NovelToon NovelToon
Di Ujung Cakrawala

Di Ujung Cakrawala

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Anak Genius / Anak Yatim Piatu / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Transmigrasi ke Dalam Novel
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: kaka_21

"Jangan pergi."
Suara itu terdengar lirih, hampir tenggelam oleh tiupan angin perbatasan. Tapi Cakra mendengarnya jelas. Shifa berdiri di hadapannya, mengenakan jaket lapangan yang kebesaran dan wajah yang tidak bisa menyembunyikan kecemasan.

"Aku harus."
Cakra menunduk, memeriksa ulang peluru cadangan di kantongnya. Tangannya gemetar sedikit. Tapi dia tetap berdiri tegak.

Shifa maju selangkah, menatap matanya.
"Kenapa harus kamu? Ada banyak tim. Kenapa kamu yang selalu minta maju paling depan?"

"Karena itu tugasku."
Cakra tidak mengangkat wajahnya.

"Bukan. Itu karena kamu terus ngejar bayangan ayahmu. Kamu pikir kalau kamu mati di sini, kamu bakal jadi pahlawan seperti dia?"

Diam.

"Aku bukan ibumu, Cakra. Aku nggak mau mengantar orang yang aku cintai ke pemakaman. Aku nggak sekuat Bu Dita."
Suara Shifa mulai naik.

Cakra akhirnya menatapnya. "Ini bukan soal jadi pahlawan. Ini soal pilihan. Dan aku sudah memilih jalan ini, jauh sebelum aku kenal kamu."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kaka_21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 4: Menjadi Seperti Ayah

Pagi itu, matahari memancar lembut melalui kaca jendela toko buku yang sedikit buram. Sinar keemasan menyelinap di antara tumpukan buku, menciptakan bayangan samar di lantai. Udara masih segar, dan aroma kertas tua yang khas langsung menyambut Cakra saat ia membuka pintu kayu berderit itu. Sebuah lonceng kecil di atas pintu berdenting, menandai awal hari yang berbeda dari biasanya.

Toko itu biasanya dijaga oleh ibunya, Dita. Namun hari ini, sekolah libur dan Dita harus mengurus urusan lain, jadi Cakra menawarkan diri untuk menjaga toko. Ia tahu betul ibunya butuh waktu istirahat, dan di sisi lain, ia sendiri butuh waktu untuk berpikir. Merenung.

Ia mulai menyapu lantai, gerakannya pelan namun teratur. Debu-debu halus beterbangan sebentar sebelum menghilang ke ujung rak. Tangannya kemudian sibuk merapikan buku-buku yang dibiarkan berserakan oleh pelanggan kemarin. Beberapa novel, majalah tua, dan kamus bahasa asing ia susun kembali dengan hati-hati. Gerakan itu sederhana, tapi entah mengapa terasa penuh makna.

Setelah pekerjaan bersih-bersih selesai, Cakra berdiri di tengah toko. Pandangannya berkelana ke deretan rak yang berjajar rapi. Ia mendekat ke rak paling ujung—rak yang khusus menyimpan buku-buku sejarah. Jemarinya menyusuri punggung-punggung buku itu perlahan, seolah sedang menyapa mereka satu per satu. Pandangannya terhenti pada sebuah buku tebal berjudul "Perang dan Strategi Abad ke-20." Ia mengangkatnya, membolak-balik halaman yang mulai menguning.

"Ayah pasti suka dengan buku-buku ini..." pikirnya.

Ia menatap sampul buku itu lama, lalu menarik napas dalam. Ada bayangan samar tentang seorang pria berpakaian militer, berdiri tegap di tengah hujan, menatapnya dari kejauhan. Rangga. Nama yang selama ini hanya hidup dalam cerita, surat-surat, dan foto lama. Tapi kini, sosok itu mulai hidup dalam dirinya.

Toko itu tenang. Hanya suara dengung lampu neon dan alunan musik instrumental dari radio tua di pojok ruangan yang menemani. Cakra duduk di bangku kayu dekat meja kasir, meletakkan buku di pangkuannya. Matanya memandangi jendela, melihat orang-orang berlalu-lalang tanpa tergesa. Dunia di luar bergerak seperti biasa, namun dunianya terasa sedang diam,diam untuk memberi ruang bagi suara hati yang mulai menguat.

"Apa aku hanya akan jadi penjaga toko? Atau... memang sudah waktunya aku melangkah ke jalan yang dulu pernah dipilih Ayah?"

Ada gejolak di dadanya. Perasaan yang sulit ia definisikan. Ia mencintai ibunya, mencintai toko kecil ini, dan kehidupan yang tenang. Tapi di sisi lain, ada kerinduan akan keberanian, tantangan, dan kebanggaan yang tidak bisa ia jelaskan—kerinduan akan sosok ayah yang tidak pernah benar-benar ia kenal.

Tiba-tiba, sebuah desir angin masuk dari celah jendela yang tak rapat. Halaman-halaman buku terbuka sendiri, seperti sedang menunjukkan sesuatu. Cakra tersenyum kecil, lalu berdiri. Ia tahu, hari ini bukan hari biasa. Dan toko kecil ini, untuk pertama kalinya, menjadi tempat ia memantapkan langkah.

Sore menjelang malam. Langit tampak mulai berubah warna—merah keunguan, dengan awan-awan tipis menggantung di langit seperti selimut yang perlahan ditarik. Udara di luar mulai dingin, dan dari dalam toko, cahaya matahari yang tersisa jatuh miring di lantai, menciptakan garis-garis keemasan di antara rak-rak buku.

Toko masih sepi. Tak ada pembeli yang datang sejak siang, hanya suara dari radio tua yang terus mengalun pelan dengan lagu-lagu klasik instrumental yang kadang menyentuh hati tanpa sebab. Cakra berdiri di depan pintu, memegang sapu dan menyapu pelan halaman kecil di depan toko. Ia melakukannya tanpa tergesa, seolah menikmati keheningan yang menyelimuti tempat itu.

Lalu, tiba-tiba, angin bertiup sedikit lebih kencang. Beberapa lembaran kertas yang tergeletak di ujung halaman beterbangan. Salah satunya melayang perlahan, berputar seperti daun gugur yang kehilangan arah, sebelum jatuh tepat di dekat kakinya.

Cakra berhenti. Ia menatap kertas itu sebentar, lalu menunduk dan memungutnya.

Sebuah brosur. Tampak biasa, dilipat rapi, namun kertasnya lebih tebal dari selebaran promosi kebanyakan. Ketika ia membaliknya, matanya langsung tertumbuk pada lambang yang sangat familiar—sebuah simbol kebanggaan yang selama ini hanya ia lihat di buku, film dokumenter, dan foto lama ayahnya.

Lambang akademi militer.

Cakra terdiam. Dunia seakan mengecil dalam sekejap. Suara musik dari radio memudar di telinganya, begitu juga angin yang tadi sempat berdesir. Semua seolah menghilang, digantikan oleh suara detak jantungnya sendiri yang mulai berpacu.

Ia memegang brosur itu dengan dua tangan. Perlahan. Seperti sedang menyentuh sesuatu yang sakral.

Tidak ada nama pengirim. Tidak ada pesan. Hanya lambang kesatuan, deretan informasi singkat tentang pendaftaran, dan satu kalimat yang tercetak tebal di bagian bawah:

"Disiplin. Kehormatan. Pengabdian."

Cakra menarik napas dalam, lalu duduk di kursi kayu dekat pintu. Brosur itu masih dalam genggamannya, tapi pikirannya sudah terbang jauh. Ia teringat pada foto ayahnya—Rangga, berdiri dengan gagah dalam seragam, meski tubuhnya berbalut lumpur. Wajah penuh tekad, senyum yang tak luntur.

“Ini… ini untukku?”

Bukan suara. Hanya bisikan di dalam kepala. Tapi cukup jelas untuk membuat dadanya bergetar.

Ia menggigit bibir, menatap halaman brosur lebih dekat. Tangannya sedikit bergetar—bukan karena dingin, tapi karena sebuah dorongan yang tak bisa ia tahan. Sebuah hasrat untuk melangkah ke jalur yang mungkin telah diwariskan kepadanya. Mungkin inilah panggilan itu. Panggilan yang selama ini ditolak ibunya, tapi kini datang langsung padanya, dalam bentuk paling sunyi—tanpa kata, tanpa suara.

“Mungkin ini...” gumamnya pelan, tak selesai, namun cukup untuk menjawab kegelisahan yang sudah lama bersemayam dalam dirinya.

Matahari perlahan tenggelam di balik gedung-gedung rendah kota kecil itu. Dan di dalam toko buku yang sepi, seorang anak lelaki menatap brosur militer seperti menatap cermin masa depan dan menemukan bahwa ia tak lagi takut pada bayangannya.

Langit sudah gelap ketika bel pintu toko berbunyi pelan—"kring..."—denting lembut yang menggema di ruang sunyi, menyatu dengan aroma buku tua dan kayu yang mengering oleh waktu. Cakra yang sedang duduk di balik meja kasir, masih memegang brosur yang tadi ditemukannya, segera menoleh.

Sosok gadis dengan rambut dikuncir setengah dan jaket tipis warna krem melangkah masuk. Laras. Senyumnya selalu hadir seperti mentari yang datang tanpa perlu diundang, membawa kehangatan yang tidak pernah berlebihan, tapi selalu pas.

“Kok, sepi banget di sini?” katanya sambil menutup pintu pelan. “Pasti lagi sibuk ngurusin toko ya?”

Cakra meletakkan brosur dengan hati-hati di laci meja, menyembunyikannya seperti rahasia yang belum siap dibagi. Ia tersenyum, sedikit kaku, tapi tetap hangat.

“Iya. Ibu lagi nggak ada. Tadi aku bilang aku yang jaga, soalnya sekolah libur.”

Laras melirik sekeliling, menatap rak-rak buku dengan mata penasaran yang tak pernah bosan. “Gila, bisa-bisanya jaga toko buku kayak gini... Tapi nggak papa, aku bawa makanan buat kamu.” Ia mengangkat sebungkus kertas berisi pastel dan pisang cokelat goreng, aroma hangatnya masih tercium.

Cakra tertawa pelan, suaranya seperti ingin mencairkan udara yang mulai terasa berat. “Aku nggak berharap kamu bawa makanan. Tapi boleh lah.”

Laras meletakkan bungkusan itu di meja kasir, lalu tanpa diminta, ia duduk di kursi tua yang menghadap rak buku bagian sejarah. Jemarinya menyentuh punggung buku-buku seolah tengah membaca dengan ujung jari.

“Toko ini... kayak tempat persembunyian, ya. Tenang, tapi ada sesuatu yang bikin kepikiran.” katanya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.

Cakra hanya mengangguk, menyibukkan diri dengan membuka bungkusan makanan dan mulai membaginya ke dua piring kecil yang disimpan di bawah meja.

Mereka mulai makan dalam diam, hanya diiringi lagu instrumental yang masih mengalun dari radio tua. Sesekali Laras bercerita tentang sekolah, tentang tugas dari guru matematika yang menyebalkan, dan tentang rencana liburan bersama keluarganya ke rumah nenek.

Namun bagi Cakra, hari itu terasa berbeda. Kata-kata Laras seperti berjarak, padahal gadis itu duduk hanya satu meter darinya. Sejak brosur itu datang, pikirannya tak lagi utuh. Ada sesuatu yang mulai bergerak di dalam dirinya, sesuatu yang belum sempat ia sampaikan. Tentang ayahnya. Tentang rasa ingin menjadi lebih dari sekadar anak SMA yang jaga toko.

Dan Laras, dengan segala kepolosan dan tawa ringannya, seolah hadir di antara keputusan besar yang hendak Cakra ambil—tanpa tahu bahwa senyum gadis itu mungkin akan jadi hal yang paling berat untuk ia tinggalkan.

Udara di dalam toko buku malam itu terasa sedikit lebih berat. Lampu kuning pucat menggantung redup dari langit-langit, menciptakan bayangan lembut di antara rak-rak kayu yang usang. Di meja kasir, beberapa buku masih berserakan—buku sejarah, catatan stok, hingga novel-novel romansa yang belum sempat dirapikan.

Cakra duduk bersandar di kursi rotan, sementara Laras menyandarkan tubuhnya ke rak belakang, memandangi wajahnya yang tampak berbeda malam ini. Ada sesuatu dalam tatapan Cakra yang membuat Laras gelisah—seperti ada dunia lain yang kini sedang ia jelajahi, tanpa mengajaknya ikut.

“Kamu lagi mikirin apa, Cakra?” tanya Laras pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh gemerisik angin dari celah jendela. “Dari tadi kelihatan serius banget.”

Cakra terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. Tangan kanannya bergerak ke arah laci meja, menarik keluar sebuah kertas lusuh yang dilipat rapi. Ia menatapnya sejenak sebelum menyerahkannya kepada Laras.

“Aku… aku baru dapet sesuatu,” ucapnya pelan.

Laras menerima brosur itu. Sekilas matanya membesar, lalu menatap kembali ke arah Cakra dengan ragu.

“Hah, ini apa? Akademi militer?”

Cakra mengangguk. Tak ada senyum, hanya sorot mata yang serius, hampir sendu.

“Iya… Aku rasa aku ingin masuk, Laras. Aku… ingin seperti ayah.”

Suasana tiba-tiba menjadi sunyi. Laras tak langsung menjawab. Ia masih menatap brosur itu, lalu menatap wajah Cakra yang kini seperti milik seseorang yang sudah memilih jalan panjang dan berbatu.

“Kamu yakin, Cakra?” tanyanya akhirnya, suaranya pelan tapi menusuk. “Jadi prajurit… itu bukan hal yang mudah. Kamu pernah mikirin risikonya? Bisa jauh dari rumah, dari ibu kamu… dari semuanya. Bahkan dari aku.”

Cakra menggigit bibir bawahnya, lalu menatap lurus ke depan. Ia tak ingin menjadikan keputusan ini impulsif. Tapi hatinya… sudah sejak lama menggema dengan satu suara—suara ayahnya, meski ia tak pernah mendengarnya langsung.

“Aku tahu. Tapi… aku merasa itu yang harus kulakukan. Ini bukan cuma tentang ayah, Laras. Tapi tentang aku sendiri. Tentang siapa aku… tentang siapa aku akan menjadi.”

Laras mengalihkan pandangannya. Hatinya mencubit pelan. Di satu sisi, ia bangga. Tapi di sisi lain, ia takut. Takut kehilangan Cakra yang selama ini selalu ada, meski dalam diam.

“Jadi… kamu benar-benar mau mengikuti jalan itu?” bisiknya, seolah berharap jawabannya akan berubah.

Cakra mengangguk. Tidak cepat, tapi perlahan—penuh keyakinan meski ada sedikit gemetar di dadanya.

“Aku nggak tahu apakah aku akan diterima. Tapi aku mau mencoba. Mungkin… mungkin ini cara terbaik untuk ngerti kenapa ayah memilih jalan hidupnya. Dan mungkin, aku bisa melanjutkan langkah yang tertinggal.”

Laras menghela napas, lalu menyandarkan kepala ke rak di belakangnya. Matanya menatap langit-langit toko yang mulai menguning dimakan usia.

“Aku takut, Cakra. Takut kamu hilang kayak ayah kamu. Takut kamu nggak pulang.”

Cakra berdiri perlahan dan berjalan ke arah Laras. Ia duduk di hadapannya, menatapnya dalam.

“Aku juga takut, Laras. Tapi aku lebih takut… kalau aku nggak pernah mencoba.”

Mereka terdiam lama. Di luar, hujan mulai turun perlahan, mengetuk-ngetuk genting dengan irama yang sunyi.

Di dalam toko itu, dua hati sedang belajar menerima kenyataan bahwa hidup tak selalu memberi pilihan yang mudah. Dan cinta… terkadang harus menunggu di persimpangan takdir yang belum pasti.

Malam kian larut. Suara-suara kecil di luar—deru motor jauh, desiran angin malam—semuanya terasa teredam di dalam toko buku yang nyaris gelap. Hanya satu lampu gantung di atas meja kasir yang masih menyala, melemparkan bayangan panjang ke lantai kayu yang dingin.

Cakra berdiri di dekat pintu, memandang Laras yang sedang merapikan jaketnya. Ada keheningan aneh di antara mereka, seperti ada kata-kata yang ingin diucapkan, tapi takut untuk dilepaskan.

Laras menatap Cakra dengan senyum tipis, meski matanya tampak berkaca-kaca.

"Aku ngerti kok, Cakra," katanya, suaranya lirih, hampir tersapu oleh hembusan angin yang masuk dari pintu yang terbuka sedikit. "Tapi jangan sampai kamu lupa sama orang di sekitarmu."

Ia berhenti sejenak, lalu menundukkan kepala. Dengan suara nyaris berbisik, yang bahkan hampir tak tertangkap telinga Cakra

"Aku akan menunggu kamu."

Cakra terdiam. Ada ribuan kata yang ingin ia sampaikan, tapi semua hanya mengendap di dadanya. Ia hanya mampu mengangguk perlahan, menahan perasaan yang bergulung di dalam hatinya. Ia tahu, keputusan ini bukan hanya akan mengubah dirinya, tapi juga akan mengubah hubungan mereka.

Laras tersenyum sekali lagi—senyum yang menyakitkan namun tulus—sebelum akhirnya melangkah keluar, meninggalkan jejak harum sabun mandinya yang samar di udara. Cakra memandang punggung Laras sampai sosok itu hilang ditelan malam.

Saat pintu tertutup sepenuhnya, toko itu terasa jauh lebih sunyi daripada sebelumnya.

Cakra berjalan perlahan menuju jendela toko. Ia menempelkan dahinya di kaca dingin, memandangi jalanan sepi di luar yang diterangi lampu jalan temaram. Semua terasa hening, kecuali detak jantungnya sendiri yang bergema keras di telinganya.

"Aku harus melakukan ini. Aku harus jadi seperti ayah."

Tapi di balik keyakinannya, ada sesuatu yang menusuk—ketakutan yang ia pendam dalam-dalam. Takut kalau langkah ini akan menjauhkannya dari orang-orang yang ia sayang. Takut kalau dirinya akan gagal. Takut kalau ini bukan jalan yang benar.

Cakra menutup matanya sejenak, membiarkan semua rasa itu memenuhi dirinya, sebelum menarik napas panjang, seolah mencoba menelan semua keraguan dalam sekali hembusan.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia mengambil brosur Akademi Militer yang sejak tadi ia genggam. Ia memandanginya sekali lagi—lambang kebanggaan, impian, dan mungkin, luka yang belum sepenuhnya sembuh.

Tanpa banyak berpikir lagi, ia melangkah ke sudut toko, ke papan pengumuman kecil yang biasanya hanya berisi catatan tentang buku baru dan diskon.

Pelan-pelan, Cakra menempelkan brosur itu di sana.

Ia menatapnya dalam-dalam, seakan mengukuhkan janji dalam dirinya sendiri.

"Ini bukan hanya tentang ayah. Ini tentang aku. Akan aku buktikan siapa diriku."

Dan di malam itu, di bawah cahaya redup toko buku kecil itu, Cakra membuat keputusan pertama yang benar-benar berasal dari dirinya sendiri.

Bukan dari ibunya. Bukan dari kenangan ayahnya.

Melainkan dari hati kecilnya yang kini telah berani berbicara.

1
Siyantin Soebianto
ceritanya jadi penisirin gini ya😇
Nanang
SEMANGAT Thor berkarya nya ya 😇
kaka_21: siap kakak,terimakasih udah mampir
total 1 replies
piyo lika pelicia
semangat ☺️
perhatikan lagi huruf kapital di awal paragraf
kaka_21: baik kak, terimakasih
total 1 replies
piyo lika pelicia
Assalamualaikum, paman pulang! waduh ... makan apa nih?"
piyo lika pelicia
Tiba-tiba pintu terbuka
piyo lika pelicia
Rama
piyo lika pelicia
"Ee.. kamu mau kemana" pake nanya. Virza tertawa kecil. "Aku mau
piyo lika pelicia
"Terimakasih, sepertinya tidak pernah."
piyo lika pelicia
ibu dan juga bapaknya kemana
piyo lika pelicia
"Ma, dengarkan aku
piyo lika pelicia
tidak boleh berkata kasar pada anak mu sendiri 😒
kaka_21: sabar kak, sabar
total 1 replies
piyo lika pelicia
"Ma, dengarkan aku
piyo lika pelicia
iklan untuk kakak ☺️
piyo lika pelicia
dasar ibu yang buruk
piyo lika pelicia
adik yang baik ☺️
piyo lika pelicia
"Eh, Riz. Ada apa?"
Inumaki Toge
Ayatnya enak dibaca,lanjut semangat ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!