Kerajaan Galuh, sebuah nama yang terukir dalam sejarah tanah Sunda. Namun, pernahkah kita menyangka bahwa di balik catatan sejarah yang rapi, ada sebuah kisah cinta yang terputus? Sebuah takdir yang menyatukan seorang pangeran dengan gadis desa, sebuah janji yang terikat oleh waktu dan takdir.
Kisah tragis itu membayangi kehidupan masa kini Nayla, seorang wanita yang baru saja mengalami pengkhianatan pahit. Di tengah luka hati, ia menemukan sebuah kalung zamrud kuno peninggalan neneknya, yang membawanya masuk ke dalam mimpi aneh, menjadi Puspa, sang gadis desa yang dicintai oleh Pangeran Wirabuana Jantaka. Seiring kepingan ingatan masa lalu yang terungkap, Nayla mulai mencari jawaban.
Akankah di masa depan cinta itu menemukan jalannya kembali? Atau akankah kisah tragis yang terukir di tahun 669 Masehi itu terulang, memisahkan mereka sekali lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naniksay Nay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 – Api Dalam Sekam
Puspa melangkah masuk ke Kerajaan Galuh—sebuah dunia asing yang baginya bagai mimpi yang menakutkan. Kerajaan yang baru berusia kurang dari satu abad itu berdiri gagah di bawah kepemimpinan Raja Wretikandayun.
Meski masih muda dalam hitungan sejarah, Galuh telah menjelma simbol keagungan yang tak pernah terlintas di benak gadis desa sederhana itu.
Tembok batu menjulang, ukiran halus menghiasi setiap sudut, dan deretan abdi dalem berbaris rapi laksana semut pekerja. Semua tampak megah, begitu jauh dari pondok reyot tempat ia dulu memetik rempah dan membelah kayu. Kini, kehidupannya berubah. Ia tak lagi berlari di hutan, melainkan belajar menulis, membaca, mengenal tata krama bangsawan—hingga bagaimana tersenyum anggun tanpa menampakkan gigi.
Namun di tengah segala keasingan, ada satu hal yang membuatnya tenang: Wira. Pangeran yang pernah ia selamatkan di hutan itu kini menjadi penopang sekaligus jembatan menuju dunia barunya. Ia selalu hadir, mengajarkan hal-hal kecil, memastikan Puspa tak merasa sendirian.
Suatu sore, ketika Puspa duduk sendiri di taman istana, Wira menghampiri. Senyum tipis terlukis di wajahnya, lalu ia duduk di samping gadis itu.
“Kau semakin cantik, Puspa,” bisik Wira lembut, jari-jarinya menyentuh pipi Puspa.
Puspa terkikik, menepis tangan itu dengan malu-malu. “Kau semakin lihai merayuku, ya?”
Wira tertawa, suaranya yang dalam membuat dada Puspa bergetar. “Aku hanya berkata jujur. Kau mulai betah di sini?”
Puspa menunjuk jarik yang membelit tubuhnya sambil menghela napas. “Berjalan pun susah. Aku lebih suka di hutan, bisa berebut buah dengan beruk.”
Wira mengangkat alis, matanya berkilat jahil. “Kalau begitu, kau boleh bergelantungan di langit-langit istana.”
Puspa mendengus manja. “Kau ingin aku jadi tontonan?”
Tawa mereka pecah, ringan dan tulus. Hingga Puspa teringat sesuatu.
“Aku nanti akan belajar menari dengan Kencana,” katanya polos.
Sekilas cahaya di mata Wira meredup. Ia menoleh cepat. “Kau sudah kenal Kencana?” tanyanya dengan nada serius.
Puspa mengangguk sambil tersenyum. “Iya… dia cantik sekali, juga baik.”
“Oh…” Wira hanya berdeham, menunduk sebentar.
Puspa menoleh penuh tanya. “Kenapa? Katanya dia calon terkuat menjadi istri salah satu pangeran. Apakah kau di antaranya?”
Wira menatapnya, sorot matanya sarat kegelisahan. “Dari mana kau mendengar kabar itu? Puspa, bukankah jelas aku sudah membawamu ke sini?” ucapnya tegas.
“Aku hanya mendengar para emban berbisik…” sahut Puspa lirih, tak menyadari dinginnya suara Wira.
Wira menunduk, jemarinya meremas rumput di tanah. “Aku berharap Kakang Suraghana lah yang menggantikan Ayahanda.”
Puspa menyunggingkan senyum nakal. “Memangnya kenapa?”
“Karena dialah putra pertama,” jawab Wira pelan.
Puspa mengangguk-angguk. “Atau kalau tidak, Pangeran Sempakwaja saja yang menggantikan Ayahanda?”
Wira tersenyum tipis sambil melempar kerikil ke kolam. “Entahlah... Lagipula, katanya ia akan dinikahkan dengan putri Maharani Shima dari Kalingga.”
Puspa mencondongkan tubuhnya, menatap wajah sang pangeran dengan penasaran. “Kalau begitu kau? Wahai Pangeran Wirabuana Jantaka? Akan dinikahkan dengan siapa?”
Wira menoleh perlahan, sorot matanya melembut, lalu bibirnya melengkung tipis. “Aku hanya punya kamu.”
Puspa terkesiap sejenak lalu tersenyum nakal. “Selir?”
Wira menggeleng mantap, menatapnya dalam. “Tidak pernah terlintas di benakku. Hanya kamu, Puspa.”
Gadis itu menggigit bibirnya, masih ragu. “Tapi mengapa justru kau yang digadang-gadang menjadi penerus tahta?”
“Karena Kakang Suraghana belum siap. Aku berharap setelah menuntut ilmu di Kadewaguruan, ia mau menggantikan Ayahanda. Tahta adalah miliknya, bukan milikku,” jawab Wira tenang.
“Jadi mungkin Kencana akan disandingkan dengan Pangeran Suraghana?”
Wira tertawa kecil, penuh arti. “Aku rasa Kakang pun tak berkenan.”
“Kenapa begitu?” tanya Puspa dengan dahi berkerut.
Wira menarik napas panjang, lalu meraih tangan Puspa, menggenggamnya erat. “Puspa… hati-hatilah dengan siapa pun di istana ini. Mungkin kau menganggap Kencana baik, tapi..…” bisiknya.
Puspa terkekeh, mencoba mencairkan suasana. “Termasuk denganmu?”
Wira menunduk sedikit, menatapnya lekat. “Apakah itu berarti kau takut pada calon suamimu sendiri?” katanya lembut.
Mereka tertawa kecil, membiarkan percakapan bergulir ringan, sebelum seorang emban datang memanggil Puspa untuk berlatih menari di pendopo.
...Belati...
Sejak Puspa tiba di istana, Kencana menjadi satu-satunya teman wanita yang ia miliki. Gadis itu begitu anggun, tutur katanya halus, dan parasnya jelita. Sejak kecil, Kencana digadang-gadang sebagai calon prameswari—pendamping salah satu pangeran. Namun, kabar angin yang berhembus di istana mengatakan bahwa kehadiran Puspa telah menggeser kedudukan itu.
Meski begitu, Kencana selalu tampak ramah. Ia kerap mengajak Puspa bercakap-cakap, bahkan membantunya memahami adat istana. Suatu sore, setelah latihan menari, mereka duduk di taman kaputren yang harum oleh bunga kenanga.
“Katakan padaku, Puspa,” tanya Kencana lembut, sambil merapikan selendang di bahunya. “Dari mana asalmu? Kakang Wira tidak pernah bercerita… tiba-tiba saja ia membawa seorang calon istri.”
Puspa, yang polos dan percaya, tersenyum ceria. Ia merasa Kencana adalah teman sejati.
“Aku dari desa, Kencana. Ibuku seorang tabib. Beliau mengajariku banyak tentang ramuan dan tanaman.” Matanya berbinar bangga. “Kata orang-orang desa, ibuku dikenal sebagai dukun yang hebat.”
Kencana menahan seulas senyum, yang indah namun tidak sampai ke matanya.
“Oh, begitu… Ibuku juga sering sakit. Mungkin suatu hari aku bisa meminta ibumu membuatkan ramuan untuknya.”
“Jika aku tahu penyakitnya, itu tidak sulit,” jawab Puspa lugas.
“Kau pasti sangat hebat di desamu.”
Puspa menggeleng pelan, matanya redup. “Ibuku jauh lebih hebat, Kencana. Beliau bahkan bisa membuat penawar dari tanaman beracun.”
“Penawar racun?” Kencana mencondongkan tubuh, suaranya bergetar seolah kagum.
“Iya. Aku pernah salah meracik jamu hingga kulitku gatal-gatal. Ibu langsung tahu dedaunan apa yang keliru kugunakan, dan menolongku.”
Kencana terdiam sejenak, lalu bertanya dengan nada ringan. “Apakah di kerajaan ini juga ada tanaman berbahaya?”
Puspa menoleh, menunjuk ke arah taman kaputren. “Ada. Kau tahu bunga jarak? Minyaknya biasa dipakai untuk lampu. Tapi jika salah memerasnya… bisa jadi racun mematikan.”
“Wah, kau luar biasa, Puspa,” ujar Kencana, suaranya lembut seperti pujian tulus. Namun dalam hatinya, ia menyimpan kilatan lain—seperti seseorang yang baru saja menemukan senjata rahasia.
Puspa hanya tersenyum lugu, tidak menyadari bahwa kata-katanya bagaikan pisau tajam yang perlahan menusuk balik dirinya.
Sejak itu, di balik senyum manisnya, Kencana menyalakan api iri yang semakin membara. Ia benci melihat bagaimana Puspa merebut hati Wira, bahkan simpati Ibunda Ratu. Yang semestinya menjadi miliknya—perlahan tergeser oleh seorang gadis desa.
...Intrik...
Malam merayap pelan di balik jendela pendopo. Cahaya lampu minyak menari-nari, melemparkan bayang panjang pada ukiran kayu, sementara aroma dupa tipis menyelimuti ruang. Kencana datang tergesa ke ruangan tempat ayahnya duduk, wajahnya pucat tapi matanya menyala, seperti bunga yang menyimpan duri.
“Ayah,” bisiknya ketika pintu menutup rapat. Suaranya lembut, tapi ada tepi tajam di balik kata-katanya. “Gadis itu… ia anak dukun.”
Jagatpati, wajahnya kini mengeras, alisnya terangkat seperti busur yang siap menegangkan. Ia menatap putrinya, sebuah senyum tipis menghias bibirnya; senyum yang tak pernah menjanjikan kebaikan. “Anak dukun? Kau yakin, Kencana?” tanyanya tenang, matanya menimbang seperti pedagang yang menghitung untung.
Kencana merapatkan selendang di bahunya, suaranya menurun menjadi bisik yang beracun. “Aku mendengarnya sendiri. Puspa bangga menyebut ibunya tabib, katanya. Bisa membuat racun… dan penawarnya.” Kata ‘racun’ itu mengeluarkan hawa dingin, mengendap di udara malam.
Jagatpati tertawa kecil; tawa yang tidak riang. Ia mengetukkan jarinya di meja kayu, ritme kecil yang menandai rencana. “Bagus. Ini lebih dari sekadar berita,” gumamnya. “Duri dalam daging harus dipotong sebelum menusuk.”
Kencana menatap ayahnya, mata berbinar penuh kemenangan. “Benar, Ayah. Aku muak, muak harus berbagi panggung dengan orang yang tak sepadan.”
Jagatpati berdiri, bayang tubuhnya memanjang ke arah lentera. Suaranya mendatar, licik. “Yang patut berdiri di samping pangeran adalah engkau, putriku. Kau calon prameswari yang layak menyalakan pelita keturunan. Darah musti tetap murni.”
Kencana mendekat, suaranya hampir tak terdengar. “Kapan, Ayah? Kapan kita menyingkirkan Puspa? Aku tak tahan lagi bermain pura-pura.”
Jagatpati menyandarkan punggung ke kursi. “Sabar,” katanya. “Seperti menyingkirkan calon-calon lain, ini harus tertata rapi, tak tergesa. Wira selalu menjaga gadis itu. Kita tak boleh terburu-buru.”
Kencana menutup mata sejenak, menarik napas panjang. “Baik, Ayah. Aku akan bertahan. Aku akan menunggu momen yang tepat.”
Jagatpati melangkah ke jendela, menggenggam tirai tipis, menatap taman istana yang samar. “Kita mulai dengan benih yang kecil: sebarkan bahwa ia anak dukun yang menyebarkan ilmu hitam.”
“Ayah ingin aku memancing dari dalam istana?” tanya Kencana, wajahnya berubah manis seperti bunga yang merekah namun beracun di pangkalnya.
“Mulailah dari emban, dengan dipercikkan minyak, maka saat bara membara, api akan cepat menyebar” jawab Jagatpati. “Mereka yang paling dekat pada telinga istana dan rakyat. Ketika dijauhkan oleh rasa jijik dan kekhawatiran, luka itu nanti akan menganga sendiri.”
Di balik senyum manisnya, Kencana merasakan bisikan benci yang lama dipendam. Harga dirinya yang direndahkan, setiap tatapan yang ia kira dipatahkan oleh kehadiran Puspa, semua itu mengumpul menjadi tekad dingin.
Ayahnya, pembuat layar dengan ambisi tak tersembunyi, menyetujui langkah itu; bersama, mereka mulai menempa strategi, halus seperti benang sutra yang akan mengikat leher seseorang perlahan.
Di luar, lampu minyak berkedip sekali, seolah menandai kelahiran rencana yang teduh namun mematikan.