Gyantara Abhiseva Wijaya, kini berusia 25 tahun. Yang artinya, 21 tahun telah berlalu sejak pertama kali ia berkumpul dengan keluarga sang papa. Saat ia berusia 5 tahun, sang ibu melahirkan dua adik kembar laki - laki, yang di beri nama Ganendra Abhinaya Wijaya, dan Gisendra Abhimanyu Wijaya. Selain dua adik kembarnya, Gyan juga mendapatkan sepupu laki-laki dari keluarga Richard. Yang di beri nama Raymond Orlando Wijaya. Gracia Aurora Wijaya menjadi satu-satunya gadis dalam keluarga mereka. Semua orang sangat menyayanginya, tak terkecuali Gyan. Kebersamaan yang mereka jalin sejak usia empat tahun, perlahan menumbuhkan rasa yang tak biasa di hati Gyan, yang ia sadari saat berusia 15 tahun. Gyan mencoba menepis rasa itu. Bagaimana pun juga, mereka masih berstatus sepupu ( keturunan ketiga ) keluarga Wijaya. Ia pun menyibukkan diri, mengalihkan pikiran dengan belajar. Mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin Wijaya Group. Namun, seiring berjalannya waktu. Gyan tidak bisa menghapus
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
04. Meminta Sekretaris.
“Bagaimana hari pertama kamu bekerja, sayang?” Tanya ibu Gista pada Gyan yang sedang duduk di atas sofa sembari bermain ponsel.
“Lumayan, Bu. Hanya saja aku sedikit merinding bekerja seorang diri di dalam ruangan. Ah tidak, lebih tepatnya di lantai sembilan belas.” Jelas pemuda itu.
“Tidak apa - apa. Jangan berpikiran yang aneh - aneh. Tetap saja fokus bekerja.” Imbuh ibu Gista sembari meminum secangkir teh hijau.
Ibu dan anak itu sedang berada di ruang keluarga. Menunggu waktu makan malam tiba. Si kembar masih berada di kamar mereka. Sedangkan ayah Dirga belum pulang dari kantor.
“Aku tidak berpikir aneh - aneh, Bu. Hanya saja, ibu coba bayangkan. Sendirian di dalam ruangan, selama delapan jam.” Imbuh Gyan lagi.
“Ibu paham. Nanti coba bicarakan dengan ayahmu.”
“Ayah pulang jam berapa, Bu?” Tanya Gyan kemudian.
“Mungkin sebentar lagi. Ayah mengatakan akan ikut makan malam. Kenapa tidak kamu tanyakan langsung padanya di kantor tadi?”
Gyan meletakkan ponselnya di atas meja. Kemudian menyandarkan punggung pada sandaran sofa.
“Tadi ayah sedang sibuk, Bu. Kata tante Mona ayah sedang berdiskusi dengan direktur keuangan. Jadi, aku tidak pamit padanya.” Jelas pemuda itu.
Ibu Gista menganggukkan kepalanya. Kemudian terdengar langkah kaki mendekat. Wanita berusia empat puluh delapan tahun itu pun menoleh.
Pria yang baru saja mereka bicarakan, ternyata sudah pulang dari kantor.
“Panjang umur sekali.” Ucap ibu Gista sembari bangkit. Wanita itu mengambil alih jas yang tersampir pada lengan sang suami.
Ayah Dirga melabuhkan sebuah kecupan hangat di atas kening wanita itu.
“Astaga. Ganen! Tutup mata.” Pekik Gisendra dari arah tangga. Pemuda itu pun menutup mata sang saudara kembar.
“Apa sih, Gi?” Ganen menepis telapak tangan sang adik kembar. Kemudian melanjutkan langkah menuju ruang keluarga.
Mereka sudah terbiasa melihat kemesraan ayah dan ibunya. Jika hanya sekedar mengecup kening, itu bukanlah hal besar.
Ayah Dirga bahkan tidak malu mengecup bibir sang istri di depan anak - anaknya.
“Ayah belum terlambat untuk makan malam bersama ‘kan?” Tanya ayah Dirga pada anak - anaknya yang sudah berkumpul di ruang keluarga.
“Belum. Tetapi, sepuluh menit lagi. Apa ayah yakin bisa selesai mandi dalam waktu secepat itu?” Gisendra menjawab pertanyaan sang ayah.
Ayah Dirga nampak berpikir. Sejak remaja hingga sekarang, ia memelurkan waktu paling cepat setengah jam untuk membersihkan diri.
“Ayah akan mandi setelah kita makan malam.” Putus pria paruh baya itu, tidak ingin anak - anak dan istrinya menunggu terlalu lama. Mereka sangat jarang bisa makan malam bersama seperti ini.
Gyan baru selesai kuliah S2, sebelumnya lebih banyak tinggal di apartemen selama masa belajarnya. Dan hanya pulang di akhir pekan saja.
“Tidak. Ayah mandi saja dulu. Ayah pasti perlu menyegarkan diri. Kami akan menunggu, ayah tidak perlu khawatir.” Kali ini Ganendra yang menjawab ucapan sang ayah.
Ayah Dirga hendak bersuara. Namun Gyan menyela lebih dulu.
“Ganen benar, Yah. Sebaiknya, ayah mandi dulu. Setelah itu kita makan, ada hal penting juga yang ingin aku bicarakan dengan ayah setelah makan malam nanti.”
Ayah Dirga menghela nafas pelan. Ia pun menuruti ucapan anak - anaknya.
Ibu Gista pun mengikuti langkah sang suami ke kamar untuk menyiapkan pakaian ganti pria itu.
\~\~\~
Setelah selesai makan malam, mereka kembali berkumpul di ruang keluarga. Namun, tak lama si kembar pamit naik ke kamar lebih dulu untuk mengerjakan tugas kuliah mereka.
“Apa yang ingin kamu bicarakan, nak?” Tanya ayah Dirga pada Gyan yang sedang duduk di atas sofa panjang bersama ibu Gista.
Sementara, pria paruh baya itu menempati sofa single.
“Aku ingin memiliki sekretaris, Yah.” Ucap Gyan tanpa basa - basi. Ia sudah mempertimbangkan saran Cia dengan baik.
“Sekretaris?” Ulang ayah Dirga dan ibu Gista secara bersamaan.
“Ya. Bukannya aku calon pemimpin? Aku juga harus memiliki sekretaris seperti ayah dan papi ‘kan?” Imbuh Gyan. Pemuda itu berbicara dengan tenang.
“Ada Dion nanti yang akan membantu kamu.” Ucap ayah Dirga.
Gyan menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. “Om Dion sudah berusia empat puluh tahun, Yah. Dan entah kapan aku siap menjadi seorang Direktur. Sampai saat itu tiba, aku tidak yakin jika om Dion masih sebugar sekarang.” Pemuda itu mengulang kalimat yang Cia ucapkan di kafe siang tadi.
“Bukannya aku ingin memberhentikan om Dion. Tetapi, dia bisa menjadi asisten ku. Membantu aku di kantor. Sementara, kalau ada sekretaris yang lebih muda, aku bisa membawanya bertemu dengan klien. Dan pekerjaan lain di luar kantor.” Imbuh Gyan. Ia harus meyakinkan ayah Dirga agar mencarikan sekretaris untuknya.
Setidaknya, Gyan punya teman selama bekerja di lantai sembilan belas.
AyahDirga nampak memikirkan apa yang Gyan ucapkan.
“Menurut kamu bagaimana, sayang?” Tanya pria itu pada sang istri.
Ibu Gista yang sejak tadi hanya diam menyimak, pun membuka suara ketika sang suami meminta pendapatnya.
“Aku sependapat dengan Gyan, bang. Kalian bisa merekrut para lulusan terbaru. Agar bisa mengajari dari awal seperti Gyan. Kalau yang sudah berpengalaman, aku takut tidak akan cocok bekerja dengan putra kita.”
Ayah Dirga mengangguk paham. Itu artinya mereka harus membuka lowongan pekerjaan untuk mencari sekretaris baru yang belum berpengalaman, untuk sang calon direktur utama.
“Aku akan mendiskusikan ini dengan kak Rich. Aku tidak mungkin mengambil keputusan sendiri.” Ucap ayah Dirga kemudian.
Obrolan pun berlanjut kemana - mana. Hingga pukul sepuluh malam mereka kembali ke kamar masing - masing.
Sampai di kamar, Gyan langsung mengirim pesan pada Cia. Ia mengatakan sudah meminta sekretaris pada Dirga.
Namun gadis itu tidak membalas pesannya. Gyan yakin jika Cia sudah tidur. Gadis itu memang tidak pernah bergadang, untuk menjaga kesehatan kulit dan tubuhnya.
Gyan menghela nafas pelan. Ia kembali mengirim pesan, meski tidak mendapatkan balasan. Setidaknya, Cia akan membaca saat bangun tidur besok.
‘Kita pergi ke kantor bersama.’
Setelah itu, Gyan menyimpan ponselnya di atas nakas. Pemuda itu bergegas ke kamar mandi untuk menggosok gigi dan mencuci kakinya.
Sebelum tidur, ia kembali memeriksa ponselnya. Dan tidak ada balasan pesan sama sekali.
“Dia benar - benar sudah tidur.” Decak pemuda itu.
Gyan tak langsung merebahkan diri. Ia membuka aplikasi galeri foto pada ponselnya.
Kurang lebih seribu foto tersimpan di dalamnya. Dan kebanyakan adalah gambar wajah Cia.
“Aku tau, rasa ini salah Cia. Tetapi, aku tidak tau bagaimana cara untuk menghilangkannya. Kamu penguasa terbesar di hati aku.” Ucap Gyan sembari mengusap layar ponsel yang menampilkan wajah Cia.
Foto yang ia ambil beberapa bulan lalu, menjelang akhir kuliah S2 mereka.
“Sepertinya, kita harus mengambil foto baru.” Imbuhnya lagi, kemudian menyimpan ponsel di atas nakas.
...****************...