NovelToon NovelToon
Mencari Kebahagiaan

Mencari Kebahagiaan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintamanis / CEO / Cinta Seiring Waktu / Suami ideal / Trauma masa lalu
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Aira, seorang wanita yang lembut namun kuat, mulai merasakan kelelahan emosional dalam hubungannya dengan Delon. Hubungan yang dulu penuh harapan kini berubah menjadi toxic, penuh pertengkaran dan manipulasi. Merasa terjebak dalam lingkaran yang menyakitkan, Aira akhirnya memutuskan untuk keluar dari lingkungan percintaan yang menghancurkannya. Dalam perjalanannya mencari kebahagiaan, Aira belajar mengenal dirinya sendiri, menyembuhkan luka, dan menemukan bahwa cinta sejati bermula dari mencintai diri sendiri.
Disaat menyembuhkan luka, ia tidak sengaja mengenal Abraham.
Apakah Aira akan mencari kebahagiaannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ruang yang Ingin Disembuhkan

Aira duduk di salah satu kursi outdoor sebuah bangunan tua yang tampak kusam namun memiliki potensi.

Sebuah kafe yang belum rampung, dengan interior seadanya dan dinding yang mulai pudar.

Tapi justru dari sanalah Aira melihat kesempatan: ruang ini bisa jadi hangat, bisa jadi tempat yang membuat orang ingin kembali—seperti dirinya yang dulu mencari rumah, tapi justru menemukannya di tempat yang tak terduga.

Sudah hampir dua jam ia menunggu. Satu per satu desain awal ia periksa ulang, konsep warna ia koreksi, dan catatan kecil ia lengkapi. Hanya tinggal satu yang belum datang—pemilik kafe itu.

Hingga sebuah mobil berhenti di depan, dan dari dalamnya keluar seorang pria bertubuh tinggi, mengenakan kemeja lengan digulung, dengan wajah yang tenang namun penuh ekspresi kelelahan. Ia melangkah cepat ke arah Aira sambil sedikit membungkuk.

“Maaf menunggu lama... perkenalkan, saya Abraham,” katanya sambil mengulurkan tangan.

Aira berdiri dan membalas jabatannya. “Aira. Dari tim desain PT Sinar Interior.”

Abraham tersenyum singkat. “Ayo, saya tunjukkan dalamnya. Mungkin kamu bisa langsung lihat dan rasakan sendiri seperti apa tempat ini.”

Mereka masuk ke dalam kafe yang tampak lebih seperti bangunan tinggal yang sudah lama ditinggalkan.

Bau kayu tua dan debu menyambut, tapi di balik itu, ada sesuatu yang menarik: jendela besar yang menghadap ke taman kecil, lantai bertekstur batu, dan langit-langit tinggi dengan balok kayu yang tampak kokoh.

“Saya beli tempat ini dari paman saya. Dulu, ini rumah keluarga. Banyak kenangan di dalamnya. Tapi saya ingin mengubahnya jadi tempat yang hidup... bukan hanya untuk saya, tapi untuk orang-orang yang ingin singgah dan merasa pulang,” ucap Abraham sambil melangkah ke tengah ruangan.

Aira mencatat. Tapi juga mendengarkan dengan hati.

“Kalau kamu bisa bawa kehangatan ke tempat ini, saya akan sangat berterima kasih,” tambah Abraham.

Aira menatap sekeliling. Ruang itu kosong, tapi penuh kemungkinan. Seperti dirinya dulu.

“Bukan cuma tentang kehangatan, Pak. Tapi tentang rasa aman... agar siapa pun yang masuk ke sini bisa bernapas lebih lega,” jawabnya.

Abraham menatap Aira, sedikit terkejut dengan jawabannya, lalu mengangguk pelan.

“Kalau begitu, kita mulai dari sana.”

Aira duduk di bangku kayu yang sudah mulai reyot, tepat di sudut ruangan dengan pencahayaan terbaik.

Di pangkuannya, buku catatan terbuka lebar. Tangan kanannya bergerak cepat, mencatat semua detail yang tadi Abraham sampaikan—konsep ruang yang hangat, suasana yang akrab, kombinasi elemen rumah lama yang tetap dipertahankan, serta sentuhan alam yang ingin dihadirkan di setiap sudut kafe.

“Suasananya saya mau yang seperti... tempat pulang setelah hari yang berat. Bukan cuma tempat minum kopi,” kata Abraham tadi, dan kalimat itu langsung Aira garis bawah dengan stabilo hijau muda.

Abraham berdiri beberapa meter darinya, memperhatikan Aira yang tenggelam dalam aktivitasnya.

Alis Aira sedikit berkerut, sesekali bibirnya menggumam kecil.

Wajahnya fokus, tenang, dan penuh perhatian.Tidak banyak orang yang begitu sungguh-sungguh dalam mendengar, pikir Abraham.

“Kelihatan kamu benar-benar serius nulisnya,” ucap Abraham sambil melangkah pelan ke arah Aira.

Aira tersentak kecil lalu menoleh. “Ah... iya. Maaf. Kalau saya nggak langsung catat, biasanya suka kelewat. Kadang ide kecil bisa hilang kalau nggak ditangkap saat itu juga.”

Abraham tertawa pelan. “Bagus. Saya senang kerja sama orang yang detail. Kamu bikin saya makin yakin buat kerja bareng kalian.”

Aira tersenyum, merasa dihargai. “Saya juga senang dapat proyek ini. Tempatnya punya cerita. Dan saya suka desain yang bisa membawa cerita itu keluar.”

Mereka terdiam sejenak, membiarkan suara burung dan desir angin yang masuk lewat jendela mengisi sela.

Lalu Abraham berkata, “Kamu tahu? Dari cara kamu mencatat, saya bisa lihat... kamu bukan cuma kerja demi hasil akhir. Tapi kamu benar-benar ingin tempat ini jadi hidup.”

Aira menutup bukunya pelan. “Saya rasa... karena saya juga pernah butuh tempat untuk hidup kembali.”

Abraham tidak bertanya lebih jauh. Tapi tatapannya berubah—lebih lembut, lebih menghargai. Ia tahu, mungkin mereka berdua sedang membangun sesuatu di sini.

Bukan hanya sebuah kafe, tapi tempat yang menjadi ruang aman... untuk siapa saja, termasuk mereka.

Sunyi sejenak di antara mereka, hanya ada suara kertas yang dibalik dan desiran angin yang menyelinap masuk lewat jendela besar. Tapi tiba-tiba, suara kecil namun jelas memecah keheningan.

Krukk...

Perut Aira berbunyi pelan, namun cukup terdengar. Aira langsung menegang.

Wajahnya memerah seketika, dan ia buru-buru menutup buku catatannya, seolah bisa menyembunyikan suara barusan.

“Maaf...” katanya pelan, nyaris berbisik. “Saya tadi belum sempat sarapan.”

Abraham menahan tawa, tapi ekspresinya sama sekali tidak mengejek.

Malah, ia tampak terhibur dengan ketulusan Aira. Ia tersenyum lebar, lalu mengeluarkan ponselnya.

“Berarti sekarang waktunya makan, dong,” katanya santai. “Kamu lebih butuh makanan daripada sketsa sekarang.”

Aira semakin malu. “Aduh, enggak usah repot-repot, saya bisa—”

“Tenang,” potong Abraham sambil mengangkat alis. “Saya juga belum makan. Anggap saja ini sesi kerja sambil sarapan terlambat.”

Beberapa menit kemudian, ia menunjukkan layar ponselnya. “Kamu suka nasi uduk atau bubur ayam?”

Aira tertawa pelan, masih dengan pipi yang merona.

“Nasi uduk. Tapi yang nggak terlalu pedas, ya.”

“Siap,” jawab Abraham. Ia memesan dua porsi nasi uduk dan dua es teh manis, lalu meletakkan ponselnya di meja.

“Terima kasih,” kata Aira, kali ini dengan senyum yang lebih lepas.

Abraham menatapnya, lalu berkata, “Kamu tahu? Hal-hal kecil kayak gini kadang yang bikin kerja jadi menyenangkan.”

Aira menatapnya heran. “Kayak apa?”

“Kayak kamu jujur soal perut lapar. Itu manusiawi. Dan justru itu bikin semuanya terasa lebih... nyata.”

Aira tertawa lagi, kali ini lebih ringan. Ia merasa tidak perlu menjadi siapa-siapa di hadapan Abraham.

Ia hanya perlu menjadi Aira—yang lapar, yang bekerja keras, dan yang sedang belajar hidup kembali.

Tak lama kemudian, suara motor pengantar makanan terdengar dari luar. Abraham berjalan ke depan untuk menerima pesanan, sementara Aira merapikan buku dan alat tulisnya, berusaha menenangkan rasa malunya yang masih tersisa.

Saat Abraham kembali membawa dua kantong makanan dan dua gelas es teh manis, Aira hendak berdiri untuk mencari tempat makan yang layak—tapi belum sempat melangkah, Abraham lebih dulu melepaskan jasnya dan membentangkannya di atas salah satu meja kayu yang permukaannya penuh debu dan serpihan cat.

“Biar kamu bisa makan dengan tenang,” katanya ringan, meletakkan jasnya sebagai alas.

Aira membelalak. “Eh... enggak usah, Pak Abraham. Nanti jasnya kotor.”

Abraham tersenyum kecil. “Jas bisa dicuci. Tapi perut kosong harus segera diisi.”

Aira hanya bisa tertawa malu, lalu duduk perlahan. Jas Abraham kini menjadi alas sederhana untuk dua porsi nasi uduk dan dua gelas es teh yang mulai mengembun.

Mereka makan dalam diam sejenak, hanya ditemani suara burung dan hembusan angin dari jendela yang terbuka lebar.

Tapi diam itu bukan canggung—melainkan nyaman. Aira makan perlahan, menikmati setiap suapan, sambil sesekali melirik Abraham yang tampak santai menikmati makanannya juga.

“Ini nasi uduknya enak juga,” kata Abraham sambil mengunyah.

“Iya. Mungkin karena saya makannya pas benar-benar lapar,” sahut Aira sambil tertawa pelan.

Abraham menatapnya, lalu berkata dengan nada tenang, “Kamu tahu, Aira? Kadang kebahagiaan itu sesederhana duduk di ruangan kosong, makan nasi uduk, dan ngobrol sama orang yang tulus.”

Aira terdiam. Kalimat itu masuk ke dalam hatinya seperti angin sejuk di tengah siang yang panas.

Ia tidak membalas dengan kata-kata, hanya tersenyum—tapi kali ini dengan senyum yang dalam, yang jujur.

Dan di tengah ruang kosong yang belum selesai direnovasi, mereka berdua menemukan kenyamanan yang tak pernah ada dalam jadwal kerja atau daftar tugas.

Sebuah ruang yang sedang dibangun perlahan—bukan hanya dengan cat dan kayu, tapi juga dengan kebaikan kecil yang tulus dan tidak dipaksakan.

Setelah mereka selesai makan, Aira menyisihkan wadah makanan ke sudut meja.

Ia membuka kembali bukunya yang tadi sempat ditutup, lalu membalik ke halaman berisi sketsa kasar dan poin-poin yang ia catat sejak pertama kali masuk ke bangunan itu.

“Jadi,” ucap Aira sambil menunjuk satu sketsa, “saya membayangkan area utama kafe dibagi jadi dua zona.

Satu yang lebih terbuka dan terang—buat pelanggan yang datang untuk kerja atau sekadar santai sendiri.

Satunya lagi, sudut yang lebih tenang dan tertutup, dengan pencahayaan hangat, cocok untuk ngobrol berdua atau baca buku.”

Abraham menyandarkan punggung ke kursi, memperhatikan gambar-gambar itu dengan seksama.

“Bagian dekat jendela besar ini,” lanjut Aira sambil menunjuk denah kasar di buku, “Saya rasa paling ideal untuk zona terang. Kita bisa pasang kursi kayu ringan dengan bantalan kain berwarna hangat. Meja kecil, lampu gantung model industrial tapi dengan sentuhan kayu.”

Abraham mengangguk, terlihat antusias. “Saya suka. Hangat tapi tetap ada kesan sederhana.”

Aira tersenyum, lalu membalik halaman. “Untuk area yang lebih tenang, saya pikir bisa pakai kombinasi rak buku dinding dan sofa panjang, dengan karpet anyaman dan beberapa tanaman gantung. Suasananya lebih lembut, dan mungkin bisa pasang speaker kecil dengan musik akustik yang pelan.”

Abraham mendekat sedikit, menunjuk sketsa rak buku.

“Kalau di sini saya mau tambahin satu elemen pribadi. Ada koleksi buku dari keluarga saya. Bisa jadi bagian dari identitas kafe ini.”

Aira mencatat cepat. “Bagus. Itu akan bikin kafenya terasa hidup dan punya jiwa.”

Kemudian ia menutup bukunya perlahan, lalu menatap Abraham.

“Saya ingin kafe ini bukan cuma indah dilihat. Tapi juga bisa memberi rasa... seperti pulang.”

Abraham memandang Aira lama, lalu tersenyum. “Kamu tahu, Aira. Kalau aku nggak salah pilih desainer.”

Aira mengangkat alis, geli. “Saya belum kerja apa-apa, lho.”

“Tapi kamu udah paham apa yang ingin saya ciptakan,” jawab Abraham tenang. “Itu yang nggak bisa dibeli.”

Aira terdiam, hatinya hangat. Mungkin untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa karyanya bukan hanya dihargai... tapi juga dipahami.

Matahari mulai condong ke barat, meninggalkan jejak cahaya keemasan yang menyusup masuk lewat jendela-jendela besar kafe tua itu.

Debu yang beterbangan tampak seperti butiran cahaya kecil, dan suasana menjadi lebih syahdu.

Aira menutup bukunya, menyimpan pulpen, dan merapikan barang-barangnya.

“Kayaknya saya pulang sekarang, Pak Abraham,” ucap Aira sambil tersenyum sopan.

Abraham melirik arlojinya. “Sudah hampir jam lima, ya. Biar saya antar.”

Aira cepat-cepat menggeleng. “Ah, enggak usah repot. Saya bisa naik taksi atau ojek online. Saya udah biasa kok.”

Namun Abraham berdiri dan mengambil kunci mobilnya dari saku.

“Saya yang minta kamu datang pagi-pagi dan nunggu hampir dua jam. Masa sekarang malah nyuruh kamu pulang sendiri?”

Aira tersenyum kaku, tetap menolak halus. “Serius, saya enggak apa-apa, Pak. Lagipula rumah Dinda dekat.”

Abraham berdiri di ambang pintu, menatap Aira dengan tatapan datar tapi penuh maksud.

“Saya bukan repot, Ra. Saya cuma... ingin memastikan kamu sampai dengan aman. Itu aja.”

Nada suaranya tegas, tapi tak menghakimi.

Aira akhirnya terdiam, lalu mengangguk pelan. Ada bagian dalam dirinya yang merasa dilindungi, walau ia tak ingin terlalu cepat mengartikannya macam-macam. Ia hanya menerima.

“Baiklah. Tapi saya duduk di depan ya, bukan di belakang kayak penumpang taksi,” ujarnya setengah bercanda.

Abraham tertawa. “Deal. Dan saya juga enggak pakai jas kali ini. Jadi kamu aman.”

Mereka keluar bersama. Udara sore menyejukkan, dan untuk sesaat Aira merasa damai. Ia tidak terburu-buru pulang. Tidak sedang melarikan diri dari sesuatu. Kali ini, ia benar-benar merasa pulang dengan tenang.

Mobil melaju perlahan di antara lalu lintas sore yang mulai padat.

Di dalam kabin, suasana terasa hangat dan nyaman. Aira duduk di kursi penumpang depan, menatap jalanan yang mulai dilapisi semburat jingga. Ia menyandarkan punggungnya, melepaskan napas lega setelah hari yang panjang namun penuh rasa baru.

Abraham melirik ke arahnya sejenak. “Mau saya ceritain hal memalukan dari masa kecil?”

Aira menoleh dengan mata berbinar. “Kalau bisa bikin saya ketawa, saya siap.”

Abraham tersenyum, lalu mulai bercerita. “Waktu kecil, saya pernah dikira hilang sama seluruh keluarga gara-gara saya ngumpet di lemari buat main ‘petak umpet’ sendirian. Tapi saking niatnya, saya enggak bersuara sama sekali. Padahal itu sudah hampir tiga jam.”

Aira langsung tertawa kecil.

“Ternyata semua orang panik. Mereka sampai manggil tetangga buat bantu cari saya. Bahkan sempat nelpon polisi!” lanjut Abraham dengan gaya dramatis. “Dan ketika akhirnya saya keluar dari lemari, muka saya datar banget kayak enggak merasa bersalah. Cuma bilang, ‘Aku menang, kan?’”

Aira tidak bisa menahan tawa. Ia tertawa terbahak-bahak, kepalanya sedikit menunduk, dan tangannya menutup mulut. Tapi tawa itu justru semakin menjadi.

“Astaga! Itu... itu konyol banget! ‘Aku menang, kan?’” Aira mengulang kalimat Abraham dengan suara terguncang tawa, dan air matanya mulai menetes karena terlalu geli.

Abraham ikut tertawa, tapi diam-diam ia mencuri pandang ke arah Aira.

Wajah perempuan itu tampak bersinar saat tertawa—tulus, hidup, dan seolah semua luka yang pernah ada ikut meleleh bersama air matanya yang bahagia.

“Aku enggak nyangka kamu bisa ketawa sampai nangis kayak gini,” ujar Abraham setelah tawa mereka mulai mereda.

Aira mengusap air matanya. “Udah lama banget aku enggak ketawa kayak gini. Terima kasih, ya.”

Mereka terdiam sejenak. Tapi bukan karena kehabisan kata. Melainkan karena merasa cukup dengan momen yang baru saja mereka bagi. Sederhana, tapi bermakna.

Mobil Abraham berhenti perlahan di depan sebuah rumah sederhana namun nyaman di pinggir jalan perumahan yang tenang.

Lampu-lampu mulai menyala, dan udara sore berubah menjadi sejuk menjelang malam.

Aira membuka sabuk pengamannya, lalu bersiap turun.

Abraham menoleh ke arahnya. “Ini rumah kamu?”

Aira tersenyum kecil, lalu menggeleng. “Bukan. Ini rumah sahabatku, Dinda. Aku numpang sementara... sampai nemu kost atau kontrakan yang cocok.”

Abraham menatap rumah itu, lalu kembali menatap Aira dengan sorot mata yang lembut.

“Kamu sendirian?”

Aira mengangguk. “Iya. Baru aja keluar dari... ya, kehidupan yang lama.”

Abraham tidak bertanya lebih jauh. Ia mengangguk pelan, memahami lebih dari apa yang diucapkan.

“Kalau butuh bantuan cari tempat tinggal, bilang aja. Aku kenal beberapa orang yang sewain rumah kecil, bersih, dan aman.”

Aira tersentuh oleh tawarannya. “Terima kasih, Pak Abraham. Tapi... jangan terlalu baik, nanti saya baper,” ujarnya sambil tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.

Abraham ikut tertawa, tapi nada suaranya tetap tulus. “Baik itu nggak selalu harus ada alasan, Ra.”

Aira hanya diam sejenak. Lalu ia mengangguk dan tersenyum. “Terima kasih untuk hari ini. Dan... nasi uduknya.”

Abraham membalas senyuman itu. “Terima kasih juga untuk desainnya... dan tawanya.”

Aira membuka pintu dan turun dari mobil. Ia melambai singkat sebelum masuk ke rumah Dinda.

Dan saat Abraham menatap punggung Aira yang perlahan menjauh, ia sadar... ada sesuatu tentang perempuan itu yang ingin ia jaga. Bukan karena kasihan.

Tapi karena ia melihat keberanian—yang diam-diam tumbuh dari luka.

1
Asmara Senja
Kereeeennnn
my name is pho: Terima kasih kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!