NovelToon NovelToon
Gu Xiulan, Harapan Dan Pembalasan

Gu Xiulan, Harapan Dan Pembalasan

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir
Popularitas:6.2k
Nilai: 5
Nama Author: samsuryati

Dulu aku menangis dalam diam—sekarang, mereka yang akan menangis di hadapanku.”

“Mereka menjualku demi bertahan hidup, kini aku kembali untuk membeli harga diri mereka.”

“Gu Xiulan yang lama telah mati. Yang kembali… tidak akan diam lagi.”
Dari lumpur desa hingga langit kekuasaan—aku akan memijak siapa pun yang dulu menginjakku.”

“Satu kehidupan kuhabiskan sebagai alat. Di kehidupan kedua, aku akan jadi pisau.”

“Mereka pikir aku hanya gadis desa. Tapi aku membawa masa depan dalam genggamanku.”

“Mereka membuangku seolah aku sampah. Tapi kini aku datang… dan aku membawa emas.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon samsuryati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

11

Begitu keributan mencapai puncaknya, semua anggota keluarga yang masih sadar segera bergegas. Ayah Ulan memapah tubuh Paman Kedua yang sudah setengah tak sadarkan diri, sementara Kakek dan sepupu memimpin jalan keluar rumah menuju rumah dokter desa. Yueqing masih menangis tersedu sambil memegang tangan ayahnya, memohon agar sang dokter segera menyelamatkan nyawa satu-satunya ayah yang dia miliki.

Ulan hanya menatap kepergian mereka dari ambang pintu, wajahnya tampak khawatir dan lelah. Tubuhnya bersandar lemah di sisi tiang kayu, seolah dia tak lagi mampu menahan beban tubuhnya sendiri.

“Ulan, kau tidak ikut?” tanya salah satu bibi dengan nada pelan.

“Aku… maaf, tubuhku masih sangat lemah, aku takut malah merepotkan,” jawabnya lirih, penuh kepalsuan yang dibalut dengan kelembutan suara. Matanya memerah, bukan karena menangis, melainkan karena digosok perlahan agar tampak seperti habis menangis.

Beberapa bibi yang tak ikut mengantar ke rumah tabib dengan baik hati mengangguk mengerti. “Sudahlah, istirahat saja. Serahkan urusan di sini pada kami.”

Dengan sigap, para wanita itu mulai membersihkan meja makan yang berantakan, memunguti pecahan mangkuk yang jatuh, serta mengelap darah yang masih menodai lantai papan rumah tua itu. Salah satu dari mereka berkomentar lirih, “Ya ampun… sampai darah sebanyak ini. Menyeramkan sekali…”

Ulan berjalan pelan, menyeret langkahnya seperti orang yang kehabisan tenaga, lalu duduk bersimpuh di salah satu sudut ruangan. Tangannya gemetar,entah karena akting atau karena puas atas rencana kecilnya yang berhasil. Dia menggenggam ujung bajunya, lalu menekannya pada mata, berpura-pura menghapus air mata yang tak pernah ada.

“Aku… tak menyangka semuanya akan sejauh ini, tadi juga udah di bilangin tapi...,” gumamnya pelan,cukup keras agar salah satu bibi yang membersihkan bisa mendengarnya.

Bibi itu menoleh, merasa simpati. “Tak ada yang bisa menyangka, Ulan. Tapi kamu sudah cukup baik memperingatkan mereka. Kau gadis yang perhatian.”

Ulan menggeleng perlahan, bibirnya bergetar seolah menahan tangis. “Aku hanya… takut. Dia itu Paman Kedua… meski kadang keras, tapi dia tetap bagian dari keluarga.”

Bibi lainnya menyentuh bahunya dengan lembut, “Sudah, jangan terlalu disesali. Yang penting sekarang dia bisa diselamatkan.Kau juga tidak sehat kan.Apa kata dokter?”

"Bibi.. aku... ada masalah dengan tubuh ku, dokter bilang aku...

Kata kata yang terputus-putus membuat penasaran pendengar.Ulan di paksa untuk berbicara tentang kesehatan nya.

Dengan kejam tapi berwajah khawatir,dia menyebutkan jika rahim nya dingin dan akan kesulitan hamil di masa depan jika tidak mendapatkan perawatan yang serius.

Ahhhh..

Setelah itu hanya ada kata kata penghiburan untuk Ulan.

Dalam hati, Ulan hanya diam. Wajahnya masih menampakkan luka dan sedih yang mendalam, namun matanya mulai mengabur dengan lamunan.

Dia sendiri yang memohon kepada dokter desa agar kabar ini di sebar luaskan.Jangan bilang Ulan kejam pada dirinya sendiri tapi dia hanya tidak bisa menikah dengan keluarga itu lagi.Foa akan mencegahnya meskipun artinya ini akan merusak reputasi diri sendiri.

Ulan rela.

"Aku belum selesai. Ini baru awal..."

Beberapa saat setelah para bibi dan tetangga selesai membersihkan rumah, suasana kembali hening meski bayang-bayang kepanikan masih tergantung di udara. Ulan masih bersandar lemah di dinding, memeluk lututnya dengan sorot mata kosong namun awas. Suara langkah tergesa-gesa terdengar dari arah luar, lalu pintu kayu tua terbuka lebar dengan hentakan kasar.

Nenek masuk dengan langkah lebar dan wajah keruh seperti awan sebelum badai. Gaunnya masih berantakan, napasnya memburu karena tergesa. Beberapa bibi menoleh.

"Nenek, bagaimana kondisi Paman Kedua?" tanya salah satu dari mereka dengan nada cemas.

"Apa lagi kalau bukan kelakuan dokter desa yang goblok itu!" bentak sang nenek keras. "Baru saja muntah darah dikit sudah menyuruh kami bawa ke rumah sakit kota! Kau pikir kami ini punya uang berkarung?!"

Beberapa orang terkejut mendengar nada tinggi sang nenek.

“Dia bilang harus segera dibawa ke kota. Kalau tidak, bisa ‘berisiko’. Risiko apaan? Anak bodoh itu cuma masuk angin!” lanjutnya, sambil berjalan ke dalam kamar untuk mengambil sesuatu.

Salah satu bibi tetangga mencoba bicara dengan suara hati-hati, “Tapi bibi ,kalau dokter desa sudah menyarankan begitu, mungkin memang serius. Lebih baik jangan disepelekan dulu…”

“Huh! Serius? Orang itu bahkan tidak bisa membedakan antara muntah darah karena batuk atau karena jantung!” Nenek menjawab ketus sambil membuka peti tua tempat mereka menyimpan uang darurat. Terdengar suara koin dan kertas uang bergesekan. “Dokter macam apa itu? Tidak lebih dari tukang ramal! Kalau aku tidak takut cucu lelaki sulungku mati, aku tidak akan ke kota!”

Bibi lain menyela, lebih lembut, “Tapi bibi jangan menyinggung dia… cuma ada satu dokter di desa ini. Kalau suatu hari nanti bibi atau anak-cucu bibi sakit, lalu dia menolak mengobati karena merasa dihina, bagaimana?”

Ucapan itu membuat nenek terdiam sejenak. Tangan keriputnya masih menggenggam koin, tapi tidak bergerak.

“Jangan sampai beliau tersinggung, Nek,” lanjut si bibi. “Masalah hari ini biar lewat, yang penting sekarang fokus selamatkan dulu Paman Kedua.”

Nenek mendengus kasar, tapi tak berkata apa-apa lagi. Dia merapikan koin dan uang kertas yang terkumpul dalam kantong kain, lalu mengikatnya erat-erat.

“Huh. Dasar dokter rewel. Kalau saja aku punya pilihan lain…” gumamnya, tapi suaranya sudah melemah. Kemarahan tadi tampaknya berangsur surut oleh kenyataan yang tak bisa dibantah: nyawa putranya ada di ujung pisau dan hanya dokter itu satu-satunya harapan.

Tapi langkahnya berhenti,uang ini nggak bakalan cukup ke rumah sakit kota.Jadi dia masuk ke dalam kamar lagi .

Hanya perlu beberapa waktu ketika ada Jeritan melengking terdengar dari dalam kamar nenek.Suara yang memekakkan telinga hingga membuat seluruh rumah berguncang seolah ditarik oleh badai. Semua orang yang masih tinggal di rumah sontak tersentak dari aktivitasnya. Salah satu bibi tetangga langsung berlari masuk ke kamar nenek, menyusul beberapa lainnya yang terpaku di ambang pintu.

“Astaga, bibi! Ada apa?!” seru bibi itu cemas.

“Uangku! Uangku hilang! Uwaaaa!!!” Nenek meronta histeris, rambutnya berantakan, matanya liar penuh amarah dan ketakutan.

Salah satu tetangga sempat berbisik di belakang, “Apa Paman Kedua sudah mati?”

“Diam kau! Jangan asal bicara!” tegur bibi yang lain, namun matanya juga mulai berkaca-kaca karena ikut panik.

Apa iya mati karena semangkuk minuman.

Nenek gu masih histeris di kamar.

Beberapa saat kemudian, tangis nenek mulai melemah, berubah menjadi isakan berat. Ia terduduk di lantai kamar sambil memegangi peti kayu kecil yang terbuka lebar. Wajahnya merah padam karena emosi.

“Uangnya… uangku hilang… Tiga belas ribu! Semua… hilang!” jeritnya lagi.

“Berapa??” Salah satu bibi hampir tersedak.

“Tiga belas ribu rupiah!!”

Suasana langsung tegang. Angka itu begitu besar—di desa kecil tempat mereka tinggal, jumlah itu bisa dipakai untuk membeli sebidang kecil tanah atau memberi makan keluarga selama berbulan-bulan. Semua orang saling berpandangan, tak percaya. Keluarga Gu yang mereka kenal bukan keluarga kaya. Mereka sama miskinnya dengan warga lain. Dari mana nenek mendapat uang sebanyak itu?

Begitu tenang sedikit, nenek mulai merangkai pikirannya. “Siapa yang tinggal di rumah saat kami ke ladang?! Siapa yang tak ikut ke rumah dokter?!”

Semua mata perlahan menoleh ke arah Ulan yang duduk bersandar di sudut ruangan.

“KAU!!” teriak nenek, keluar dari kamar dan langsung menerjang Ulan. Tangannya yang gemetar karena usia menampar pipi gadis itu tanpa peringatan. “Kembalikan uangku! Dasar gadis tak tahu malu! Kau pikir bisa mencuri dari nenekmu sendiri?!”

Ulan langsung terjatuh, tangisnya pecah seperti hujan deras yang sudah lama ditahan.

“A-aku tidak tahu uang apa yang nenek maksud… Aku bahkan tidak pernah melihat uang sebanyak itu… Aku tidak tahu seperti apa bentuknya… Satu sen pun… aku tidak pernah memegangnya…” isaknya, wajahnya memucat, tubuhnya menggigil.

Di desa, seorang gadis yang bfi pukul tetua tidak boleh membalas, jangan kan membalas mengelak saja,sama dosanya.Ulan seperti itu. , dulu dia pasrah tapi sekarang dia tidak mengelak karena ada gunanya.

Buktinya Beberapa bibi dan tetangga langsung maju, mencoba melerai.

“Sudah, sudah, Nek… jangan memukul terus!”

"Ulan pingsan di gunung, dia masih sakit sampai sekarang,apa mungkin bibi salah letak?"

Nenek mendengus lagi dengan mata basah bersimbah air mata.Dia memiliki kebiasaan mengecek uang sebelum tidur.Jadi tadi malam,u uangnya masih ada.Karena itu,uang ini pasti di colong pagi atau sore ketika semua orang pergi ke ladang.

Tapi Ulan tidak ada di rumah seharian karena pingsan dan ke dokter desa.Lalu jika bukan Ulan, jadi siapa?

“Nenek yakin benar itu dicuri?” tanya bibi tetangga.

“ Ya nyonya tua,Kau yakin menyimpannya dengan baik? Jangan-jangan salah hitung,kok jumlah nya segitu?”

Namun nenek tak berhenti. Ia terus mengutuk Ulan, menuding gadis itu sebagai pembawa sial yang tidak tahu diri. Tapi tekanan dari para tetangga yang membela Ulan perlahan membuat nenek terpojok. Tak ada satu pun dari mereka yang percaya jika keluarga Gu punya uang sebanyak itu, apalagi disimpan diam-diam di rumah.

Akhirnya, dalam amarah yang meledak sekaligus penuh frustrasi, nenek mengaku.

“Aku… aku memang menerima uang mahar! Lima ratus rupiah! Dari orang kota yang datang meminang Ulan!”

Semua orang membelalak.

"Mahar? Ulan??"

"Astaga mahar sebesar itu?

Di tanya lagi,ada rasa bangga di wajah nenek .Ulan juga tambah keras menangis nya, akibatnya warga menjadi prihatin lagi dengan Ulan

“Dan sisanya… aku kumpulkan sedikit demi sedikit! Bertahun-tahun! Aku simpan… aku simpan untuk masa tua… Untuk kebutuhan darurat!”

Ooh neny gue, artinya bukan Ulan pelaku nya,Ulan saja tidak tau tentang uang mahar kan?"

Sunyi.

Ruangan itu menjadi sangat senyap hingga isak tangis Ulan terdengar jelas. Tapi kini, tak ada yang tahu siapa yang bersalah—atau apakah memang ada pencuri.

Yang tersisa hanya keraguan, kecurigaan, dan kebingungan.

Jika bukan Ulan maka....

Deg..

beberapa orang segera berbisik-bisik sementara ulan masih bersimbah air mata.

Namun di balik air mata dan tubuh yang menggigil, Ulan perlahan menundukkan kepala. Tatapan matanya tersembunyi di balik rambut kusutnya, dan di sana, samar-samar terselip secercah senyum… begitu tipis, namun memuaskan.

Pencuri itu aku nenek ku sayang,hehy.

Ulan masih terduduk di lantai, air mata mengalir deras dari sudut matanya yang sembab. Bahunya terguncang seolah seluruh dunia sedang runtuh di pundaknya. Dengan suara parau dan penuh duka, ia menatap ke langit-langit rumah, seakan sedang memohon keadilan dari langit.

“Kenapa... kenapa hidupku begini, Tuhan...?” ratapnya lirih tapi tajam menghunjam. “Kalau memang uang itu untuk nenek, biarlah... aku ikhlas... aku ikhlas untuk serahkan mahar ini sebagai bentuk baktiku… Tapi kenapa… kenapa harus hilang begitu saja? Kenapa aku masih harus dituduh mencuri…?”

Ia membenamkan wajah di kedua telapak tangannya dan menangis lebih keras, menambah aura duka dalam ruangan yang sebelumnya penuh amarah.

Nenek yang awalnya berdiri penuh amuk kini perlahan meredakan suaranya. Tatapannya yang semula tajam dan menyala, perlahan berubah jadi ragu. Tubuhnya yang mulai renta sedikit bergetar.

“Kalau dia yang mencuri… kenapa masih menangis begini?” bisiknya pada dirinya sendiri.

Lagi pula, pikirnya, Ulan… ya, gadis itu memang bodoh. Terlalu bodoh untuk tahu nilai uang, terlalu polos untuk berani mencuri, apalagi menyembunyikannya. Ia bahkan sering ditipu dalam urusan jual-beli sayur di pasar. Apa benar dia pelakunya?

Keraguan menancap dalam hati nenek, dan pada saat itulah, kenangan tentang penghuni rumah lainnya menyusup ke benaknya.

“Kalau bukan Ulan… siapa lagi?” gumamnya. “Hari ini cuma ada satu gadis lain yang tinggal di rumah selain dia…”

Semua orang tahu siapa yang dimaksud.

Gu Yueqing.

Nenek tidak langsung menuduh, tapi bola keraguan mulai bergerak. Matanya mengerjap-ngerjap seolah tidak percaya.

“Yueqing anak baik…” bisik nenek lagi, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. “Dia rajin… lembut… sopan. Tidak mungkin… tidak mungkin dia…”

Tapi seseorang menjawab dengan suara pelan namun menusuk, “Kadang orang hanya tahu wajah, Nek… tapi tidak tahu isi hatinya.”

Ucapan itu datang dari salah satu bibi tetangga yang dari tadi diam, tapi jelas matanya bersinar puas melihat keributan itu. Dia menyelipkan senyum kecil di balik selendangnya, lalu melanjutkan dalam nada netral tapi beracun, “Banyak orang tampak baik… tapi siapa tahu hatinya ada niat lain, apalagi kalau tahu nenek punya uang sebanyak itu.”

“Benar juga…” sahut yang lain, pura-pura prihatin. “Kalau betul-betul butuh uang, siapa pun bisa tergoda. Mau sebaik apa pun kelihatannya…”

Ucapan-ucapan itu seperti angin beracun yang masuk ke dalam pikiran nenek. Ia mulai gelisah, bibirnya bergetar tanpa suara. Ia ingin membantah, tapi benih keraguan sudah tumbuh dan menjalar. Ia duduk lemas di bangku rotan dan mulai mengurut dadanya yang terasa sesak.

Sementara itu, beberapa bibi yang lain saling berpandangan, ada yang tampak menahan tawa puas, ada pula yang sudah mulai berbisik satu sama lain, menyebarkan provokasi seperti bara api yang mulai menjilat kayu kering.

Salah satu dari mereka berkata pelan namun sengaja bisa didengar, “Wah… kalau nenek sampai stroke karena stres, siapa yang bisa tanggung jawab ya?”

Ucapan itu membuat suasana menjadi makin tegang, dan Ulan… masih menangis di lantai dengan wajah memerah dan tubuh menggigil. Tapi di balik lengan yang menutupi wajahnya, sudut bibirnya terangkat… pelan, kecil, dan sangat licik.

1
Etty Rohaeti
lanjut
Fauziah Daud
yup betul ulan.. trusemangattt
Fauziah Daud
trusemangattt... lanjut
Fauziah Daud
trusemangattt
Cha Sumuk
sdh bab 3 tp mc cewek nya msh bodoh ms ga phm2 bahwa dirinya lg ngulang waktu, cerita ga jls berbelit Belit kesan nya,
samsuryati: say mc nya, sejak awal hanyalah seorang gadis tanpa pengalaman bahkan tanpa ilmu pengetahuan. tidak seperti kita yang tahu membaca dia hanya tahu desa bahkan belum pernah menikmati kota. meninggal pada tahun 70 sekian, hidupnya memang seperti katak di bawah tempurung.

jadi kelahiran kembali memberikan dia pilihan namun pilihan itu belum serta merta membuat dirinya berubah dari gadis muda yang bodoh menjadi gadis muda yang pintar.
ingatlah di dalam dua kehidupan dia bahkan belum pernah belajar.
Ini bukan tentang transmigrasi gadis pintar era 21 ke zaman 60-an di mana era kelaparan terjadi.
bukan say, cerita ini di buat membuat ulan mampu merubah hidupnya selangkah demi selangkah tidak langsung instan.

salah satunya adalah dia yang tidak pernah belajar sebenarnya bisa membaca tulisan-tulisan yang dipaparkan oleh layar virtual.
ya say, anggap saja itu adalah modal pertama dia untuk berubah.
jadi aku masih perlu kamu untuk mendukung agar perubahannya bisa membuatmu puas
total 1 replies
Fauziah Daud
bagus.. trusemangattt
Fauziah Daud
trusemangattt
Andira Rahmawati
ulan nya terlalu lambat telminya kelamaan..😔
Fauziah Daud
bijak ulang.. trusemangattt
Fauziah Daud
trusemangattt.. lanjut
Dewiendahsetiowati
hadir thor
Fauziah Daud
trusemangattt
Fauziah Daud
lanjuttt
Fauziah Daud
luarbiasa
Fauziah Daud
trusemangattt
Fauziah Daud
hadir thor
Cilel Cilel
luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!