Cinta itu manis, sampai kenyataan datang mengetuk.
Bagi Yuan, Reinan adalah rumah. Bagi Reinan, Yuan adalah alasan untuk tetap kuat. Tapi dunia tak pernah memberi mereka jalan lurus. Dari senyuman manis hingga air mata yang tertahan, keduanya terjebak dalam kisah yang tak pernah mereka rencanakan.
Apakah cinta cukup kuat untuk melawan semua takdir yang berusaha memisahkan mereka? Atau justru mereka harus belajar melepaskan?
Jika bertahan, apakah sepadan dengan luka yang harus mereka tanggung?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jemiiima__, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 8
...Eternal Love...
...•...
...•...
...•...
...•...
...•...
...🌻Happy Reading🌻...
Suasana gudang semakin sunyi. Lampu neon yang redup menyorot wajah Reinan yang menunduk, jelas tak nyaman dengan kedekatan Rui.
“Reinan... Kenapa lo selalu menghindari gue?"
Reinan berusaha melangkah mundur, namun Rui semakin menekannya.
"Lo tau kan kalo gue suka sama lo, tapi kenapa lo selalu berpura-pura gak tahu?"
"N-ngga Rui, g-gue gak ada mak--,"
"Tapi its okay. Sekarang, disini cuma ada gue sama lo. Kalo gue pengen lo sekarang harusnya gak masalah kan?" bisik Rui, matanya tajam menatap.
Tangannya terulur, dengan kasar menahan dagu Reinan agar menengadah.
Reinan kaget, matanya membesar. Ia berusaha mundur, tapi punggungnya sudah terhimpit pada rak berkas.
“Rui, lepas!” suaranya gemetar, namun Rui tetap menahan, wajahnya semakin mendekat.
Di sisi lain, Yuan baru saja menyelesaikan perjalanan dinasnya lebih cepat dari jadwal. Begitu sampai bandara, hal pertama yang ia lakukan adalah menghubungi Reinan. Namun, beberapa kali panggilan masuk hanya terdengar nada sambung ,tak ada jawaban.
Ia mencoba sekali lagi, kali ini malah terdengar suara operator: “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan.”
Wajah Yuan menegang. Tidak aktif? Reinan selalu bawa ponselnya... pikirnya dengan gelisah.
Dengan cepat ia menghubungi Taesung.
“Taesung, kamu di kantor?”
“Ngga Bos, saya sudah di rumah. Ada apa?”
“Coba cek, Reinan masih di kantor?”
“Saya nggak tahu pasti. Tadi sore dia bilang ada tugas tambahan.”
Jawaban itu hanya membuat Yuan makin resah. Ia menutup telpon, menghela napas panjang. Rasa tak tenang menyelimutinya. Seakan ada sesuatu yang tidak beres.
Tanpa berpikir panjang, Yuan langsung memutuskan mobilnya diarahkan menuju kantor, matanya menatap jalanan dengan penuh kecemasan.
Sesampainya di kantor Yuan melangkah cepat ke meja kerja Reinan , ia terhenti. Hanya ada tas kecil dan ponsel yang tertinggal di atas meja.
Alis Yuan berkerut, jantungnya berdegup lebih keras. 'Kenapa tas dan ponselnya tertinggal? Dia di mana?'
Yuan menoleh ke sekitar, suasana kantor sudah mulai sepi karena jam lembur hampir usai. Ia bertanya pada karyawan yang masih lewat,
“Apakah ada yang melihat Kim Reinan?”
Beberapa hanya menggeleng sambil bergegas pulang. Semakin lama, rasa gusar Yuan kian menjadi. Ia menekan nomor Taesung, berharap ada petunjuk.
“Taesung, kamu tahu di mana Reinan?” suara Yuan terdengar tergesa.
Taesung di ujung sana sempat terdiam, lalu menjawab, “Terakhir saya dengar, dia diminta bantu Rui menyusun berkas di gudang, Bos. Kenapa?”
Tanpa menjawab, Yuan langsung menutup telepon. Tubuhnya seketika diliputi firasat buruk. Dengan langkah lebar ia segera menuju arah gudang kantor, napasnya memburu, matanya penuh kekhawatiran.
Langkah kaki Yuan terdengar mendekat ke arah gudang. Rui yang sudah hampir menempelkan wajahnya pada Reinan spontan mundur. Suara sepatu pria itu membuat darahnya naik ke kepala. Dengan geram ia bersembunyi di balik rak-rak tinggi.
“Kali ini lo selamat lagi, Nan…” bisiknya pelan namun penuh racun. Ia mengepalkan tangan erat hingga buku jarinya memutih.
Pintu gudang berderit terbuka. Sosok Yuan muncul, matanya langsung menajam begitu menemukan Reinan berdiri kaku dengan mata berkaca-kaca. Nafas Yuan sedikit tersengal karena ia bergegas dari perjalanan dinas.
“Reinan…” panggilnya lembut.
Reinan menoleh, namun tubuhnya gemetar. Ia berusaha menahan tangis, tapi air matanya jatuh juga. Yuan cepat menghampiri, menangkup bahunya, lalu menunduk sedikit agar sejajar dengan wajah Reinan.
"Saya di sini. kamu gak kenapa-kenapa, kan? ” ucap Yuan, nadanya penuh penekanan.
Reinan terisak, lalu tanpa sadar membiarkan dirinya dipeluk Yuan.
“Aku ingin pulang…,” bisiknya hampir tak terdengar.
“Iya iya,kita pulang.” Yuan mengusap punggungnya pelan, lalu menggiringnya keluar gudang.
Namun sebelum pintu tertutup, Rui yang masih bersembunyi. Rahangnya mengeras, matanya membara penuh kebencian.
“Dia… selalu datang tepat waktu. Selalu jadi pahlawan lo, Nan…” gumamnya dengan suara rendah.
Pintu menutup, meninggalkan Rui sendirian di gudang, dengan amarah yang kian mendidih.
Pada akhirnya, Yuan mengantarkan Reinan pulang. Di sepanjang perjalanan, suara isakan Reinan memenuhi kabin mobil. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya, tak sanggup menahan perasaan yang bercampur aduk antara takut, lega, dan lelah. Yuan hanya menggenggam erat kemudi, menahan diri untuk tidak banyak bicara.
“Kalau mau nangis, nangis aja...,” ucapnya pelan.
Reinan tidak menjawab, hanya terisak lebih keras hingga bahunya bergetar. Yuan menoleh sekilas, hatinya mencelos melihat betapa rapuh gadis itu malam ini.
Tak lama, isakannya perlahan mereda. Ketika mobil berhenti di seberang asrama, Yuan melirik ,Reinan sudah tertidur dengan kepala sedikit miring ke kaca jendela. Wajahnya masih berbekas air mata, namun terlihat damai.
Yuan menarik napas panjang. Lalu mengambil selimut yang berada di jok belakang mobilnya.
“Tidurlah… kamu sudah cukup lelah hari ini,” bisiknya.
Yuan kembali duduk di kursi pengemudi. masih menatap Reinan sejenak. Awalnya ia hanya ingin berjaga sampai gadis itu benar-benar tenang, namun tanpa sadar, matanya ikut terpejam.
Malam itu, di dalam mobil yang terparkir di bawah cahaya lampu jalan, keduanya terlelap bersama ,Reinan di kursi penumpang, Yuan di kursi sopir. Hanya suara napas mereka yang terdengar, menenangkan setelah hari yang penuh kegelisahan.
Sinar matahari menembus kaca depan mobil, membuat Reinan meringis kecil. Ia menggeliat, lalu perlahan membuka mata. Suasana asing langsung menyambutnya ,ia sadar dirinya masih di dalam mobil.
Butuh beberapa detik untuk mengingat kembali kejadian semalam. Begitu menoleh ke samping, matanya melebar: Yuan tertidur di kursi sopir, kepalanya bersandar ke sandaran dengan wajah yang terlihat lelah tapi tenang.
Reinan menatap lama, jantungnya berdetak tak karuan. Rasa malu, bingung, dan entah sedikit hangat bercampur jadi satu. Ia baru sadar ada selimut yang menutupi tubuhnya, jelas itu ulah Yuan.
“Bisa-bisanya gue ketiduran.” gumamnya lirih, hampir tak terdengar.
Reinan hendak membuka pintu mobil, tapi bunyi klik kecil membuat Yuan terbangun. Ia mengusap wajahnya sebentar, lalu menoleh.
“Kamu sudah bangun?” tanyanya dengan suara parau, jelas baru bangun tidur.
Reinan buru-buru menunduk, wajahnya memerah. “M-maaf Pak saya ketiduran”
Yuan tersenyum tipis, agak canggung. “Iya. Kamu ketiduran… saya gak tega buat bangunin,
Bapak lagi, ayolah bukannya kamu udah setuju untuk gak manggil saya bapak lagi?”
"Eh iyaa, m-maaf Yuan" .
Suasana hening sesaat, hanya ada suara kendaraan yang lewat di jalan. Reinan menggenggam selimut erat-erat, masih merasa canggung.
“T-terima kasih Yuan” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan. Yuan mengangguk sambil tersenyum.
Yuan melirik arlojinya. Waktu sudah menunjukkan pukul 6 pagi lewat, artinya hanya sekitar dua jam lagi jam kerja dimulai. Ia menarik napas, lalu menoleh pada Reinan yang masih tampak kikuk memeluk selimut.
“Kamu mau izin nggak masuk hari ini?” tanya Yuan hati-hati.
Reinan menggeleng cepat, meski wajahnya masih sembab. “Nggak usah, aku… aku tetap kerja aja”
Yuan menatapnya sebentar, ada rasa khawatir yang sulit ia sembunyikan. Namun akhirnya ia mengangguk. “Kalau begitu, kamu bersih-bersih dulu sana . Saya tunggu di mobil. Gak usah buru-buru.”
Reinan sempat ragu, lalu turun dan berjalan ke arah asrama. Yuan memperhatikannya sampai menghilang di pintu, baru kemudian ia menyalakan mesin mobil. Bukannya pergi ke kantor, ia justru memutar setir menuju sebuah minimarket dan kedai kecil.
Tak butuh lama, Yuan kembali ke parkiran dengan dua kantong besar di tangannya: susu kedelai hangat, beberapa bakpao isi daging dan kacang merah, cakue renyah, serta bubur ayam dengan berbagai topping.
Saat Reinan keluar dari asrama dengan wajah yang lebih segar, ia menemukan Yuan sudah menunggu di mobil sambil menyusun makanan di kursi belakang.
“Kamu… beli semua ini?” Reinan mengerutkan kening, kaget sekaligus bingung.
Yuan mengangkat salah satu bungkus bakpao dan tersenyum canggung. “Saya gak tahu yang mana yang kamu suka. Jadi… say beli semua.”
Reinan terdiam beberapa detik. Ada sesuatu yang hangat menjalar di dadanya campuran haru dan rasa yang belum bisa ia beri nama. Ia menerima susu kedelai yang disodorkan Yuan, menunduk kecil sambil berkata lirih:
“Terima kasih…”
Yuan hanya menatapnya, senyumnya tipis tapi penuh arti.
Setelah sarapan sederhana di dalam mobil, suasana antara Yuan dan Reinan terasa lebih tenang. Meski masih ada sisa canggung, setidaknya Reinan tak lagi menunduk berlebihan setiap kali Yuan bicara.
Mobil hitam itu akhirnya memasuki basement kantor. Yuan turun lebih dulu, memberi isyarat agar Reinan berjalan di belakangnya supaya tidak terlalu mencolok jika ada yang memperhatikan.
Begitu tiba di lobby, mereka bertemu Minji yang baru datang sambil membawa totebag penuh buku catatan.
“Nanan!” panggil Minji ceria, lalu matanya bergeser ke arah Yuan yang berjalan tak jauh di samping Reinan. Ia spontan menahan langkah, kaget. “Eh… kalian bareng?”
Reinan langsung kaku. “Ah, i-iya… nggak sengaja ketemu di halte tadi. Terus… kebetulan arah bareng,” jawabnya cepat sambil tersenyum kikuk, jelas mencoba menutupi.
Minji menatap bergantian antara Reinan dan Yuan dengan tatapan penuh tanda tanya. Namun sebelum ia sempat menggali lebih dalam, Yuan menanggapi dengan tenang:
“Kalau kalian sudah sampai, langsung naik ke lantai 12. Hari ini ada briefing dengan departemen.” Suaranya datar, seperti atasan yang memberi instruksi, tapi sesaat matanya sempat melirik ke arah Reinan, seolah memastikan ia baik-baik saja.
“B-baik, Pak!” sahut Minji refleks, lalu menarik lengan Reinan sambil berbisik begitu Yuan menjauh,
"Nan, lo beneran cuma ketemu di halte?” tanyanya dengan nada curiga.
Reinan hanya mengangguk cepat, menunduk, pura-pura sibuk membetulkan totebagnya. Ia tahu Minji tidak akan berhenti bertanya, tapi saat ini, ia sama sekali belum siap untuk memberi jawaban jujur.
Briefing di lantai 12 selesai. Para karyawan magang berhamburan keluar dengan wajah lega, sebagian langsung kembali ke meja kerja masing-masing. Reinan sempat menoleh sekilas ke arah Yuan, tapi buru-buru mengalihkan pandangan begitu tatapan mereka hampir bertemu.
Sementara itu, Yuan melangkah kembali ke ruangannya. Tumpukan berkas sudah menunggu di meja, tapi pikirannya masih berkutat pada kejadian di gudang semalam. Rasa gelisahnya tak hilang. Ia menekan tombol intercom.
“Taesung, masuk sebentar.”
Tak lama, pintu diketuk pelan, dan Taesung masuk membawa tablet. “Ya, Bos? Ada yang perlu saya kerjakan?”
Yuan menutup map biru di tangannya, lalu bersandar. “Saya mau kamu bicara dengan mentor yang mengawasi Kim Reinan dan… anak bernama Yunrui itu.”
Taesung menaikkan alis. “Oke. Bicara tentang apa?”
“Pastikan tidak ada proyek, tugas, atau bentuk kerja sama apapun yang melibatkan keduanya. Pisahkan penugasan mereka.” Suara Yuan rendah tapi tegas.
Taesung sempat terdiam, mencoba membaca ekspresi bosnya. “Kalau boleh tahu… ada masalah antara mereka?”
Yuan menarik napas panjang, matanya beralih ke jendela. “Kemungkinan besar, iya. Tapi… saya tidak punya bukti yang cukup.”
“Bukti?” ulang Taesung, kini lebih serius.
“CCTV di area gudang semalam tidak berfungsi. Jadi saya tidak bisa memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Yang jelas…” Yuan mengepalkan tangannya di atas meja, suaranya mengeras, “…saya tidak akan membiarkan hal yang sama terulang.”
Taesung menunduk, memahami nada itu. “Baik, Bos. Saya akan atur semuanya.”
Yuan hanya mengangguk pelan. Namun sorot matanya tidak tenang—gelisah dan rasa bersalah masih terus menghantui.
Siang itu, setelah jam makan siang, Rui baru saja kembali ke meja kerjanya. Mentor divisi memanggilnya untuk memberi arahan penugasan.
“Lee Yunrui , mengenai tugas yang kemarin saya berikan ke kamu dan Reinan itu sudah saya suruh orang gantikan kamu . Ini saya beberapa dokumen konsumen, lalu kamu buat bahan presentasi nya terus hasilnya kasih ke saya ya”
Rui mengernyit. “Hah? Kenapa tiba-tiba dipisah? Bukankah awalnya kita diminta kerjakan laporan gudang bareng?”
Mentor itu hanya tersenyum kaku. “Arahan dari atas. Kamu cukup ikuti saja.”
Rui menahan napasnya, menahan amarah yang mendidih. Ia berjalan kembali ke mejanya, lalu membanting keras bolpoin ke atas meja hingga membuat Minji yang duduk tak jauh darinya melirik kaget.
“Sialan…” gumam Rui pelan tapi penuh geram. “Dia pasti ikut campur…”
Ia menatap ke arah ruang direktur dengan rahang mengeras. “Kim Reinan lagi-lagi dilindungi”
Rui menggertakkan giginya, menahan emosi. Tangannya meremas kertas hingga hancur. “Kalau bukan karena Yuan muncul semalam, semuanya pasti sudah selesai. Kali ini dia mencoba menjauhkan gue . Apa dia kira bisa selamanya halangi gue?”
Tatapannya berubah gelap, penuh dendam. Ia tersenyum miring, getir.
“Tenang saja, Nan… kali ini lo aman. Tapi gue janji, kesempatan berikutnya… lo nggak bakal bisa kabur lagi.”
***
Reinan baru selesai mandi, rambutnya masih basah tergerai, ia merebahkan tubuh di kasur asrama dengan wajah lelah. Jarak kantor ke asrama benar-benar menguras energi.
'Kalau setiap hari begini, gue bisa tumbang… sepertinya gue harus cari apartemen dekat kantor'
Selagi Reinan mencari-cari apartement di situs jual beli properti , sebuah pesan masuk dari Yuan.
Yuan:
'Reinan, sudah pulang?'
Reinan:
'Iya, baru saja. Kenapa?”
Yuan tersenyum samar.
Yuan :
'Besok weekend, kamu ada rencana?'
Reinan:
'Besok rencananya mau survei apartement, sepertinya terlau lelah bolak balik kantor-asrama'
Yuan :
'Dengan siapa?'
Reinan:
'Sendiri'
Yuan:
'Kalo gitu saya ikut ya, saya punya beberapa referensi apartement yang dekat dengan kantor'
Reinan;
'Apa gak ngrepotin?'
Yuan:
'Tentu tidak, besok saya jemput jam 9'
Reinan:
'Baiklah, Ngomong-ngomong kamu belum pulang?'
Yuan :
'Belum, masih ada beberapa dokumen yang harus diselesaikan segera'
Reinan:
'Kalo begitu selamat bekerja, sampai bertemu besok, selamat malam'
Tanpa sadar reinan tersenyum kecil saat sedang bertukar pesan dengan Yuan.
Di sisi lain, Yuan pun tersenyum ketika mendapatkan perhatian kecil dari Reinan.
'Iya, selamat malam juga' balasnya.