Berkisah mengenai Misha seorang istri yang baru saja melahirkan anaknya namun sayangnya anak yang baru lahir secara prematur itu tak selamat. Radit, suami Misha terlibat dalam lingkaran peredaran obat terlarang dan diburu oleh polisi. Demi pengorbanan atas nama seorang istri ia rela dipenjara menggantikan Radit. 7 tahun berlalu dan Misha bebas setelah mendapat remisi ia mencari Radit namun rupanya Radit sudah pindah ke Jakarta. Misha menyusul namun di sana ia malah menemukan sesuatu yang menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suamiku Itukah Kamu?
Misha hanya bisa terduduk di pinggir jalan, menangis. Air mata dan debu membasahi wajahnya yang kini penuh goresan. Lututnya terasa perih akibat terseret motor, namun rasa sakit di hatinya jauh lebih mendominasi. Ia menatap kosong ke arah tangannya yang kini tak lagi menggenggam tas. Amplop berisi uang dan ponselnya sudah raib dibawa jambret.
"Aku harus bagaimana?" bisik Misha, suaranya serak. Ia merasa sangat bodoh, datang jauh-jauh ke Jakarta hanya untuk kehilangan segalanya dalam sekejap.
Ribuan orang berlalu-lalang di sekitarnya. Sebagian besar menatapnya dengan tatapan acuh, seolah Misha hanyalah bagian dari pemandangan kota yang tak penting. Beberapa orang melirik, namun tak ada satu pun yang berhenti untuk bertanya.
"Kenapa kalian semua begitu kejam?" Misha menggumam, membiarkan tangisnya pecah. "Aku... aku tidak punya apa-apa lagi."
Seorang pria tua yang sedari tadi memperhatikan Misha akhirnya mendekat. Ia duduk berjongkok di samping Misha, lalu menyodorkan sebotol air mineral. "Minum dulu, Neng," katanya ramah.
Misha menatapnya dengan mata sembab. "Terima kasih, Pak." Ia meraih botol itu, membuka tutupnya, dan menenggak air hingga habis.
"Ada apa, Neng? Kenapa menangis di sini?" tanya pedagang itu.
Misha tidak bisa lagi menahan kesedihannya. Ia menceritakan semuanya, dari mulai ia pergi ke Jakarta untuk mencari suaminya, sampai kejadian penjambretan yang baru saja menimpanya.
Pedagang itu mendengarkan dengan penuh perhatian. Wajahnya yang keriput menunjukkan rasa prihatin. "Ya ampun, Neng. Kasihan sekali. Jadi sekarang Neng tidak punya uang dan tidak tahu mau ke mana?"
Misha mengangguk, air mata kembali mengalir. "Saya... saya tidak punya siapa-siapa di sini, Pak. Saya tidak tahu harus ke mana."
"Kalau begitu, ikut Bapak saja," kata pedagang itu. "Bapak ada warung kecil di dekat sini. Nanti Neng bisa bantu-bantu di sana."
Misha terkejut. "Tapi, Pak... saya tidak bisa bayar."
"Tidak usah bayar," jawab pedagang itu, tersenyum tulus. "Anggap saja ini bantuan dari sesama manusia. Di sini tidak semua orang jahat, Neng."
Hati Misha yang beku perlahan mencair. Ia menatap pedagang itu, matanya dipenuhi rasa haru. "Terima kasih banyak, Pak. Saya... saya tidak tahu harus bagaimana membalas kebaikan Bapak."
"Tidak perlu dibalas," kata pedagang itu sambil tersenyum. "Yang penting Neng selamat. Ayo, kita ke warung Bapak."
****
Pak Raharjo, pria paruh baya dengan senyum tulus, membawa Misha ke warung makannya. Sebuah warung sederhana yang bersih, terletak di pinggir gang kecil. Aroma masakan berbaur dengan wangi rempah, menciptakan suasana yang hangat dan menenangkan. Misha menatap Pak Raharjo dengan penuh rasa terima kasih.
"Ini warung saya, Neng. Namanya Warung Bahagia," kata Pak Raharjo sambil tersenyum. "Mungkin tidak sebesar restoran, tapi di sini Neng bisa makan dan punya tempat berteduh."
Misha menunduk, air matanya kembali menetes. "Saya... saya tidak tahu harus bagaimana membalas kebaikan Bapak."
"Tidak perlu dibalas," jawab Pak Raharjo, mengusap bahu Misha pelan. "Yang penting Neng mau bekerja keras. Di sini, kita bekerja sama-sama. Neng bisa bantu cuci piring, melayani pembeli, atau apa saja yang Neng bisa."
Sejak hari itu, Misha memulai babak baru dalam hidupnya. Hari-hari yang berlalu terasa lebih ringan. Ia bekerja dari pagi hingga sore, melayani para pembeli dengan senyum. Ia belajar banyak hal baru, dari cara memasak sayuran hingga melayani pelanggan. Misha menemukan kedamaian di warung itu. Ia tidak lagi merasa sendirian. Pak Raharjo dan istrinya, Ibu Lastri, memperlakukannya seperti anak sendiri.
Satu bulan, dua bulan, Misha mulai terbiasa dengan rutinitasnya. Suatu sore, saat ia sedang membersihkan meja, tiba-tiba matanya menangkap sosok yang sangat familiar. Seorang pria melintas di depan warung, mengemudikan sebuah mobil mewah berwarna hitam. Jantung Misha berdebar kencang. Pria itu... dia sangat mirip Radit.
Misha menjatuhkan lap yang ia pegang. Ia berlari keluar warung, tanpa memedulikan teriakan Pak Raharjo. "Mas! Radit!" teriaknya sekuat tenaga.
Pria di dalam mobil itu menoleh. Wajahnya... itu benar Radit. Radit yang terlihat lebih rapi, lebih sehat, dan lebih tua. Tatapan matanya tidak lagi dipenuhi kesedihan, melainkan ketenangan. Radit melihat Misha. Ekspresi wajahnya berubah. Ia terkejut, panik, dan bingung. Namun, ia tidak menghentikan mobilnya. Ia justru menginjak gas, melaju kencang meninggalkan Misha.
"Tidak! Mas!" Misha berteriak histeris. Ia mengejar mobil itu, berlari sekuat tenaga. Air matanya mengalir, membasahi pipinya. Ia tidak peduli dengan rasa sakit di kakinya, ia tidak peduli dengan teriakan orang-orang yang melihatnya. Ia hanya ingin mengejar mobil itu, mengejar Radit, suaminya.
"Mas Radit! Tunggu! Kenapa kamu lari?! Aku istrimu!" teriak Misha, suaranya parau.
Namun, mobil itu semakin menjauh. Jalanan yang ramai membuat Misha sulit untuk mengejar. Ia tersandung sebuah batu, dan jatuh tersungkur di aspal. Lututnya terluka, darah mengalir. Misha tidak lagi bisa mengejar. Ia hanya bisa menangis, menatap mobil Radit yang kini menghilang di balik keramaian kota.
Pak Raharjo dan Ibu Lastri segera menghampiri Misha. Mereka membantu Misha berdiri, mengobati lukanya. "Siapa itu, Nak?" tanya Pak Raharjo. "Kenapa kamu kejar dia?"
Misha hanya menggelengkan kepalanya. Ia tidak bisa bicara. Jantungnya terasa sakit, seolah ditusuk ribuan jarum. Radit masih hidup. Ia tidak meninggal. Ia meninggalkannya, begitu saja.
****
Suara ramai dan hiruk pikuk Pasar Malam Tanah Abang masih membekas di telinga Misha. Ia berjalan gontai, menenteng dua kantong plastik besar berisi barang dagangan untuk warung Pak Raharjo. Udara malam Jakarta terasa dingin, namun hatinya terasa lebih dingin. Bayangan Radit yang melintas dengan mobil mewah masih terus menghantuinya. Ia tidak bisa fokus. Pikirannya melayang, bertanya-tanya mengapa Radit tega melakukan itu.
Langkah kakinya yang lelah tiba-tiba terhenti. Sebuah mobil SUV mewah berwarna hitam melaju kencang, nyaris menabraknya. Misha menjatuhkan kantong belanjaannya, napasnya tercekat. Jantungnya berdebar kencang, ia merasakan kakinya lemas. Ia menatap mobil itu, pandangannya kabur karena air mata yang hampir jatuh.
Pintu mobil terbuka, seorang pria muda dengan wajah tampan namun penuh amarah keluar. Ia mengenakan kemeja mahal yang rapi, dan menatap Misha dengan tatapan tajam.
"Mata lo di mana?!" bentak pria itu, suaranya dipenuhi emosi. "Jalan pakai mata dong, jangan pakai dengkul!"
Misha menunduk, tidak berani menatap mata pria itu. "Ma... maaf, Mas. Saya tidak sengaja," ucapnya lirih.
Pria itu mendengus. "Tidak sengaja? Kalau tadi gue tabrak, lo mau gue tanggung jawab?!"
"Saya... saya sungguh minta maaf," Misha memohon. "Saya tidak fokus."
Pria itu melangkah mendekat, matanya menatap Misha dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tatapannya merendahkan, seolah Misha hanyalah sampah. "Dasar orang miskin. Kerjaan lo cuma bikin susah orang lain."
Misha mengangkat kepalanya. Ia menatap pria itu, tidak terima dengan hinaan itu. "Saya tidak meminta Bapak untuk menolong saya. Saya sudah minta maaf. Kenapa Bapak harus menghina saya?"
Pria itu tertawa sinis. "Menghina? Apa yang gue katakan itu fakta. Liat diri lo! Baju lusuh, barang bawaan kayak sampah. Lo pikir orang seperti lo pantas jalan di sini?"
Air mata Misha mengalir. Ia sudah kehilangan segalanya. Anak, suami, dan kini harga dirinya. Ia tidak bisa lagi menahan emosinya. "Memang kenapa kalau saya miskin?! Miskin bukan berarti saya tidak punya hati! Setidaknya saya tidak sombong seperti Bapak!"