NovelToon NovelToon
Wajah Polos Penuh Jiwa Gelap

Wajah Polos Penuh Jiwa Gelap

Status: sedang berlangsung
Genre:Dikelilingi wanita cantik / Perperangan / Identitas Tersembunyi / Action / Mafia / Romansa
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Komang basir

Arga adalah remaja SMA yang selalu terlihat ramah dan polos, bahkan dikenal sebagai kuli pikul yang tekun di pasar tiap harinya. Namun di balik senyumnya yang tulus, Arga menyimpan rahasia kelam yang hanya diketahui sedikit orang. Ia diam-diam menyelidiki siapa dalang pembantaian keluarganya yang tragis, terbakar oleh tekad balas dendam yang membara. Perjalanan mencari kebenaran itu membawanya bertemu dua gadis tangguh bernama Kinan dan Keysha, yang ternyata juga anak-anak mafia dari keluarga besar yang menyamar sebagai murid SMA biasa namun tetap memiliki jiwa petarung yang kuat di sekolah. Bersama ketiganya, kisah penuh intrik, persahabatan, dan konflik berseteru di dunia gelap mafia pun dimulai, menyingkap tabir rahasia yang tersembunyi jauh di balik wajah polos mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komang basir, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

di balik senyum

“Sampai kapan aku harus seperti ini?” ucap Arga dengan wajah tegas, namun suaranya nyaris tenggelam dalam dinginnya udara lorong.

Langkah pelan terdengar di belakangnya, mendekat dengan ritme yang tenang tapi membawa tekanan. Sosok pria itu—Bara—berhenti di samping Arga. Ia menepuk bahu kanan Arga pelan, seolah ingin meredakan sesuatu yang sudah hampir meledak.

“Belum saatnya,” jawab Bara dengan suara rendah dan datar. “Tunggu hingga keadaan benar-benar terkendali.”

Arga menoleh perlahan. Matanya merah, bukan karena air mata, tapi karena api yang sudah terlalu lama dipendam. Ia tertawa kecil—tawa cekikikan lirih yang tak terdengar lucu. Lebih mirip suara retakan jiwa.

“Aku sudah terlalu lama menunggu, paman…” desisnya sambil menunjuk lantai dengan sorot mata membara. “Setiap hari aku memendam amarah ini. Dan paman masih memintaku diam?”

Bara menunduk. Wajahnya tetap datar, tapi bahunya tampak tegang. Ia tahu, Arga sudah mendekati batas. Kata-kata yang salah bisa memicu sesuatu yang tidak akan bisa dihentikan.

“Maaf…” ucap Bara akhirnya, dengan nada lembut. “Tapi ini semua demi kebaikanmu. Percayalah, kita belum siap—belum semua potongan berada di tempatnya.”

Arga menghela napas. Tangannya dimasukkan ke saku celana, langkahnya menyentuh tembok sempit lorong itu, lalu bersandar dengan pandangan kosong ke depan.

“Kebaikan, ya?” gumamnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri. “Lucu… hidupku dipenuhi luka dari orang-orang yang mengaku peduli.

Pamanku, istrinya, orang-orang di sekolah... semuanya menghancurkan aku perlahan. Dan sekarang paman yang katanya menelusuri penyebab masalah dan mencari tahu siapa dalang nya—masih menyuruhku bersabar?”

Bara memalingkan pandangannya, menatap dinding di depannya, seolah ada sesuatu di balik tembok itu yang lebih sulit dihadapi daripada Arga sendiri.

“Masih ada sesuatu yang belum kamu tahu…” ucap Bara akhirnya, lirih. “Dan saat kamu tahu, kamu akan mengerti… kenapa kau harus terus bertahan.”

Arga memalingkan wajahnya. Tatapannya mengarah lurus ke Bara.

“Kalau memang ada yang disembunyikan dariku… lebih baik kalian buka sekarang,” desisnya. “Sebelum aku mulai membongkarnya sendiri. Dan saat itu terjadi… aku tak menjamin apapun tetap utuh.”

Bara terdiam, namun di balik diamnya, ada gelisah yang tak bisa ia sembunyikan. Ia tahu: Arga bukan sekadar anak yang tersakiti. Ia adalah kunci dari sesuatu yang jauh lebih besar, lebih gelap, dan jika kunci itu berputar sebelum waktunya... mungkin bukan hanya pasar ini yang akan terbakar.

“Kini kekuatan kita belum cukup kuat untuk melawan balik. Dan yang lebih buruk…” Bara menatap sekeliling dengan gelisah sebelum kembali memusatkan pandangan pada Arga. “Musuh sedang mengincarmu. Mereka tahu siapa kamu sebenarnya.”

Kalimat itu membuat napas Arga terhenti sesaat. Tapi tak berlangsung lama—ia mengepalkan kedua tangannya, begitu kuat hingga buku jarinya memutih. Tubuhnya bergetar, bukan karena takut, tapi karena amarah yang sudah tak bisa ditahan.

“Siapa dia…?” desis Arga. “Kasih tahu aku… SEKARANG!” bentaknya, suaranya bergema di lorong sempit. “Aku jamin... semuanya akan menerima akibatnya karena sudah berani membunuh ayahku.”

Sorot matanya membara. Wajahnya bukan lagi wajah remaja yang tersakiti—tapi wajah seorang pemburu yang haus darah.

Bara tetap diam sejenak, menatap Arga dalam-dalam. Dendam itu… terlalu dalam. Terlalu pekat. Tapi ia tahu ia tak bisa membohongi Arga lebih lama.

“Aku belum tahu pasti siapa orangnya,” ucap Bara akhirnya. “Namun para anak buah sedang menelusuri. Ada jejak samar… tapi belum cukup untuk dipastikan. Jika kita bergerak gegabah—mereka akan menghabisimu lebih dulu.”

Arga hanya tersenyum dingin. Ia berjalan perlahan mendekati mayat pria yang sempat menghajarnya tadi. Langkahnya tenang, tapi aura yang terpancar dari tubuhnya begitu mencekam.

“Aku sudah tak peduli dengan keselamatanku,” gumamnya lirih, namun jelas terdengar. “Yang kubutuhkan… hanya nama. Dan darah.”

Ia berhenti tepat di samping mayat. Menatap tubuh yang tak lagi bernyawa itu dengan tatapan kosong.

“Aku ingin bebas… dan membunuh siapa pun yang ikut andil dalam semua ini,” ucapnya pelan, nyaris tanpa emosi.

Bara mencoba menahan napas. “Arga… kumohon. Tetap jaga reputasimu. Dunia masih melihatmu sebagai orang biasa. Itu keuntungan kita.”

Namun Arga tak menjawab. Ia hanya menunduk, menatap wajah tak bernyawa di bawah kakinya. Beberapa detik kemudian—

BRAK!

Sebuah tendangan keras menghantam kepala mayat itu, hingga terdengar suara patah yang kasar. Rahang bawah pria itu terlepas dan terpental ke sisi lorong. Darah menggenang perlahan, menciptakan garis merah yang mengalir pelan seperti simbol peringatan.

Bara terkejut, tapi tak berkata apa-apa.

Arga berdiri diam, napasnya berat. Di wajahnya masih ada sisa senyum, namun bukan senyum manusia biasa—itu adalah senyum dari seseorang yang mulai kehilangan batas antara benar dan salah.

“Kalau mereka mau berburu,” kata Arga tanpa menoleh, “pastikan mereka tahu… aku tidak akan lari. Aku akan menunggu.”

Lalu ia berjalan meninggalkan lorong perlahan, meninggalkan Bara yang masih terpaku. Hanya suara langkah sepatu Arga yang terdengar, menyatu dengan aroma darah, kemarahan, dan dendam yang belum tuntas.

“Ingatlah,” suara Bara terdengar lirih namun tajam, menghentikan langkah Arga yang mulai menjauh. “Jaga dirimu… tetap terlihat polos di mata dunia. Mendiang ayahmu… berpesan padaku agar aku menjaga dan menyembunyikan siapa dirimu sebenarnya… sampai waktunya tiba.”

Bara menatap punggung Arga dengan pandangan penuh beban. Ia tahu, yang ia hadapi bukan lagi sekadar anak yang terluka. Arga adalah warisan terakhir dari sesuatu yang lebih besar… dan lebih berbahaya.

Arga tidak menoleh. Ia hanya mengangkat tangan kanannya perlahan, melambai ke belakang tanpa kata. Gerakan itu tenang, seperti tanda bahwa ia mengerti... meski dalam hatinya, ia tahu: berpura-pura menjadi anak polos adalah siksaan paling kejam.

Begitu keluar dari lorong pasar yang gelap dan beraroma darah, raut wajah Arga berubah. Tatapan tajam dan amarah yang membara tadi sirna—digantikan dengan wajah tenang, polos, bahkan tampak ceria. Senyum tipis tersungging di bibirnya, seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Padahal langkahnya berat. Napasnya pendek. Dan luka di tubuhnya masih berdenyut menyakitkan.

“Benar-benar hidup yang melelahkan,” gumam Arga, menatap langit senja yang mulai memudar keunguan. Sinar matahari terakhir menyentuh wajahnya, menciptakan bayangan panjang di belakang tubuh kekar nya yang teguh berdiri.

Ia menarik napas dalam, lalu tersenyum—senyum ikhlas yang dipaksakan, bukan untuk kebahagiaan, tapi untuk bertahan.

Langkahnya kembali menapak jalanan sempit yang ia kenal luar kepala, menuju rumah pamannya yang dingin dan kasar. Rumah itu bukan tempat pulang… tapi tempat ia bersembunyi di balik topengnya.

Setiap senyum yang ia tunjukkan, setiap kepura-puraan jadi anak baik yang tak tahu apa-apa… adalah bentuk perlawanan halus yang ia lakukan terhadap dunia yang telah mencuri segalanya dari dirinya.

Sesampainya di rumah, Arga mulai membuka pintu secara perlahan.

"Aku pulang," ucapnya dengan nada tenang, seolah seorang remaja biasa yang patuh dan polos.

Namun begitu suara itu terdengar, suasana rumah yang remang dengan cahaya lampu kuning temaram langsung terasa mencekam.

Dari ruang makan, terdengar suara keras dan tajam, "Cepat sini! Berapa banyak yang kamu hasilkan hari ini?" bentak Bagas, paman nya dengan suara berat yang menggema di seluruh ruangan.

Arga menunduk sedikit, menyembunyikan ekspresi lelahnya, lalu melangkah pelan menuju arah sumber suara. Di ruang makan, ia melihat Bagas duduk di kursi kayu besar dengan kaki berselonjor, istrinya di samping, dan Rindi—gadis yang selama ini hanya bisa diam menyaksikan penderitaan Arga—menunduk sambil menyuap nasi.

Di atas meja, lauk pauk tersaji melimpah. Ayam goreng, sayur sop hangat, sambal segar, dan kerupuk. Aroma makanan itu menusuk hidung Arga—bukan karena lapar, tapi karena perihnya menyadari bahwa semua itu tak pernah ditujukan untuknya.

"Lihat apa? Sini dulu uang hasil kerjamu!" bentak Bagas lagi, kali ini lebih keras.

Arga menghela napas, perlahan merogoh saku celananya dan mengeluarkan uang lembaran yang sudah lecek. Uang itu hasil memikul karung dan barang belanjaan seharian di pasar. Seratus ribu. Uang yang seharusnya cukup untuk makan dan sedikit menabung. Tapi hari ini, ia juga membeli sesuatu yang penting.

"Ini, Om," ucap Arga pelan sambil menyodorkan uangnya.

Bagas meraih uang itu secara kasar. "Lama banget, dasar lamban!"

Ia mengamati jumlah uang itu lalu mendengus sinis.

"Hanya segini? Mana cukup buat hidupmu? Apa kamu pikir kamu bisa hidup enak cuma dari hasil seperti ini?"

"Maaf, Om. Aku... aku pakai sebagian buat beli ini," jawab Arga lirih sambil mengangkat kantong kresek berisi seragam dan sepatu sekolah.

Namun, alih-alih memahami, Bagas langsung berdiri dengan gerakan cepat dan...

PLAK!

Satu tamparan keras mendarat di pipi Arga.

Kepala Arga terpaksa menoleh akibat pukulan itu. Ia tidak bersuara. Tidak juga menangis. Ia hanya diam... dengan pandangan kosong. Dalam pikirannya, suara Bara kembali menggema.

> "Jaga dirimu agar tetap terlihat polos. Ayahmu... dia ingin kau tetap bertahan. tenang suatu saat Waktunya akan tiba."

"Mau jadi apa kamu dengan sikap seperti ini? Sudah diajarin jadi anak baik malah keras kepala. Sama aja kayak ayahmu... penjahat yang mati mengenaskan!" hardik Bagas, menatap Arga dengan benci yang tak jelas asalnya.

Rindi menoleh cepat ke arah Arga, hendak berkata sesuatu, tapi bibirnya hanya bergetar. Ia takut.

Arga menatap lurus ke mata Bagas. Tatapan itu... polos. Tapi dalamnya menyimpan sesuatu yang jauh lebih gelap—sesuatu yang belum saatnya muncul ke permukaan.

"Aku akan ke kamar," ucap Arga pelan, membungkuk singkat lalu berbalik

meninggalkan meja makan. Suaranya tenang, langkahnya ringan, namun di dalam dadanya, ada bara api yang menyala semakin besar.

Begitu pintu kamar tertutup di belakangnya, wajah Arga berubah. Senyum palsu memudar. Ia duduk di ranjang tipis berdebu, menatap dinding kosong.

"Hidup seperti ini... bukan pilihan. Tapi aku akan bertahan. Sampai waktunya tiba..." bisiknya dalam hati.

ia meletakkan tas kresek di sudut ruangan, lalu merebahkan tubuhnya ke atas kasur tipis.

Tatapannya mengarah ke langit-langit. Nafasnya pelan namun berat. Jemarinya mengepal, namun wajahnya tetap memaksakan senyum.

1
Corina M Susahlibuh
lanjut dong cerita nya Thor
nunggu banget nih lanjutannya
tukang karang: terimakasih atas penantian nya dan juga komen nya, bab apdet setiap hari kak di jam 12 siang🙏🙏
total 1 replies
Aixaming
Bener-bener rekomendasi banget buat penggemar genre ini.
tukang karang: makasi kak, maaf aku baru pemula🙏🙏
total 1 replies
Celia Luis Huamani
Wah, seru banget nih ceritanya, THOR! Lanjutkan semangatmu!
tukang karang: siap, bantu suport ya🙏🙏🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!