Rasa trauma karena mahkotanya direnggut paksa oleh sahabat sendiri membuat Khanza nekat bunuh diri. Namun, percobaannya digagalkan oleh seorang pria bernama Dipta. Pria itu jugalah yang memperkenalkannya kepada Vania, seorang dokter kandungan.
Khanza dan Vania jadi berteman baik. Vania menjadi tempat curhat bagi Khanza yang membuatnya sembuh dari rasa trauma.
Siapa sangka, pertemanan baik mereka tidak bertahan lama disebabkan oleh perasaan yang terbelenggu dalam memilih untuk pergi atau bertahan karena keduanya memiliki perasaan yang sama kepada Dipta. Akhirnya, Vania yang memilih mundur dari medan percintaan karena merasa tidak dicintai. Namun, Khanza merasa bersalah dan tidak sanggup menyakiti hati Vania yang telah baik padanya.
Khanza pun memilih pergi. Dalam pelariannya dia bertemu Ryan, lelaki durjana yang merenggut kesuciannya. Ryan ingin bertanggung jawab atas perbuatannya dahulu. Antara cinta dan tanggung jawab, siapakah yang akan Khanza pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Empat
Khanza mengangkat kakinya, menaiki pagar pembatas. Saat dia ingin menjatuhkan tubuhnya, tiba-tiba dia merasa tubuhnya melayang. Dalam hatinya Khanza berpikir, apakah dia telah mati.
Khanza mencium bau wangi parfum. Dia berpikir apakah ini bau malaikat pencabut nyawa. Dia mencoba membuka matanya. Dia makin terkejut karena melihat wajah pria yang tampan.
Pria itu lalu menurunkan tubuh Khanza. Dia menatap tanpa kedip ke arah wanita itu.
"Kenapa kamu menolongku? Aku mau mati saja," ucap Khanza.
Khanza kembali ke tepi sungai dan mencoba naik lagi ke pagar pembatas untuk terjun ke dalam sungai. Namun, kembali tubuhnya di tahan pria itu.
Tanpa di duga pria itu menarik tubuh Khanza menjauh dari tepi sungai. Wanita itu mencoba memberontak.
"Lepaskan ... biar aku mati saja. Aku tak mau hidup!" teriak Khanza.
Tiba-tiba pria itu menampar pipi Khanza karena gadis itu tetap memberontak ingin bunuh diri. Setelah ditampar, dia terdiam dan terduduk di lantai.
Pria itu lalu mendekati Khanza, merasa bersalah karena telah menamparnya.
"Mbak, sebesar apa pun masalahmu, tak seharusnya kau harus bu'nuh diri. Hak hidup dan mati itu milik Tuhan. Dia yang berhak mencabut nyawa kita. Kenapa harus mengakhiri hidupmu?" ucap Pria itu.
Khanza hanya diam. Hanya air mata yang terus mengalir dari matanya. Ketika pria itu mau meraih tubuhnya, tiba-tiba dia terjatuh dan pingsan.
Pria itu terkejut. Dia langsung menggendong dan membawa masuk ke dalam mobilnya. Dia lalu melarikan mobilnya menuju sebuah klinik.
Sampai di sebuah rumah yang sekaligus dijadikan klinik, pria itu lalu kembali meraih tubun Khanza dan menggendongnya. Dia membawa masuk ke klinik.
"Vania ... Vania ...," teriak pria itu.
Seorang wanita cantik berhijab keluar dari klinik yang telah tutup. Saat ini jam telah menunjukan pukul sebelas malam.
"Siapa gadis yang kau bawa ini, Dipta?" tanya Vania. Dia heran melihat pria itu yang ternyata bernama Dipta menggendong tubuh seorang gadis.
"Aku nggak kenal. Aku melihatnya tadi ingin bunuh diri," ucap Dipta. Dia lalu menurunkan tubuh Khanza di tempat tidur yang biasa di gunakan pasien.
"Astaghfirullah ...." Vania tampak terkejut.
Vania lalu mendekati dan memeriksa tubuh Vania. Sementara tas dan semua barang gadis itu di simpan Dipta di lemari.
"Sepertinya terjadi sesuatu dengannya. Kamu boleh keluar dulu!" ucap Vania. Dipta langsung berjalan menjauh tanpa bantahan.
Vania lalu membuka baju Khanza. Bajunya juga sudah basah karena hujan. Dia melihat banyak bekas tanda merah di tubuh gadis itu. Dia tak mau menyimpulkan sesuatu, tapi dari keterangan Dipta yang mengatakan jika dia melihat wanita tersebut mau bunuh diri, Vania bisa menyimpulkan sesuatu. Dia memeriksa seluruh tubuhnya.
Vania keluar dan menemui Dipta yang menunggu di ruang tunggu pasien.
"Gadis itu sangat cantik. Kenapa dia mencoba bunuh diri, ya?" tanya Vania.
"Mana aku tau, Nia. Kalau aku tau nggak akan aku bertanya-tanya," jawab Dipta sambil tersenyum.
"Sepertinya dia baru ada acara. Bajunya kebaya lengkap. Apa baru wisuda? Tapi kenapa dia bunuh diri?" Kembali pertanyaan itu keluar dari bibir Vania. Dia tak mau mengatakan jika melihat banyak tanda kemerahan di tubuh Khanza.
"Namanya Khanza. Sepertinya baru selesai acara wisuda," ucap Dipta.
"Katanya kamu tak kenal? Kenapa tau namanya?" Kembali pertanyaan diajukan Vania.
"Aku memeriksa tasnya dan melihat identitas di dalam dapet. Aku rasa terjadi sesuatu sehingga dia memilih bunuh diri. Seharusnya orang berbahagia jika baru wisuda, berbeda dengan gadis itu."
"Apa dia mengalami pelecehan?" Kembali pertanyaan diajukan Vania.
Dipta tampak terkejut mendengar pertanyaan Vania. Dia tak berpikir ke arah sana. Namun, dia setuju dengan pikiran sahabatnya itu.
"Bisa jadi. Apa yang harus kita lakukan. Aku melihat alamat tempat tinggalnya lumayan jauh. Orang tuanya sudah meninggal kalau menurut identitas."
"Kita tunggu dia sadar. Biar aku yang bertanya," ucap Vania.
"Kalau begitu aku pulang. Sekalian aku cari tau alamat rumahnya. Siapa tau ada keluarga yang bisa dihubungi."
"Itu lebih baik."
"Aku pamit pulang dulu, Vania Sayang," ucap Dipta.
"Sana pulang! Nanti kemalaman," ujar Vania sambil mendorong tubuh pria itu keluar dari ruangan.
Sampai di halaman rumah, Dipta tak langsung masuk ke mobil. Dia masih berdiri dan tampaknya berpikir.
"Apa kamu bisa menghadapinya sendiri, Nia? Bagaimana jika dia mencoba bunuh diri lagi?" tanya Dipta dengan raut wajah agak kuatir.
"Tenang aja, Dipta. Kamu seperti baru mengenal aku aja. Aku bisa mengatasinya. Selain dokter spesialis kandungan, aku juga merangkap psikologi. Aku bisa mendekatinya secara perlahan. Kamu pulang saja. Salam sama Tante," ucap Vania.
Vania memang mengambil jurusan psikologi saat kuliah pasca sarjana, tapi dia memang tak bisa menjadi tenaga psikologi secara profesional, hanya sebagai dokter kandungan.
Seorang dokter spesialis kandungan dapat mengambil psikologi dengan tujuan menjadi psikolog klinis atau hanya sekadar memperluas pengetahuan dan keterampilan di bidang psikologi. Hal ini dapat memberikan manfaat bagi pasien yang mengalami masalah psikologis selama kehamilan dan persalinan, atau yang mengalami masalah pasca persalinan.
Vania kembali masuk ke ruang pemeriksaan. Dia melihat Khanza telah membuka matanya. Gadis itu tersenyum pada Khanza.
"Aku dimana ...?" tanya Khanza dengan suara lemah.
"Di klinik milikku. Bagaimana keadaanmu? Kamu mau makan atau mandi dulu?" tanya Vania masih dengan tersenyum manis.
"Kamu siapa? Kenapa aku bisa di sini?" Kambali Khanza bertanya. Dia lalu bangun dan duduk di tepi tempat tidur itu.
"Seorang pria baik yang menolong'mu. Dia membawa kamu kesini. Kamu mau mandi dulu?" Kembali Vania bertanya.
Khanza teringat kejadian siang tadi. Di mana dia telah di lecehkan Ryan. Dia lalu memukul tubuhnya.
"Tidak ... aku kotor. Aku telah dinodai. Aku tak mau hidup lagi. Aku mau mati saja," ucap Khanza memukul dadanya dengan kuat.
Vania mendekati Khanza dan menjauhkan tangannya. Dia memeluk gadis itu erat.
"Kamu tidak kotor. Kenapa menyakiti tubuhmu? Masih banyak orang di luar sana yang mengalami masalah lebih besar lagi. Hidup ini terlalu indah untuk di akhiri," ucap Vania.
"Dia menodai'ku. Aku malu. Aku lebih baik mati, tak guna aku hidup," ucap Khanza lagi.
"Khanza, kenapa kamu harus mengakhiri hidupmu? Kamu seharusnya menuntut mereka yang menyakiti kamu. Bukannya kamu malah menghukum diri sendiri. Kamu tak bersalah. Mereka yang telah menodai kamu yang seharusnya mendapatkan hukuman. Buktikan jika kamu bisa bangkit, dan buktikan kamu tidak selemah yang mereka pikirkan," ucap Vania.
Khanza tampak mulai tenang. Hanya Isak tangisnya yang terdengar.
"Sekarang sebaiknya kamu mandi," ucap Vania lagi.
Vania lalu membantu Khanza turun dari tempat tidur. Dia membawa ke kamar mandi dan memberikan handuk. Dia juga membantu Khanza mandi. Vania tak mau meninggalkannya, takut nanti ada niat untuk bunuh diri lagi.