lili ada gadis lugu yang Bahkan tidak pernah punya pacar. tapi bagaimana Ketika tiba di hari kiamat dia mendapatkan sebuah sistem yang membuatnya gila.
bukan sistem untuk mengumpulkan bahan atau sebuah ruang angkasa tapi sistem untuk mengumpulkan para pria.
ajaibnya setiap kali ke pria yang bergabung, apa yang di makan atau menghancurkan sesuatu, barang itu akan langsung dilipatgandakan di dalam ruangan khusus.
Lily sang gadis lugu tiba-tiba menjadi sosok yang penting disebut tempat perlindungan.
tapi pertanyaannya Apakah lili sanggup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon samsuryati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4
Dua hari telah berlalu sejak kegelapan dan keheningan melingkupi apartemen itu. Lili duduk termenung di lantai dekat jendela dengan punggung menyandar pada dinding yang dingin. Wajahnya lesu, pipinya tirus, dan mata sayunya terus menatap kosong ke arah pintu kulkas yang kini sudah kosong, seputih lembar kertas yang tak pernah ditulisi.
Tak ada lagi makanan.
Roti terakhir sudah dimakan kemarin malam dengan seteguk air yang ia jatah dengan cermat. Dia tak berani menyiram toilet, apalagi mandi. Air hanya digunakan untuk minum dan bertahan hidup. Setiap tetesnya seakan berharga melebihi emas.
Hari itu, seperti biasa, Lili membuka WhatsApp grup penghuni apartemen. Jarinya lamban men-scroll layar, tak lagi bersemangat membaca curhatan orang-orang lain. Tapi tiba-tiba matanya membelalak ketika melihat salah satu pesan yang muncul.
> “Aku baru lihat dari lantai 5. Ada orang di jalan yang tangannya mengeluarkan api! Mereka bertarung sama makhluk-makhluk aneh! GILA INI GILA!!”
> “Iya! Di bawah apartemenku juga tadi ada suara es membekukan lantai jalanan. Kayak novel-novel yang dulu sering kubaca.”
> “Jangan bilang ini kebangkitan kekuatan manusia? Kita punya harapan???”
Lili membacanya perlahan, satu per satu, seperti seseorang yang haus menyesap tetes air terakhir.
"Kekuatan...? Es? Api?" Dadanya bergemuruh.
Jantungnya berdegup dengan kencang.
Ingatan tentang ratusan novel dan film yang pernah ia baca dan tonton kembali mengalir deras. Dunia yang kacau, manusia bertahan hidup, dan di tengah-tengah kehancuran itu, muncul mereka yang bangkit dengan kekuatan luar biasa.
Dia menggenggam telepon genggamnya erat. "Apakah ini benar? Apakah ini kenyataan…?"pikirnya, matanya berkaca-kaca.
Dalam hati kecilnya, harapan kecil menyala. Meski tubuhnya lemah, meski perutnya kosong, tapi… jika orang lain bisa mendapatkan kekuatan, mungkinkah dia juga bisa?"
Dalam kebanyakan novel transmigrasi setiap dari mereka mendapatkan sesuatu sebagai hadiah dari transmigrasi itu sendiri.
Seharusnya dia juga memilikinya tapi di mana jari emasnya.
Apakah para dewa transmigrasi merupakan itu.
Lili yakin dia tidak kembali pada hadiah seperti yang lain. Dia hanya perlu sabar menunggu untuk berdoa waktu.
Namun, realita kembali menghantamnya seperti badai dingin. Dia menatap tangannya yang gemetar… tak ada cahaya, tak ada panas, tak ada es. Hanya kulit pucat dan dingin. Lili tidak memiliki apapun.
Namun sesuatu telah berubah hari itu. Meskipun tubuhnya lemah dan langkahnya lamban, matanya menyimpan sedikit cahaya. Harapan. Bahwa mungkin, suatu hari… dia juga akan bangkit.
Pagi itu, cahaya matahari menembus tipis lewat tirai jendela apartemen Lili, tapi sinar itu tidak membawa kehangatan. Perutnya kembali melilit. Kosong. Sudah sehari penuh dia tidak makan apapun. Air yang tersisa hanya tinggal setengah ember di kamar mandi, dan dia sudah mulai ragu untuk meneguknya lagi.
Dengan tangan gemetar, dia membuka WhatsApp grup penghuni apartemen. Percakapan semalam masih berlangsung dan topiknya semakin serius.
> “Kami memutuskan akan keluar pagi ini. Kami kehabisan makanan dan harus mencari apapun yang bisa dimakan.”
> “Siapa yang mau bergabung? Semakin banyak orang, semakin aman.”
Lili tidak mau turun. Meskipun dia akan mati kelaparan ,sampai kapanpun tidak akan mau turun.
beberapa orang dalam pesan singkat juga menyebutkan hal yang sama. Mereka hanya sedang menunggu bantuan dari pemerintah.
Turun artinya anda akan mati dan itu sangat berbahaya untuk.
Tapi segera seseorang memberikan kecantikan lainnya di mana dia benar-benar bencana untuk pergi mencari makanan.
> “Aku tahu itu berbahaya, tapi kalau kita hanya duduk diam di sini, kita akan mati kelaparan sebelum zombie datang.”
pesan itu tiba-tiba menghilang seiring waktu. tapi semakin lama berapa orang mulai menulis pesan yang sama.
Ayo cari perbekalan.
Kemudian seseorang yang tidak dikenal mengirim pesan pribadi kepada lili. intinya masih berbunyi ajakan untuk pergi keluar.
Tapi Lili menggigit bibirnya. Semalam dia sudah menolak dengan tegas ajakan itu.
> “Maaf, aku tidak ikut. Aku tidak berani keluar…”
> “Aku akan bertahan di dalam selama mungkin.”
Namun sekarang, kata-katanya terasa pahit. Dia memandangi kulkas yang kosong dengan pintu terbuka, seakan berharap ada keajaiban makanan tiba-tiba muncul di dalamnya. Tapi yang ada hanyalah kekosongan yang semakin mencekik.
Dia berdiri perlahan, kakinya goyah. Lalu mendekati jendela dan mengintip ke bawah. Di halaman apartemen, ia melihat beberapa sosok berkumpul dengan ransel di punggung, mengenakan pakaian gelap dan masker seadanya. Mereka tampak siap. Wajah-wajah tegang, namun bertekad.
Lili menggenggam dadanya. Hatinya berdebar. Tak ada makanan. Tak ada kekuatan. Tapi mungkin… bersama mereka, ada harapan.
Dia menatap ponselnya lagi. Lalu menulis pesan pendek:
“Tunggu aku. Aku ikut.
Tangannya gemetar saat mengirimkannya. Ketakutan masih menggantung di dadanya. Tapi lebih dari itu, ada kehendak kecil dalam dirinya yang tumbuh, dia ingin makan.
Lili berdiri lama di depan pintu apartemennya, menggenggam kunci erat di tangan. Ia menatap sekeliling ruangan yang sudah menjadi sarangnya selama beberapa hari terakhir,sunyi, gelap dan kosong. Di dalamnya tak ada lagi makanan, tak ada lagi rasa aman, hanya dinding dingin yang terasa semakin menyempit tiap malam.
Akhirnya, dengan tarikan napas berat, ia melangkah ke luar dan menutup pintu rapat-rapat. Tangannya gemetar saat memutar kunci dari luar, lalu menyelipkan kuncinya ke dalam kantong jaket yang kini terasa terlalu tipis untuk hari-hari seperti ini.
Tangga darurat menyambutnya dengan keheningan lembab dan bau besi tua. Lampu tangga tidak menyala, dan cahaya hanya berasal dari jendela sempit di ujung lorong setiap lantai. Lili berjalan perlahan, menuruni tangga satu demi satu. Sendi lututnya bergetar, bukan hanya karena lelah, tapi karena rasa takut yang menggantung seperti kabut dingin di setiap langkah.
Setelah menuruni tujuh lantai, dia tiba di lobi apartemen. Dan di sana, ia terpaku.
Lebih dari dua puluh orang sudah berkumpul. Mereka berdiri dalam kelompok-kelompok kecil, dengan pakaian seadanya, sebagian membawa tongkat, pipa besi, bahkan wajan dapur. Ada ransel-ransel untuk menyimpan barang, termos, dan kantong plastik yang diselipkan di antara ikatan kain atau sabuk pinggang.
Apapun itu, yang penting bisa berguna.
Beberapa dari mereka tampak gugup sama seperti Lili. beberapa mencoba bersikap tenang dan mengatur strategi. Ada yang sedang membagi peta kertas kecil, ada yang menyusun catatan rute, dan satu orang tampaknya pemimpin sementara mereka,dia sedang bicara lantang.
“Tujuan kita pasar di seberang distrik utara. Dengar-dengar masih ada toko yang belum dijarah penuh. Kita harus cepat, jangan membuat suara berisik, dan jangan panik.”
"zombie saat ini tidak berlari kencang dan kepala mereka adalah bagian yang paling rapuh. ingat tidak peduli bagaimana kalian harus memenggal nya jika tidak mereka akan bangun lagi"
"jika kalian patuh dengan saranku, mungkin kalian semua akan kembali selamat dengan penuh perbekalan"katanya dengan serius.
Suasana lobi itu berubah berat.
Tegang dan Mencekam. Tapi juga mengandung harapan harapan kecil dari orang-orang yang menolak untuk mati diam-diam.
Lili berdiri di ambang pintu tangga, ragu-ragu. Tapi seseorang menoleh ke arahnya dan tersenyum kecil.
“Kau yang tadi di grup? Lili, kan? Ayo, sini. Kita berangkat sebentar lagi.”
Lili menarik napas panjang, menelan rasa takutnya, lalu melangkah maju. Di dalam dirinya, sebuah suara kecil berkata,
“Aku tidak tahu apa yang akan terjadi… tapi aku tidak mau mati sendirian di lantai tujuh.”
Tidak ada yang menjawab tapi semuanya pasti berpikir yang sama.
Mereka berkumpul di depan pintu lobi yang besar dan tertutup rapat, bayangan samar dunia luar terlihat dari celah kaca yang kotor. Suasana mencekam, hanya diselingi bisik-bisik pendek dan suara tarikan napas yang berat.
Seorang pria paruh baya, yang sejak tadi tampak memimpin, akhirnya mengangkat tangan dan berkata pelan, “Kita bagi jadi dua tim. Tim satu ke arah pasar lama,ada supermarket kecil di sana.tim dua ke gudang di blok barat. Kita harus cepat, dan tenang. Jangan menarik perhatian, apalagi membuat suara keras.”
Lili berdiri di sisi belakang tim dua, menggenggam erat senjatanya,sebuah pisau besar pemotong semangka yang dia ambil dari dapur. Gagangnya sudah dibalut kain agar lebih mantap dipegang, dan tajamnya… yah, cukup untuk membelah kulit buah, dan semoga cukup juga untuk bertahan.
Seseorang berdiri diam tapi dalam hatinya ,dia bergetar karena perasaan nya yang tidak menentu.Di sisi lain,seorang pria tua yang tidak ikut keluar karena kesehatannya, sekarang malah,bersiap di sisi lobi dengan kunci di tangannya.
“Begitu kalian keluar, pintu akan dikunci lagi dari dalam,” ucapnya pelan, “Jangan lupa ketuk tiga kali, jeda, lalu ketuk dua kali jika ingin masuk. Itu kode kita.”
Hening sejenak menyelimuti ruangan.Tidak satu pun mereka berpikir bisa kembali dalam kondisi hidup hidup.Tapi ini juga resiko nya, pergi mati tak pergi juga akan mati kelaparan.
Seorang pria mengangguk dan membuka pintu.
Bunyi derit berat terdengar saat pintu lobi dibuka perlahan. Angin luar yang hangat dan penuh debu segera menyusup masuk, membawa aroma besi, debu dan entah apa lagi.
Satu per satu, mereka melangkah keluar, dengan langkah hati-hati dan pandangan waspada. Lili ikut bergerak, tubuhnya tegang, jantung berdetak keras di dadanya. Jemari menggenggam erat gagang pisau. Di luar, dunia tampak asing dan berbahaya.
Begitu semua orang keluar, pria tua di dalam menarik kembali pintu besi perlahan dan... "klik,terkunci. Suara itu membuat Lili menoleh sesaat.
Sedih...
Tidak ada jalan kembali… kecuali mereka pulang. Dan untuk pulang, mereka harus hidup tanpa tergores..
Langkah Lili terasa berat, tapi dia tetap berjalan, mengikuti kelompok di depannya.Lili awalnya ingin mati saja, tapi entah kenapa dia seperti nya berubah pilihan.
Dia ingin hidup.
“Aku hanya ingin hidup… hanya ingin makan… dan pulang dengan selamat,” gumamnya dalam hati sambil mempererat genggaman pada pisau semangka .
thor Doble up ya /Grin/