi terus saling melempar kata-kata tajam dan tidak ada yang mau mengalah.
Aku merasa semakin khawatir karena ketegangan ini tidak hanya mempengaruhi dua orang itu, tetapi juga kami yang lain. Indra terlihat cemas, sedangkan Fandi yang biasanya optimis, kali ini juga lebih memilih diam.
“Sudahlah, cukup!” aku akhirnya angkat suara, berusaha untuk menenangkan mereka. “Kita semua lelah, jadi jangan bawa emosi kayak gini. Kita nggak akan nyampe ke puncak kalau begini terus. Coba kita cari solusi yang lebih baik.”
Danang menatapku dengan mata penuh frustrasi. "Tapi gue yakin kalau kita terus di jalur ini, kita bakal lebih cepat sampai. Kalau Candi Cetho, itu bakal makan waktu lebih lama!"
Rudi yang sudah mulai redam amarahnya menghela napas panjang. “Lo masih mikirin waktu, Danang. Gue mikirin keselamatan. Kalau kita lewat jalur ini, mungkin kita cepat, tapi kita juga bisa kena masalah yang nggak terduga. Cuaca yang nggak jelas, jalur licin... Gue nggak mau kalau ada yang kenapa-napa.”
Indra yang dari tadi diam akhirnya ikut berbicara, “Tapi, kalau kita terus berdebat begini, malah makin lama dan nggak menyelesaikan masalah. Kita harus inget, tujuan kita bukan cuma sampai puncak, tapi sampai puncak dengan selamat.”
Aku melihat ke arah Rudi dan Danang. Masing-masing dari mereka terlihat mulai lelah dan frustasi. Rudi tampak seperti sudah kehabisan kata-kata, sedangkan Danang, meskipun tetap ngotot tampak lebih cemas dari biasanya.
“Gue setuju sama Indra,” ujarku dengan suara lebih tenang. “Kita bukan cuma lagi mikirin jalur, kita harus mikirin bagaimana caranya kita bisa sampai ke puncak dengan selamat. Semua pendaki pasti ngalamin dilema kayak gini. Yang penting, kita harus saling percaya dan memutuskan apa yang terbaik buat semua.”
Fandi yang dari tadi cuma mengamati, akhirnya angkat bicara. “Gue rasa kita harus segera ambil keputusan, Gais. Waktu terus berjalan dan cuaca juga nggak semakin baik. Kita bisa berdebat terus, tapi nggak ada gunanya kalau kita terus nyantai di sini. Kalau emang jalur ini lebih cepat, kita coba. Tapi kita harus lebih hati-hati dan jangan sembrono. Kita sepakat, kan?”
Rudi mengangguk pelan. “Iya, gue setuju. Kita lanjut lewat jalur ini, tapi kita harus lebih hati-hati dan perhatikan setiap langkah. Kalau ada yang merasa nggak kuat, kita berhenti dan istirahat.”
Danang, meskipun dengan wajah sedikit kesal, akhirnya mengangguk juga. “Oke, kita lanjut. Tapi lo semua harus siap. Jangan ada yang kendor.”
Kami semua kembali melanjutkan perjalanan meskipun ada perasaan canggung yang masih tersisa. Jalur yang kami pilih memang lebih pendek, tapi semakin lama kami berjalan, semakin terasa bahwa jalur ini jauh lebih sulit dari yang kami bayangkan. Batu-batu besar yang licin membuat langkah kami harus lebih hati-hati. Tanpa sadar ketegangan antara kami masih terasa, meskipun kami sudah sepakat untuk melanjutkan perjalanan ini.
Setiap kali kami berhenti untuk istirahat, aku bisa merasakan ketegangan teman-teman. Kami semua merasa lelah dan suasana semakin berat. Aku mulai berpikir, apakah keputusan kami untuk memilih jalur ini adalah keputusan yang tepat. Apakah kami terlalu terburu-buru?
Di satu sisi, aku tahu bahwa perjalanan ini adalah kesempatan yang langka. Tapi di sisi lain, aku juga mulai merasa takut karena kami semua sudah terlalu ambisius, tanpa benar-benar memikirkan risiko yang ada. Aku bisa merasakan perasaan cemas yang menyelimuti diri kami meskipun kami berusaha menyembunyikannya di balik tawa atau percakapan ringan.
Setiap langkah semakin berat dan kami mulai merasakan bahwa perjalanan ini lebih sulit dari yang kami bayangkan. Kami mulai menyadari bahwa pendakian ini bukan hanya soal fisik, tapi juga soal bagaimana kita bisa mengatasi ketegangan dan perbedaan pendapat yang muncul di antara kami.
Dan perjalanan kami pun terus berlanjut. Meskipun di bawah langit yang semakin mendung, kami tetap maju. Terus berusaha untuk mencapai puncak meskipun banyak hal yang mengganjal di hati kami masing-masing.