Fuan, seorang jenderal perempuan legendaris di dunia modern, tewas dalam ledakan yang dirancang oleh orang kepercayaannya. Bukannya masuk akhirat, jiwanya terlempar ke dunia lain—dunia para kultivator. Ia bangkit dalam tubuh Fa Niangli, permaisuri yang dibenci, dijauhi, dan dihina karena tubuhnya gemuk dan tak berguna. Setelah diracun dan dibuang ke danau, tubuh Fa Niangli mati... dan saat itulah Fuan mengambil alih. Tapi yang tak diketahui semua orang—tubuh itu menyimpan kekuatan langit dan darah klan kuno! Dan Fuan tidak pernah tahu caranya kalah...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 – Lembah yang Hilang, Murid yang Tak Biasa
Tiga hari setelah Fa Niangli menyampaikan rencananya, keluarga Fa akhirnya meninggalkan Benteng Salju Tepi Langit secara diam-diam.
Madam Qin sempat menangis karena harus meninggalkan rumah yang sudah menjadi tempat mereka bernaung selama bertahun-tahun, tapi Fa Niangli meyakinkannya:
“Ibu, aku tidak memintamu ikut untuk berpetualang. Aku ingin membawamu ke tempat yang benar-benar aman. Di sanalah kita memulai hidup baru tanpa tekanan, tanpa istana, tanpa pengkhianatan.”
Bersama Yuyu, Fa Jinhai, dan beberapa pelayan kepercayaan, rombongan kecil itu menuju ke utara. Tidak ada jalan besar, hanya hutan lebat dan bukit-bukit terjal yang sepi.
Namun anehnya, Fa Niangli seolah tahu ke mana harus pergi. Ia memimpin jalan, seperti sedang mengikuti peta tak terlihat.
Sampai akhirnya, pada hari kelima perjalanan, mereka tiba di depan jurang besar yang dipenuhi kabut putih. Di depan mereka, hanya tampak dinding batu curam seolah tak ada jalan keluar.
Fa Jinhai mengangkat alis. “Niangli, kau yakin ini bukan akhir dari jalan hidup kita?”
Fa Niangli menatap liontin hitamnya yang kini tergantung di dadanya. Lalu tanpa berkata apa-apa, ia melangkah maju dan mengetuk dinding batu tiga kali di pola tertentu.
DUUNG—DUUNG—DUUNG…
Tiba-tiba tanah berguncang. Kabut mengalir ke samping seperti tirai tersibak. Sebuah jalan batu rahasia terbuka, mengarah ke sebuah lembah tersembunyi.
“Selamat datang kembali, Pemimpin Sekte Langit Tertinggi,” suara tua menggema dari liontin, penuh hormat.
Lembah itu bagaikan negeri dongeng.
Bunga spiritual bermekaran di sepanjang jalan. Air terjun bening memancar dari gunung, membentuk danau kristal. Tanahnya kaya energi spiritual setiap tarikan napas seolah membersihkan paru-paru.
Semua yang datang membelalak.
Yuyu menjerit kecil, “Apakah… ini surga kecil?”
Madam Qin hanya menutup mulut dengan tangan, air mata haru menetes.
“Tempat ini pernah menjadi pusat sekte paling kuat di dunia kultivasi ratusan tahun lalu,” jelas Fa Niangli. “Namun kekuatannya tersegel dan pengikutnya tersebar saat pemimpinnya... yaitu tubuh ini… mati secara misterius.”
Fa Jinhai mengangkat alis. “Tunggu. Jadi kau ini... pemimpin sekte ratusan tahun lalu?”
Fa Niangli tersenyum setengah. “Katakan saja… aku ingat hal-hal yang seharusnya tidak kuingat.”
Yuyu menunduk dalam-dalam. “Berarti... Permaisuri adalah...”
“Jangan panggil aku Permaisuri lagi,” potong Fa Niangli halus. “Sekarang aku adalah... Pemimpin Fa.”
Dan itulah awalnya.
Beberapa hari kemudian, mereka mulai membersihkan bangunan-bangunan kuno di lembah itu. Aula utama dibersihkan. Paviliun pengobatan direnovasi. Danau spiritual dibuka kembali untuk pelatihan meditasi.
Fa Jinhai, yang biasanya sinis, diam-diam menikmati membangun ulang tempat itu. Ia bahkan menciptakan jadwal latihan harian untuk pelayan-pelayan muda.
Madam Qin memulai kebun obat herbal, dibantu Yuyu yang makin bersemangat.
Dan Fa Niangli?
Ia bermeditasi setiap malam, memperdalam kekuatan yang mulai bangkit. Dalam dua minggu, kekuatannya melampaui kultivator tingkat menengah. Aura spiritualnya membuat tanaman di sekelilingnya tumbuh lebih cepat.
Tapi satu hal masih kurang.
“Tempat ini butuh orang,” katanFa Niangli pada Yuyu suatu sore. “Aku tidak bisa bangkit sendiri. Sekte butuh murid.”
“Lalu bagaimana cara Anda mencari murid?” tanya Yuyu sambil mengiris buah spiritual.
Fa Niangli mengedipkan satu mata. “Dengan cara yang sangat... tidak biasa.”
Tiga hari kemudian, di pasar kecil dekat desa Qiuhe…
Seorang anak lelaki kurus, rambut berantakan dan pakaian tambal-sulam, duduk di bawah pohon sambil memakan ubi mentah. Wajahnya kusam, tapi matanya cerdas.
Namanya Tong Lian, usia sepuluh tahun, yatim piatu sejak bayi, dikenal sebagai "anak jalanan pemalas" di pasar.
Fa Niangli duduk di kedai teh di seberang jalan sambil memperhatikan bocah itu.
“Dia mencuri dua ubi dari pedagang, lalu menyelipkannya di lengan bajunya, lalu makan sambil menguap,” lapor Yuyu.
Fa Niangli menyeringai. “Itulah dia.”
“Dia... calon murid?” tanya Yuyu kaget
Fa Niangli berdiri dan melangkah mendekat. Bocah itu melihatnya, siap kabur, tapi kemudian berhenti. Ada sesuatu dari wanita ini yang… membuatnya tak bisa bergerak.
“Kau suka makan?” tanya Fa Niangli.
Tong Lian melirik ke kiri dan kanan. “Kalau aku bilang ya, Anda mau pukul aku?”
“Aku tanya, bukan menuduh,” kata Fa Niangli santai.
Bocah itu mengangguk perlahan. “Suka.”
“Suka tinggal di tempat yang sejuk dan nyaman?” tanya Fa Niangli
Angguk. Tong Lian,
“Mau ikut aku? Kau bisa makan sebanyak yang kau mau. Tapi syaratnya... kau harus belajar.” ujar Fa Niangli
Tong Lian memicingkan mata. “Belajar? Apa? Membaca huruf?”
“Tidak. Belajar... mengalahkan dunia.” jawab Fa Niangli
Tiga hari kemudian, Tong Lian muncul di lembah dengan wajah heran. Ia diberi kamar sendiri, kasur empuk, dan makanan spiritual. Tapi… yang paling membuatnya penasaran: ia bisa merasakan tubuhnya jadi ringan setiap kali mendekat ke Fa Niangli.
“Tubuhmu punya talenta langka. Kau bisa menyerap qi tanpa sadar. Tapi karena tak ada bimbingan, kekuatanmu membeku,” jelas Fa Niangli.
Tong Lian garuk kepala. “Jadi... aku bukan cuma pemalas, tapi juga… hebat?”
Fa Jinhai lewat dan mencibir. “Kau tetap pemalas, bocah.”
Tong Lian melotot. “Om botak!”
“APA?! SIAPA BOTAK?!”
Dan sejak saat itu, pertengkaran mereka berdua menjadi rutinitas harian lembah tersebut.
Malam itu, Fa Niangli duduk di danau, menatap langit penuh bintang. Yuyu duduk di sebelahnya, memeluk lutut.
“Tempat ini terasa... seperti rumah.” ujar Yuyu
Fa Niangli tersenyum. “Yuyu, dalam beberapa bulan ke depan, aku yakin lebih banyak orang akan datang. Murid-murid tersebar akan mulai merasakan panggilan sekte ini. Dan satu per satu… mereka akan kembali.”
“Apakah mereka semua akan seperti Tong Lian?” tanya Yuyu khawatir.
“Tidak. Akan ada yang lebih konyol, lebih unik, tapi juga lebih luar biasa.” jawab Fa Niangli
Yuyu tersenyum kecil. “Perjalanan kita baru saja dimulai.”
Fa Niangli mengangguk pelan.
Dan dalam hati… ia tahu.
"Dunia mengira aku sudah mati. Tapi aku akan bangkit… sebagai legenda yang tak bisa mereka lupakan."
Bersambung