Di dunia Aedhira yang terpisah oleh kabut kegelapan, seorang gadis muda bernama Lyra menemukan takdirnya terjalin dengan rahasia kuno darah kabut, sihir yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Ketika kekuatan gelap yang dikenal sebagai Raja Kelam mulai bangkit kembali, Lyra bergabung dengan Kaelen, seorang ksatria pemberani yang terikat pada takdirnya, untuk mencegah kehancuran dunia mereka.
Namun, semakin dalam mereka menggali sejarah dan rahasia darah kabut, semakin mereka menyadari bahwa takdir mereka lebih rumit dari yang mereka bayangkan. Terperangkap dalam permainan takdir yang tidak mereka pilih, Lyra harus menghadapi pilihan tak terhindarkan: menyelamatkan Kaelen dan dunia, atau mengorbankan keduanya demi sebuah masa depan baru yang tak diketahui.
Dalam pertempuran akhir yang melibatkan pengkhianatan, pengorbanan, dan cinta yang tak terbalas, Lyra menemukan bahwa tidak ada pahlawan tanpa luka, dan setiap kemenangan datang dengan harga yang sangat mahal. Ketika dunia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah fahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 BAYANGAN YANG TERIKAT
Bayangan yang Terikat
Pagi itu, Lyra bangun dengan kepala berat dan rambut acak-acakan kayak habis bertarung sama angin topan. Mimpi semalam masih segar di kepalanya—kabut yang membentuk wajah-wajah aneh, bisikan yang bilang hal-hal absurd kayak “kau pewaris malam”, dan tangan hitam raksasa yang mencoba menariknya ke dalam cermin. Literally, cermin.
“Yaa... mimpi kayak gitu mana bisa dibikin tenang,” gumamnya sambil duduk di pinggir tempat tidur.
Kamar asrama di Tan’Rael masih sepi. Cahaya matahari pagi menerobos masuk dari jendela bulat, mengenai dinding batu putih yang dingin. Di luar, suara latihan dan sorakan pelatihan mulai terdengar.
Lyra mengambil jaket kulit lusuh yang Kaelen pinjamkan (karena jaket manusia normal ternyata nggak tahan suhu aneh Aedhira) dan keluar dari kamarnya.
“Pagi, pewaris kabut,” sapa Kaelen dari tangga. Dia lagi duduk di salah satu balok besar sambil makan apel ungu—yep, ungu. Di Aedhira, buah-buah bisa warna apa aja. Bahkan ada semangka merah muda pastel, no joke.
Lyra memelototinya. “Kalau lo manggil gue gitu sekali lagi, gue lempar pakai bantal sihir.”
Kaelen nyengir. “Bantal lo belum bisa sihir.”
“Ya tunggu aja. Sebentar lagi bisa.”
Mereka berjalan ke halaman latihan, dan Lyra menghela napas panjang. Masih ada rasa gelisah yang menggantung. Vareth, Raja Kelam, darahnya sendiri… semuanya numpuk di kepala kayak tumpukan laundry sebulan.
Sesampainya di arena, Mirae udah nungguin, berdiri dengan gaya angker ala guru silat zaman kerajaan. Di belakangnya, ada seseorang yang belum pernah Lyra lihat—seorang pemuda tinggi dengan jubah hijau gelap dan rambut putih keperakan.
Matanya... tajam. Bukan kayak tajam galak, tapi kayak tajam dingin. Kayak dia bisa ngelihat isi otak lo tanpa izin.
“This is Arven,” kata Mirae datar. “Dia bakal bantu kamu mengendalikan bentuk lanjutan kabut.”
Lyra menatap cowok itu. Arven? Nama seganteng itu, auranya kayak pendingin ruangan rusak—dingin tapi nyebelin.
Arven cuma mengangguk kecil. “Jangan bikin aku buang waktu.”
“Hah. Suka banget cara lo motivasiin orang,” Lyra membalas sinis. Kaelen di belakangnya nyengir, menikmati adegan.
Mirae menyela sebelum keduanya adu roast. “Latihan hari ini fokus ke sinkronisasi—kabut di tubuhmu dan niat di kepalamu harus sejalan. Arven akan memaksamu sampai batasmu.”
Lyra mendesah. “Nggak bisa mulai dari latihan napas aja?”
“Udah lewat level itu, Nona Caellum.”
Latihan pun dimulai. Dan sesuai prediksi… itu brutal.
Arven seperti punya radar buat tahu kapan Lyra lengah, dan selalu menyerang di detik itu juga. Dia bisa memanggil kabut dari ujung arena dan menjadikannya cambuk energi. Lyra berusaha menangkis, tapi sering kali dia malah kepentok sendiri.
“Fokus!” bentak Arven. “Kalau kabutmu masih menolakmu, berarti kamu belum jujur pada dirimu sendiri!”
Lyra mengumpat pelan. “Gue jujur kok. Gue capek, pengen tidur, dan kangen nasi goreng.”
Kaelen tertawa di pinggir arena. “Kalau lo bisa lempar kabut sambil ngomong begitu, mungkin lo emang pewaris kabut sejati.”
Akhirnya, setelah beberapa pukulan gagal dan sempat jatuh tiga kali, Lyra berdiri dengan nafas terengah, tangan gemetar, tapi... kabutnya berkumpul di sekeliling tubuhnya. Melindungi. Mengalir.
Untuk pertama kalinya, kabut itu seperti... mengerti dirinya.
Arven menghentikan serangannya. “Akhirnya. Sedikit kemajuan.”
“Wow, pujian dari kamu? Dunia emang hampir kiamat.”
Arven cuma menatap dingin, lalu pergi begitu saja tanpa sepatah kata lagi.
Lyra menatap punggungnya yang menjauh. “Apa dia... selalu begitu?”
Mirae menjawab sambil mencatat sesuatu di buku catatan sihir. “Arven kehilangan seluruh desanya karena Raja Kelam. Sejak itu, dia nggak percaya siapa pun yang punya darah kabut.”
“Oh…” Lyra menunduk. Seketika semuanya terasa lebih berat lagi.
Malam itu, Lyra duduk sendirian di balkon atas perpustakaan, menatap bulan ganda Aedhira yang menggantung di langit. Di tangannya, kabut menggumpal seperti bola cahaya kecil—ia sudah bisa mengendalikannya sedikit lebih baik.
“Lo sadar,” suara Kaelen muncul dari belakang, “tiap kali kita ketemu, lo lagi mikir keras.”
Lyra menyeringai. “Karena hidup gue sekarang isinya cuma ‘kenapa gue’ dan ‘gue bakal mati minggu depan atau nggak’.”
Kaelen duduk di sampingnya, menggoyang kakinya ke bawah. “Tapi lo masih di sini. Dan masih ngelawan.”
Lyra diam sejenak. “Kaelen... lo percaya gue?”
Cowok itu menoleh, matanya tenang. “Gue rasa… bahkan kalau lo anak Raja Kelam pun, lo masih lo. Cewek yang berani ngelempar apel ke patung suci karena kesel.”
“Momen paling membanggakan dalam hidup gue.”
Mereka tertawa kecil.
Dan untuk pertama kalinya, Lyra merasa… mungkin, dia bisa melalui ini semua.
Mungkin.
Hari-hari berikutnya berjalan seperti rollercoaster tanpa rem. Lyra mulai terbiasa dengan ritme latihan—bangun sebelum matahari ganda Aedhira muncul, dilatih oleh Arven yang masih dingin kayak es batu di kutub, dan tidur dengan otot pegal plus kepala penuh kabut. Literally.
Suatu pagi, saat sedang latihan pengendalian kabut di pinggiran hutan pelindung, Lyra nyaris berhasil membentuk “perisai kabut”—salah satu teknik pertahanan tingkat menengah. Tapi seperti biasa, Arven belum pernah kenal kata “pujian”.
“Setengah detik lebih lambat, dan kamu bakal mati,” katanya dingin.
Lyra mengelus keringat. “Wow. Thanks, Coach. Gue langsung termotivasi.”
Arven mengabaikannya. “Kamu terlalu banyak ragu. Kabut itu cerminan jiwamu. Kalau kamu nggak yakin, dia juga bakal ragu melindungimu.”
“Gue nggak ragu,” bantah Lyra. “Cuma capek, lapar, dan pengen donat.”
Kaelen yang nonton dari jauh ngakak. Mirae bahkan hampir keselek air herbalnya.
Tapi meski sarkas dan sering nyebelin, Lyra tahu—Arven benar. Di dalam dirinya masih ada pertanyaan besar: kalau benar darahnya dari Raja Kelam, apa artinya dia terikat pada takdir jahat?
Malamnya, Lyra duduk di tepi danau kristal di dalam wilayah Tan’Rael, sendirian. Suara riak air dan serangga malam menjadi latar suasana yang damai tapi... hampa.
Tiba-tiba, dari balik semak, muncullah seseorang. Arven.
“Gue nggak ngintip, kok,” kata Lyra buru-buru.
Arven hanya menatapnya. “Kamu selalu lari ke tempat ini malam-malam.”
“Tempat ini tenang. Lebih tenang dari suara lo tiap bilang gue bakal mati.”
Arven tidak tersenyum, tapi matanya melunak sedikit. “Kamu nggak lemah, Lyra. Cuma… kamu belum tahu apa yang kamu perjuangkan.”
Lyra menatap danau, suaranya pelan. “Kalau gue ternyata emang anak Raja Kelam… kalau semua darah gue emang jahat… apa gue harus nerima itu?”
“Darahmu bukan takdirmu,” kata Arven, suaranya rendah tapi mantap. “Gue kehilangan keluarga karena raja itu. Tapi sekarang, gue juga belajar... dendam nggak bisa nyembuhin luka.”
Itu pertama kalinya Arven menyebut masa lalunya sendiri.
Lyra menoleh. “Makasih, Arven.”
Ia mengangguk pelan. “Besok, latihan akan berubah. Kita akan coba teknik pemanggilan.”
“Pemanggilan? Jangan bilang gue harus panggil monster buat diajak ngobrol.”
“Bukan monster. Bayanganmu sendiri.”
“Lebih serem.”
Keesokan paginya, arena latihan kosong. Cuma Lyra dan Arven. Di tengah lingkaran batu kuno, Arven menyuruh Lyra duduk, mata tertutup.
“Kabutmu menyimpan memori darah. Dalam kabut itu, tersembunyi potongan dirimu yang belum bangun.”
Lyra menarik napas. “Kalau ada bagian dari diri gue yang kayak... jahat, terus keluar, lo janji nggak bunuh gue, kan?”
“Kalau kamu berubah jadi makhluk kegelapan tujuh kepala, ya… mungkin gue pertimbangkan.”
“Helpful banget, thanks.”
Dan dimulailah ritual pemanggilan.
Kabut mengalir dari telapak tangan Lyra, membentuk pusaran di sekeliling tubuhnya. Ia mendengar bisikan-bisikan kecil—sebagian dalam bahasa yang tidak ia mengerti. Suhu menurun drastis, dan langit perlahan menggelap.
Lalu… muncullah sosok di hadapannya. Sosok yang bentuknya seperti dirinya sendiri, tapi dengan mata hitam menyala, dan senyum menyeringai. Rambutnya bergerak seperti asap.
“Selamat datang, Lyra,” katanya dengan suara yang mirip—tapi bukan suara Lyra yang biasa.
“Astaga... ini kayak nonton film horor tapi akunya pemeran utamanya,” gumam Lyra, menggigit bibir.
Sosok itu—bayangan Lyra—melangkah mendekat. “Aku adalah bagian dari darahmu yang dikunci. Aku tahu semua ketakutanmu. Termasuk... rasa takutmu pada kebenaran.”
“Kebenaran apa?”
“Bahwa kau dilahirkan bukan untuk menyelamatkan Aedhira... tapi untuk menghancurkannya.”
Lyra menggertakkan gigi. “Lo cuma bagian dari sisi gelap gue. Lo bukan takdir gue.”
Sosok itu menyeringai. “Takdir tidak bisa dihindari. Kau akan melihat. Semakin kamu bangkit... semakin banyak bayangan yang akan terbangun.”
Dan dengan satu teriakan, kabut menyerap kembali ke tubuh Lyra. Ia jatuh terduduk, terengah-engah, keringat dingin membasahi lehernya.
Arven menahan tubuhnya. “Kamu berhasil. Kamu... melihatnya?”
Lyra mengangguk lemah. “Iya. Dan dia serem banget.”
“Bayangan itu akan selalu ada. Tapi kamu sudah cukup kuat buat menghadapi mereka.”
Sore itu, Lyra berjalan kembali ke asrama dengan kepala pening, tapi hatinya sedikit lebih teguh. Dia mungkin punya sisi gelap. Tapi dia juga punya teman. Kaelen, Mirae... bahkan Arven, si es batu berhati hangat.
Dan untuk pertama kalinya sejak sampai di Aedhira, Lyra mulai percaya: mungkin dia bukan kutukan.
Mungkin... dia adalah harapan terakhir dunia ini.
Keesokan harinya, matahari Aedhira terasa seperti diatur oleh tangan dewa—begitu cerah, tapi nggak menyilaukan. Langit biru, awan tipis berarak pelan, dan angin yang berhembus rasanya segar banget, kayak es krim rasa mint.
Namun, semua ketenangan itu terhapus begitu Lyra mendengar kabar dari Kaelen.
"Lo nggak akan percaya," katanya sambil ngasih secarik kertas yang terlipat rapi. "Ada ancaman baru dari Pasukan Bayangan. Mereka mulai bergerak. Rencana kita harus segera dilaksanakan."
"Ancaman baru?" Lyra mengernyit. "Gue baru aja mulai belajar ngendalikan kabut, Kaelen. Lo pikir gue bisa langsung jadi pahlawan?"
Kaelen nyengir. "Kalau gue pikir, lo bakal jadi pahlawan, tapi lo nggak bakal jadi pahlawan yang biasa-biasa aja. Lo akan jadi pahlawan yang sambil makan pop corn."
"Lo itu sering banget ngomong nggak jelas, ya?"
Kaelen hanya tertawa kecil, nyengir lagi. "Gue tahu. Tapi beneran, ini serius. Kalau lo nggak siap, lo bakal jadi sasaran utama Pasukan Bayangan. Mereka nggak hanya nyari lo, tapi juga beberapa artefak yang tersebar di Aedhira."
Lyra menatap secarik kertas itu. Di atasnya, ada peta yang terlihat seperti peta kuno—tua, terkelupas sedikit di pinggirnya, dengan beberapa lokasi misterius yang tertulis dengan simbol-simbol yang nggak dikenalnya.
"Lo yakin ini peta yang bener?" tanya Lyra. "Kayaknya lebih cocok buat game petualangan daripada kenyataan."
Kaelen memutar bola matanya. "Itulah yang gue bilang, Lyra. Lo terlalu banyak nonton film. Tapi ya, ini serius. Coba lo lihat titik-titik ini—ini lokasi-lokasi yang Pasukan Bayangan cari. Kita nggak bisa tinggal diam."
"Jadi, lo mau gue langsung pergi ke tempat-tempat ini dan... ngapain?"
"Nggak ngapa-ngapain. Cuma ngumpulin info. Gampang, kan?"
"Gampang buat lo ngomongnya. Tapi gue yang harus terjun langsung ke sana," Lyra mendengus. "Gue udah dibilangin, kan? Gue nggak siap, Kaelen."
Kaelen mengangkat bahu. "Kalau lo nggak siap, kita semua bakal terjebak di sini. Gue bakal bantu, Mirae juga, dan—"
"Sama Arven?" potong Lyra.
Kaelen meliriknya. "Iya, sama Arven juga."
Lyra meringis. "Oke, gue coba mikir logis. Jadi, kita bakal nyelidikin lokasi-lokasi ini. Kalau ketemu Pasukan Bayangan, kita—"
"Langsung kabur. Tapi lo nggak bakal kabur, kan?"
Lyra mengernyit. "Lo yakin gue bisa kabur kalau mereka nyerang?"
"Tentu. Soalnya lo punya kabut."
"Oh, jadi lo mikir gue bisa langsung jadi semacam superhero? Cukup keluarin kabut, terus semua musuh kabur gitu aja?"
Kaelen tertawa kecil. "Enggak segampang itu, sih. Tapi lo bisa melindungi diri. Yang penting, lo tetap fokus. Jangan sampai kabut lo malah ngelawan lo."
Lyra menarik napas panjang, lalu melirik peta itu lagi. "Oke, kalau gue harus ngelakuin ini, kita mulai dari mana?"
Kaelen menunjuk salah satu titik di peta yang terletak di hutan yang lebih dalam. "Kita mulai dari sana. Tempat itu dikenal sebagai Hutan Awan, katanya ada jejak Pasukan Bayangan di sana."
Lyra mengangguk pelan, meskipun dalam hatinya, keraguan masih menyelimuti. "Hutan Awan... Itu tempat apa?"
"Hutan yang dijaga oleh makhluk bayangan. Mereka katanya bisa berbaur dengan kabut. Jadi, hati-hati," kata Kaelen, menyeringai. "Tapi tenang, lo kan jago ngendaliin kabut sekarang."
Lyra memutar bola matanya. "Semua orang di sini suka ngasih gue tekanan berlebihan. Gue juga bukan dewa."
"Tapi lo punya potensi jadi dewa," jawab Kaelen. "Mungkin lo nggak merasa kayak itu sekarang, tapi lo akan tahu nanti."
Pagi itu, setelah siap-siap dan berbekal persiapan seadanya, Lyra, Kaelen, dan Arven berangkat ke Hutan Awan. Udara di sana sudah terasa berbeda—lebih berat, seakan setiap langkah mereka diatur oleh kekuatan yang tak tampak.
"Hati-hati," kata Arven, suaranya lebih serius daripada biasanya. "Hutan ini... nggak seperti yang lo bayangin."
Lyra mendongak. "Maksud lo?"
"Maksudnya," Arven melanjutkan, "Hutan Awan bukan cuma penuh kabut. Ada makhluk yang bisa membuat lo kehilangan arah. Bahkan waktu bisa berjalan berbeda di sini."
"Santai, Arven. Gue nggak seburuk itu," Lyra nyengir. "Gue cuma takut sama hawa-hawa nggak enak gitu aja."
Kaelen tertawa kecil. "Lo lebih takut sama perasaan sendiri daripada kabut, ya?"
"Lo salah," jawab Lyra dengan santai. "Gue cuma nggak suka tempat yang bikin kepala pusing dan kaki nyerempet-nyerempet."
Mereka melangkah lebih dalam ke hutan, semakin jauh dari batas desa. Dan kabut yang ada mulai terasa seperti mengintai—bergerak perlahan, hampir hidup, seolah mengelilingi mereka.
Lyra menarik napas. “Ini bukan cuma kabut biasa, kan?”
Kaelen mengangguk. “Pasti. Ini kabut yang terhubung dengan Hutan Awan. Kalau lo nggak hati-hati, bisa jadi lo tersesat di dalamnya.”
Tiba-tiba, kabut itu bergerak lebih cepat, melingkari tubuh mereka. Lyra menutup matanya sebentar, fokus pada napasnya. Dia merasa kabut itu mencoba menembus dirinya, menyusup ke dalam jiwanya, seperti memaksanya untuk melupakan tujuannya.
“Gue nggak bisa mundur,” bisiknya pada diri sendiri.
“Lo nggak akan mundur, Lyra,” kata Kaelen, seolah membaca pikirannya. “Lo nggak sendirian.”
Langkah mereka makin lambat, bukan karena lelah, tapi karena kabut di Hutan Awan makin tebal. Semuanya terasa membingungkan—jalan yang tadi lurus tiba-tiba melengkung, pepohonan tampak seperti bergerak, dan suara-suara aneh mulai terdengar.
Suara tawa kecil, mirip suara anak-anak… tapi nggak ada anak-anak di sana.
Lyra merapatkan jubahnya. “Gue ngerasa kayak lagi ikut uji nyali.”
“Bukan cuma lo,” gumam Arven. Ia berjalan di depan, matanya siaga, tangan memegang pedang panjang di pinggangnya. “Ini efek kabut. Mereka bukan hanya bikin kita tersesat, tapi juga mulai main-main sama pikiran kita.”
Kaelen mengangguk, menyapu udara dengan semacam jimat yang menggantung di pergelangan tangannya. “Makhluk kabut suka banget ngacak-ngacak emosi. Lo bakal ngerasa takut, marah, atau sedih tanpa sebab. Kuncinya: jangan percaya semua yang lo dengar atau lihat di sini.”
Tiba-tiba, Lyra berhenti. Di depannya, ia melihat bayangan... seorang perempuan, berdiri membelakanginya, rambut panjang terurai, dan gaun putih berlumur darah. Suasana langsung berubah sunyi. Jantung Lyra memukul tulang rusuknya.
“Mama?” bisiknya.
Sosok itu berbalik perlahan, dan untuk sekejap, wajahnya—ya ampun—itu memang wajah ibunya. Wajah yang sama persis seperti terakhir kali Lyra melihatnya sebelum tragedi. Tapi... ada yang salah. Mata sang ibu... hitam seluruhnya.
Seketika, Arven menarik Lyra ke belakang. “Jangan lihat dia! Itu bukan ibumu!”
Sosok itu menjerit—suara melengking yang bukan suara manusia—lalu menghilang ke dalam kabut. Lyra jatuh terduduk, tangannya gemetar hebat.
“Gue... gue yakin itu tadi—”
“Bukan,” potong Kaelen cepat. “Itu ilusi. Makhluk kabut paling suka nyamar jadi orang yang lo rindukan. Dia masuk lewat celah paling rapuh di hati lo.”
Lyra memejamkan mata, berusaha menahan air mata. “Gue kira gue udah cukup kuat.”
Arven berlutut di sampingnya, suaranya rendah. “Kuat bukan berarti nggak pernah goyah, Lyra. Kuat itu… tetap berdiri walau lo sempat jatuh.”
Lyra mengangguk pelan, lalu berdiri lagi dengan napas dalam.
“Gue siap,” katanya akhirnya. “Kita terus jalan.”
Setelah beberapa menit, mereka tiba di sebuah tanah lapang di tengah hutan. Di sanalah, di bawah pohon tua yang akar-akarnya menjulur seperti tangan raksasa, berdiri sebuah altar batu kuno.
Dan tepat di atasnya… sebuah kristal ungu besar yang tampak berdenyut pelan, seolah bernapas.
“Itu dia,” bisik Kaelen. “Kristal Bayangan. Salah satu artefak yang dicari mereka.”
Namun, sebelum mereka bisa mendekat, kabut kembali menggeliat dan dari dalamnya muncul tiga sosok tinggi berjubah hitam. Wajah mereka tertutup topeng besi berukir, dan aura mereka langsung bikin suhu di sekitar turun drastis.
“Wah, kayaknya kita keduluan,” gumam Lyra.
Salah satu dari sosok itu maju. Suaranya dingin, nyaris seperti bisikan. “Anak kabut… kau tak seharusnya ada di sini.”
Lyra melangkah maju, suara hatinya memompa adrenalin. “Gue juga nggak pengen ada di sini, tapi lo semua kayaknya lebih nggak sopan—datang tanpa undangan dan langsung ngincar artefak.”
Para penjaga bayangan tidak tertawa. Mereka hanya mengangkat tangan… dan kabut mulai membentuk sesuatu—taring, cakar, dan mata merah yang muncul satu per satu dari udara.
“Pertempuran ini bukan buat lo sendiri, Lyra,” kata Kaelen. Ia berdiri di sampingnya, tangan bersiap mengeluarkan mantra.
Arven menghunus pedangnya. “Kita bertiga, ingat? Jangan gaya solo kayak film superhero.”
Lyra mengangguk. “Baiklah… ayo kita bikin kabut mereka jungkir balik.”
Pertempuran pecah dengan cepat. Lyra mencoba menggunakan kabutnya untuk menyerap dan memukul balik serangan ilusi, sementara Kaelen menciptakan pelindung dari cahaya sihir kuno. Arven? Dia bertarung seperti bayangan itu utang uang sama dia—cepat, tanpa suara, dan mematikan.
Tapi jumlah mereka kalah banyak.
Kabut makin tebal, dan salah satu dari sosok berjubah melemparkan mantra kuat yang menghantam dada Lyra. Ia terpental, menabrak pohon, dan tubuhnya terasa remuk.
“LYRA!” Kaelen berteriak, tapi ia juga sibuk bertahan dari serangan dua penjaga bayangan lainnya.
Lyra membuka mata pelan. Kabut berputar di sekitarnya, dan di dalam pikirannya, ia melihat bayangan dirinya sendiri—berdiri, tersenyum, lalu berkata, “Kalau lo nyerah sekarang, semua ini selesai.”
Tapi Lyra menggertakkan gigi. “Gue nggak nyerah… bukan sekarang.”
Dengan sisa tenaga, ia mengangkat tangannya. Kabut di sekitarnya mulai berubah—bukan lagi abu-abu pekat, tapi berpendar ungu. Kristal Bayangan mulai merespons, dan dari altar batu itu, cahaya menyala terang.
Penjaga bayangan menyadari perubahan itu. Mereka berteriak, tapi terlambat.
Seketika, kabut Lyra meledak dalam bentuk pusaran energi besar, menyapu seluruh makhluk bayangan dan menenggelamkan altar dalam cahaya ungu menyilaukan.
Saat semuanya reda, Lyra berdiri di tengah lingkaran bekas ledakan kabutnya. Lelah, penuh luka, tapi matanya… menyala terang.
Kaelen melangkah mendekat. “Lyra… lo barusan… itu…”
“Entah apa yang barusan gue lakuin,” jawab Lyra lirih, “tapi gue ngerasa kayak… gue dan kabut ini udah mulai satu frekuensi.”
Arven menyarungkan pedangnya. “Itu bukan cuma satu frekuensi. Lo baru aja mengusir penjaga bayangan… sendiri.”
“Serius?” Lyra mengangkat alis. “Gue harus mulai bikin daftar prestasi, nih.”
tapi kau di harapkan di dunia edheira