NovelToon NovelToon
Terjerat Cinta Ceo Impoten

Terjerat Cinta Ceo Impoten

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Obsesi
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Nona_Written

"Ta–tapi, aku mau menikah dengan lelaki yang bisa memberikan aku keturunan." ujar gadis bermata bulat terang itu, dengan perasaan takut.
"Jadi menurut kamu aku tidak bisa memberikanmu keturunan Zha.?"

**

Makes Rafasya Willson, laki-laki berusia 32 tahun dengan tinggi badan 185cm, seorang Ceo di Willson Company, dia yang tidak pernah memiliki kekasih, dan karena di usianya yang sudah cukup berumur belum menikah. Akhirnya tersebar rumor, jika dirinya mengalami impoten.
Namun Makes ternyata diam-diam jatuh cinta pada sekertarisnya sendiri Zhavira Mesyana, yang baru bekerja untuknya 5 bulan.

bagaimana kelanjutan ceritanya? nantikan terus ya..

jangan lupa Follow ig Author
@nona_written

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona_Written, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

4 perasaan yang sama

Cahaya matahari pagi menembus tirai kaca gedung Willson Corp lantai tiga puluh dua. Di balik meja kayu mahal berwarna mahoni tua, Zhavira duduk sambil menatap layar komputernya. Jari-jarinya menari cepat di atas keyboard, namun fokusnya tak sepenuhnya pada pekerjaan.

Pikirannya masih terjebak pada malam kemarin. Makan malam bersama Makes di sebuah restoran tersembunyi dengan suasana remang dan musik klasik lembut yang mengalun di latar. Tatapan Makes, kalimatnya, bahkan jeda di antara pembicaraan mereka—semuanya terpatri dalam benaknya.

Suara pintu ruangan CEO yang terbuka pelan membuyarkan lamunannya.

“Good morning, Miss Mesyana,” sapa suara yang dalam dan tenang itu.

Zhavira langsung berdiri dan tersenyum sopan. “Selamat pagi, Tuan Willson.”

Tatapan mereka bertemu. Ada jeda. Bukan sekadar karena profesionalisme, tapi karena keduanya tahu—hubungan mereka sudah bergeser. Bukan hanya atasan dan sekretaris. Tapi dua orang yang mulai saling membuka luka dan perasaan.

“Rapat dengan tim pemasaran jam sepuluh, dan setelah itu kita punya presentasi dengan investor dari Jepang,” ucap Zhavira, mencoba terdengar seprofesional mungkin.

Namun Makes hanya menatapnya sesaat, lalu mengangguk. “Baik. Saya... akan mengandalkanmu seperti biasa.”

Nada suara itu terdengar berbeda. Lebih hangat. Lebih pribadi.

Zhavira hanya menjawab dengan anggukan kecil. Tapi dalam dadanya, ada desir halus. Ia merasa seperti remaja SMA yang sedang jatuh cinta pada guru kesayangannya. Absurd, tapi nyata.

**

Hari itu berjalan cukup padat. Beberapa rapat berlangsung lancar, dan Zhavira menunjukkan keahliannya sebagai sekretaris yang efisien dan cekatan. Makes, seperti biasa, memimpin dengan tenang namun berwibawa.

Namun yang berbeda adalah. setiap kali Makes memberi arahan, atau sekadar menyebut namanya, nada suaranya mengandung sesuatu yang tidak biasa.

Tatapannya lebih lembut.

Dan saat tangan mereka tak sengaja bersentuhan ketika bertukar dokumen, ada keheningan kecil yang menggantung.

**

Menjelang sore, ketika matahari mulai turun, dan karyawan lain sibuk bersiap pulang, Makes tetap berada di ruangannya. Ia duduk di depan jendela besar, menatap langit Jakarta yang mulai keemasan.

Zhavira membawa masuk setumpuk dokumen untuk ditandatangani.

“Ini untuk agenda pekan depan, Pak,” ujarnya sambil menaruhnya di meja.

“Zhavira,” panggil Makes tanpa menoleh.

Langkahnya terhenti. “Ya?”

“Apakah kau... merasa canggung bekerja dengan saya sekarang?”

Zhavira terdiam. Lalu menggeleng pelan. “Tidak, Pak. Saya hanya... mencoba menjaga batas.”

Makes akhirnya menoleh. “Aku tidak ingin kau merasa terpaksa."

Hatinya seperti ditarik paksa.

“Tidak,” jawab Zhavira cepat.

Makes tersenyum samar. “Kalau begitu, izinkan saya tetap berada di dekatmu... tanpa tekanan. Tapi saya juga tidak akan pura-pura tak punya perasaan. Karena saya... menyukaimu, Zhavira. Bukan karena kau sekretarisku. Tapi karena kamu adalah Zhavira.”

Zhavira menunduk. Pipinya merona.

Diam sejenak.

Lalu ia berkata pelan, “Tapi aku masih butuh waktu.”

Makes mengangguk. “Aku akan menunggu.”

**

Malam itu, mereka masih bekerja hingga larut. Membalas email, menyusun laporan, dan mempersiapkan jadwal presentasi untuk proyek besar minggu depan.

Namun yang berbeda adalah... suasana.

Tak ada lagi kebekuan. Tak ada lagi sekat yang kaku.

Sekali waktu, Makes menyodorkan secangkir kopi yang dia buat sendiri di pantry pribadi.

Untuk pertama kalinya, Zhavira tersenyum lebar. “Rasanya pahit.”

Makes tertawa kecil. “Memang begitu. Sama seperti penantianku.”

Zhavira tertawa juga. “Berarti aku harus menambahkan gula?”

“Kalau kamu yang menambahkan, mungkin rasanya bisa manis.”

Obrolan kecil. Tapi hangat.

Hubungan mereka mungkin belum pasti. Tapi satu hal jelas—hati mereka mulai bicara. Dan di tengah tumpukan dokumen dan tekanan kerja, mereka menemukan satu sama lain, perlahan... namun pasti.

Ruangan kantor Willson Company pagi itu seperti biasa—penuh dengan ritme kerja yang cepat dan tegas. Namun ada satu hal yang tak pernah berubah sejak lima bulan terakhir: arah pandangan Makes Rafasya Willson.

Dia selalu tahu di mana Zhavira berada.

Bahkan sebelum gadis itu mengetik di mejanya, membuka laptop, atau sekadar mengambil kopi, Makes sudah tahu. Dari ruangannya yang berdinding kaca, pria itu seringkali berdiri dengan kedua tangan di balik punggung, memandangi satu titik yang tak pernah membuatnya bosan.

Zhavira.

**

Zhavira sendiri mencoba tetap profesional. Setelah makan malam emosional beberapa hari lalu, ia mulai membuka sedikit ruang untuk Makes. Ia tak lagi terlalu defensif, meski juga tak sepenuhnya menyerah pada perasaannya.

Namun ada satu hal yang tak bisa ia tolak. cara Makes memperhatikannya.

Dari senyum kecil saat ia menyapa, hingga bagaimana pria itu menyebutkan detail kecil tentang dirinya yang bahkan Zhavira sendiri nyaris lupa.

“Zha, kamu mengganti parfummu ya? Hari ini lebih lembut. Saya suka,” ujar Makes saat gadis itu mengantarkan dokumen ke ruangannya pagi itu.

Zhavira tertegun. Ia bahkan baru menyadari kalau tadi pagi tanpa sengaja memakai parfum lama miliknya—yang aromanya sedikit floral.

“Anda hafal parfumku?” tanyanya setengah tak percaya.

Pria itu menyeringai kecil. “Sepertinya saya memang terlalu memperhatikan kamu.”

Deg.

Zhavira buru-buru membalikkan badan, pura-pura sibuk merapikan map dokumen di tangan.

“Kalau tidak ada lagi yang perlu saya bantu, saya kembali ke meja, Pak.”

“Panggil aku Makes,” gumamnya pelan.

Zhavira hanya mengangguk cepat sebelum keluar. Tapi bahkan saat langkahnya meninggalkan ruangan, Makes tahu… senyum kecil itu tak bisa disembunyikan dari sudut bibir Zhavira.

---

Hari itu cukup sibuk. Rapat demi rapat membuat Makes hampir tak bisa mencuri waktu untuk sekadar menggodanya seperti biasa. Namun bahkan di tengah kesibukan, matanya selalu mencari satu sosok yang memberinya ketenangan.

Hingga sore menjelang, dan langit mulai temaram. Suasana kantor mulai sepi, dan hanya tinggal beberapa orang staf yang masih menyelesaikan laporan.

Zhavira masih di tempat. Menyelesaikan rekap mingguan untuk presentasi esok hari. Kepalanya tertunduk, rambutnya terurai di sisi kanan, dan jari-jarinya lincah di atas keyboard.

Makes membuka pintu ruangannya. Kali ini dia tak memanggil lewat interkom.

Ia berjalan mendekat.

“Aku pesan teh hangat dari pantry. Kamu suka chamomile, kan?”

Zhavira menoleh. Lagi-lagi dia dibuat takjub dengan betapa detailnya pria itu memperhatikan hal kecil.

“Terima kasih, Pak. Eh maksud saya, Makes,” katanya sambil menerima cangkir.

Suasana sepi membuat suara keduanya terdengar lebih pelan, lebih dekat, dan lebih... pribadi.

“Kamu lembur lagi?” tanya Makes sambil menyender di meja kerja di seberangnya.

“Harus selesai malam ini. Biar besok pagi nggak mepet.”

“Kamu terlalu perfeksionis.”

“Masa iya?” Zhavira menatapnya sejenak. “Bukannya anda juga begitu?”

“Tapi kamu lebih telaten,” ujarnya, lalu menambahkan pelan, “dan lebih cantik saat serius seperti ini.”

Zhavira terkesiap pelan. Pipinya merona, tapi ia memilih menunduk dan pura-pura mengetik lagi. Namun jari-jarinya membeku.

“Makes...” gumamnya.

“Hm?”

“Kita... nggak bisa terus seperti ini.”

“Seperti ini?”

“Sedekat ini.” Ia mengangkat wajahnya. “Aku... aku sekretarismu. Aku... nggak mau terlihat seperti perempuan yang mencoba naik jabatan lewat perasaan.”

Makes menatapnya dalam-dalam. “Aku yang jatuh cinta duluan, Zha. Bukan kamu. Dan kamu nggak minta apa-apa dariku. Aku tahu itu.”

“Ya, tapi orang lain nggak tahu.”

“Biar saja,” jawabnya mantap. “Aku tidak peduli. Yang aku tahu, setiap hari aku melihat kamu, dan setiap hari pula aku makin yakin aku tidak bisa kehilanganmu.”

Suara jam dinding menjadi satu-satunya jeda yang menggantung di antara mereka.

Zhavira menatap cangkir di tangannya. Ia tak tahu harus menjawab apa.

Namun yang pasti, perasaannya sudah tak bisa dibohongi lagi.

Dia pun akhirnya berkata pelan, “Aku... belum siap kehilangan pekerjaan ini, Makes.”

Dan Makes, yang menangkap makna lain dari kata-kata itu, hanya tersenyum tipis. “Dan aku belum siap kehilangan kamu, Zhavira.”

1
Kei Kurono
Wow, keren!
Nona_Written: ❤️❤️ terimakasih
total 1 replies
ladia120
Ceritanya keren, jangan sampai berhenti di sini ya thor!
Nona_Written: makasih, bantu vote ya 😘
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!