"Rey... Reyesh?!"
Kembali, Mutiara beberapa kali memanggil nama jenius itu. Tapi tidak direspon. Kondisi Reyesh masih setengah membungkuk layaknya orang sedang rukuk dalam sholat. Jenius itu masih dalam kondisi permintaan maaf versinya.
"Rey... udah ya! Kamu udah kumaafkan, kok. Jangan begini dong. Nanti aku nya yang nggak enak kalo kamu terus-terusan dalam kondisi seperti ini. Bangun, Rey!" pinta Mutiara dengan nada memelas, penuh kekhawatiran.
Mutiara kini berada dalam dilema hebat. Bingung mau berbuat apa.
Ditengah kondisi dilemanya itu, ia lihat sebutir air jatuh dari wajah Reyesh. Diiringi butir lain perlahan berjatuhan.
"Rey... ka-kamu nangis, ya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon alfphyrizhmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 04 - Mapres Ngeselin (bagian 02)
"Dek, jangan halusinasi kejauhan dulu, ya! Predikat cumlaude itu harus dicapai dengan penuh integritas dan kerja keras. Bukan sesumbar yang lo katakan barusan. Ingat, percaya diri boleh, tapi songong jangan yah!" ucap Varel memberikan sedikit kuliah singkat atau saran pada juniornya. Ia mengejek dengan bahasa halus berbalut nasehat.
Mutiara kesal, namun masih bisa tersenyum tipis. Tatapan matanya menyala dan penuh percaya diri.
"Kalian dengar! Gue akan mendapatkan IPK 4.00 di semester genap ini!" ucapnya lantang.
"Dan kalau gue berhasil, kalian bertiga harus menuruti semua perintah gue, apa pun itu!"
Zeeva dan Allyna terkejut, tetapi diam-diam mereka mendukung keberanian Mutiara. Varel, Hazel, dan Zidan saling berpandangan sebelum akhirnya tertawa terbahak-bahak. Ketiga mahasiswa berprestasi itu juga memberikan tepuk tangan meriah atas keberanian Mutiara menyebut angka sempurna, 4.00!
"Serius? IPK 4.00? Lo pikir itu mudah?" ejek Zidan sambil melipat tangan di dadanya.
"Tentu saja tidak mudah, tapi bukan berarti mustahil." balas Mutiara cepat.
Varel masih tersenyum meremehkan, "Baiklah, kalau itu yang lo inginkan, kami terima tantangan barusan," katanya.
"Tapi, gue turunin ya jadi 3.90, gimana? Lo nggak harus babak belur buat ngejar 4.00, gue takut kasihan kalo lo nggak bisa mencapai ekspektasi itu!" lanjut Varel memberikan saran pada Mutiara.
"Nggak mau! Tetep 4.00, target gue di semester genap nanti. Gue nggak akan menarik kata-kata gue, kak!" jawab Mutiara lantang.
"Hhm, lo orangnya keras kepala juga, ya. Gue suka tipikal begitu. Tapi, gue nggak suka sikap to-lol dan go-blok-nya doang, saat dalam mengambil keputusan. Lo itu terlalu buru-buru dan terkesan ingin instan. Tapi, yaudahlah. Oh ya, bagaimana kalau lo gagal?" tanya Varel.
Zidan menyeringai licik, matanya berbinar penuh keisengan, "Kalau lo tidak sanggup, lo juga harus memenuhi kebutuhan kami bertiga!" lanjutnya.
Zeeva menatap tajam ke arah mereka, "Kebutuhan apa yang kalian maksud?" tanyanya dengan waspada.
"Santai saja, Nona. Kami tidak bermaksud menyakiti dirinya. Mungkin, cukup dengan menjadi babu kami selama seharian penuh, di setiap sudut kampus ini. Bagaimana?" kata Hazel.
Mutiara menatap mereka tanpa gentar, "Baik, gue terima syarat itu!" katanya dengan mantap.
Zeeva dan Allyna langsung menoleh ke arahnya dengan kaget,
"Mut... lo yakin?" bisik Zeeva dengan cemas.
Mutiara mengangguk tanpa ragu. "Gue yakin, Va! Tenang aja, lo nggak usah khawatir. Itu mah nggak ada apa-apanya dibanding harga diri gue saat ini!" jawabnya tegas.
"Bagus, kita lihat saja apakah kecantikan yang lo banggakan itu, bisa diimbangi dengan kepintaran dan kerja keras!" kata Varel dengan nada mengejek.
"Kalau lo gagal dapet minimal 3.90 di IP semester genap, jangan protes dan jangan pernah salahkan kami, kalau lo harus jadi asisten pribadi kami bertiga seharian penuh!" tambah Zidan.
Varel menepuk bahu Mutiara dengan ringan. "Semoga beruntung, Cantik!" katanya, sebelum mereka bertiga pergi meninggalkan kantin.
Setelah para senior itu pergi, Zeeva dan Allyna langsung menyerbu Mutiara dengan kekhawatiran. Keduanya menggerubungi Mutiara yang nampak bengong sehabis bahunya ditepuk oleh sang idola.
"Kenapa lo gegabah banget sih, Mut?" tanya Zeeva dengan suara nyaris berbisik.
"Mereka jelas hanya ingin mempermalukan diri lo, Mut!" Allyna menambahkan dengan ekspresi panik.
Mutiara menghela napas panjang dan tersenyum tipis, gue nggak akan membiarkan mereka meremehkan kita, hanya karena kita mahasiswi baru," katanya dengan penuh tekad.
"Lagipula, selain tantangan personal karena gue terpancing emosi barusan, gue juga ingin membuktikan bahwa kita lebih dari sekadar wajah cantik." lanjut Mutiara, semakin percaya diri.
Zeeva masih terlihat ragu, "Iye...iye! Terserah lo deh, Mut! Tapi, untuk ngejar IPK 4.00 itu sulitnya minta ampun, Mutiara sahabatku yang cantik dan anggun!"
"Bukan nggak mungkin kok, Va! hanya butuh kerja keras aja lebih dari yang lainnya, sahut Mutiara yakin.
Hari-hari berikutnya, Mutiara mulai berjuang lebih keras dari sebelumnya. Ia menghabiskan waktu di perpustakaan, membaca materi lebih dalam, dan berdiskusi dengan dosen.
Zeeva dan Allyna yang awalnya khawatir, akhirnya ikut mendukungnya dengan sepenuh hati.
"Kita nggak bisa membiarkan Mutiara berjuang sendirian, Na!" kata Zeeva suatu hari saat mereka belajar bersama.
"Gue paham. Kita harus membantunya sebisa mungkin," tambah Allyna.
Mereka bertiga mulai belajar bersama dengan serius setiap malam, berdiskusi, dan saling menguji pemahaman satu sama lain. Seolah, dendam dan emosi itu membuat semangat mereka tak habis-habis. Hingga larut malam pun rela melek dan tak jarang mereka begadang, demi memastikan Mutiara memahami semua materi dengan sempurna.
Namun, belum memasuki ujian tengah semester, baru ujian dari asisten dosen yang juga mahasiswa tingkat akhir, nilai Mutiara belum menembus batas 78, batas minimal jika ingin mendapat skor A.
"Yaampun, nilai lo masih 62, Mut. Jauh banget buat tembus rata-rata 78 nanti pas skor akhirnya. Itupun baru dari satu matkul doang. Gue gak yakin. Tantangan ini sih, terlalu berat kayaknya." Zeeva mengungkapkan keluh kesahnya setelah melihat nilai Mutiara.
"Habisnya gimana dong! Lo punya ide lain, Va?" tanya Allyna.
Ketiganya terhenti pada sebuah usaha keras, yang bagi mereka sudah sangat habis-habisan dan mengerahkan effort maximum.
"Gimana kalo kita minta bantuan dia aja, Mut." Zeeva coba memberikan solusi.
"Dia siapa?" Mutiara penasaran.
"Itu loh, teman seangkatan kita dari jurusan MIPA yang terkenal sebagai Si Jenius Dingin yang Misterius." ungkap Zeeva.
"Emang ada yah, Va?" tanya Mutiara, masih tidak percaya ucapan sahabatnya.
"Bener kata ketiga mapres ganteng tadi tentang lo, Mut. Sorry to say nih, lo emang kebanyakan dandan sih. Sampe temen jenius seangkatan aja, lo nggak kenal. Parah!" tambah Allyna.
"Sumpah, deh! Gue beneran nggak kenal si jenius ini. Dia namanya siapa? Jurusan apa? Tempat nongkrongnya di mana?" wajah Mutiara terlihat polos dan memborbardir kedua sahabatnya dengan pertanyaan beruntun.
"Wow... wow...wooww. Santai, Sis! Lo buru-buru amat, mau ke mana?" tanya Zeeva.
"Nggak, Va. Gue cuma penasaran aja. Masa lo berdua kenal dia, sementara gue nggak kenal sih? Kan nggak adil!" protes Mutiara.
"Kami juga nggak personal kenal dia, Mut. Cuma denger-denger gosip tentangnya aja." ucap Zeeva.
"Tapi, diantara lo berdua, tau nggak ciri khas si jenius ini?" tanya Mutiara.
"Sabar apa sih! Lo mo kemana emang?" Zeeva mulai terbawa emosi dengan ketidaksabaran Mutiara.
"Namanya Reyesh. Jurusan Matematika. Nah, tempat nongkrongnya, jarang ada yang tahu, Mut. Kata temen-temen, dia semacam punya pintu doraemon di setiap sudut kampus ini." Allyna mulai menjelaskan.
"Maksud lo?" Mutiara tambah penasaran.
"Misal nih, lo masuk ke koridor Fakultas Tekniik, kan nyambung tuh, terusannya sampe Fakultas Ekonomi, dia bisa ngilang diantara dua Fakultas itu dalam sekejap. Padahal banyak yang ngeliat dia baru belok persimpangan. Harusnya lanjut koridor Fakultas Kedokteran dong? Lah ini nggak ada!" lanjut Allyna.
"Ah, masa sih? Dia bukan mahluk halus kan?" Mutiara curiga.
Bersambung.....