Warisan darah. Kutukan leluhur. Perburuan yang tak pernah usai.
Di tengah kabut kelam tanah Pasundan, garis batas antara dunia manusia dan dunia gaib mulai menipis. Makhluk-makhluk yang seharusnya tersegel mulai bermunculan kembali, membawa kutukan, kematian, dan kegilaan. Hanya satu nama yang masih ditakuti oleh mereka yang hidup dalam kegelapan: Rengganis Larang.
Sasmita Wibisana, keturunan terakhir dari pemburu siluman, kini memikul beban warisan berdarah keluarganya. Dengan keris pusaka yang haus jiwa dan senjata api yang diberkahi mantra, ia menyusuri lorong-lorong gelap Nusantara untuk memburu entitas yang tak bisa dilawan manusia biasa. Tapi setiap makhluk yang ia bunuh, semakin dekat pula ia pada satu kebenaran yang telah dikubur berabad-abad: sebuah pengkhianatan di dalam garis darahnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pewaris Yang Mundur
Asap rokok mengepul pelan di antara keheningan pagi yang dingin. Embun belum sepenuhnya menguap dari daun-daun ilalang di pinggiran hutan tempat mereka bermalam semalam. Bau tanah basah dan darah yang mengering masih menyatu, seperti jejak mimpi buruk yang belum mau hilang.
Jaka terbangun lebih dulu. Matanya membuka perlahan, kepala masih berat, tapi ia langsung duduk kaget saat melihat Ratih di sebelahnya masih bernapas. Dada istrinya naik turun, wajah pucatnya tampak kelelahan, namun hidup.
“Ratih...” bisiknya pelan, penuh rasa syukur. Ia menggenggam tangan wanita itu seolah tak akan melepasnya lagi.
Yuyun duduk tak jauh dari mereka, punggungnya menyender ke pohon. Matanya sembab, jelas semalaman ia tak tidur. Pikiran tentang kedua orangtuanya terus menggerogoti hatinya. Ia ingin pulang, ingin melihat mereka, tapi juga takut... takut menemukan kenyataan yang tak bisa diperbaiki.
Lalu, ada sosok yang berdiri memunggungi mereka. Siluetnya kontras di bawah cahaya pagi. Trench coat merah maroon itu seperti luka terbuka di tengah alam yang hening. Rengganis Larang. Ia sedang merokok. Napasnya panjang. Wajahnya kusut. Bekas luka baru di pipinya belum sempat dibersihkan.
“Sudah sadar?” tanya Rengganis tanpa menoleh.
Jaka menatapnya, bingung. “Kamu... Rengganis, ya?”
“Dapet kabar telat banget sih kamu,” celetuknya dingin, masih belum mau memutar badan.
“Terima kasih... udah nyelametin kami.” Suara Jaka agak berat.
Rengganis akhirnya menoleh, menatap Jaka dengan mata yang seperti tak pernah tidur. Ia menghela asap rokok terakhir sebelum menjentikkan puntungnya ke tanah.
“Kamu harus ikut aku ke rawa itu,” katanya langsung.
Jaka mengerutkan kening. “Apa?”
“Kamu keturunan Natawirya. Dukun yang dulu nyegel siluman Babiang Kurap. Kalau dia udah bangkit sepenuhnya dan kita gak nyegelnya lagi... bukan cuma desa ini, satu kabupaten bisa kena kutuk.”
Jaka langsung geleng kepala. “Nggak. Gak ada urusan aku sama hal kayak gitu lagi. Semalam aja... semalam aja hampir ngebunuh aku sama istri gue!”
“Dan justru karena itu kamu harus ikut!” Rengganis mendekat, suaranya mulai meninggi. “Kamu pikir mereka bakal berhenti sampai kamu kabur? Gak, Jaka. Dia bakal nyari kamu ke ujung dunia kalau perlu.”
“GUE GAK PEDULI!!” bentaknya. “Rumah gue? Ambil aja! Harta? Gak penting! Yang penting istri gue selamat! GUE UDAH CAPEK HIDUP DENGAN BAYANGAN SILUMAN!”
Rengganis menatapnya lama. Ada sekilas amarah, tapi juga sesuatu yang lebih dalam—kecewa? Atau justru iba?
“Kamu kira gue gak capek?” ucapnya pelan, tapi tajam. “Kamu kira gue gak pengen hidup normal, bangun pagi cuma buat ngopi, bukan buat ngelawan monster yang bisa nyerebut kepala orang dalam sekali sentuh?”
Yuyun berdiri pelan, menatap keduanya. “Kita semua capek, Kak... Tapi kita gak punya pilihan. Kalau semua mundur, siapa yang nyelametin orang-orang yang belum sempat kabur?”
Ratih memegang lengan Jaka, pelan. Matanya berlinang. “Mas... kalau mereka gak dateng semalam... kita udah jadi bangkai sekarang.”
“Tapi aku takut, Ratih... Aku gak bisa...”
“Kamu bisa,” bisiknya.
Jaka mengalihkan pandangannya, rahangnya mengeras. Hatinya perang antara rasa tanggung jawab dan trauma yang belum sembuh. Ia memang cucu dari dukun sakti. Tapi hidupnya ia bangun jauh dari dunia itu. Ia hanya ingin jadi orang biasa. Tapi... dunia tidak peduli pada keinginan orang biasa.
Rengganis menatap langit, lalu mengeluarkan selembar kertas kuno dari tas selempangnya. Sebuah peta. Ia bentangkan di atas batu datar.
“Rawa itu sekarang udah berubah jadi tambang ilegal. Tapi di bawahnya... masih ada situs pemujaan lama. Di sanalah segel aslinya dulu ditempatkan. Aku butuh kamu untuk bukain jalan ke sana. Darahmu... itu kunci.”
“Kalau aku nolak?” Jaka bertanya datar.
“Gue tetap ke sana. Tapi kalau gue mati... dan segel itu gak diperbarui... lu bisa jadi target berikutnya.”
Suasana hening. Burung hutan berkicau entah di mana, tapi tak ada yang mendengar. Dunia seolah menahan napas, menunggu keputusan satu orang.
Yuyun duduk lagi, memeluk lututnya. Matanya kosong. “Orangtuaku... dua-duanya sekarang sakit. Kulitnya... hancur. Mereka gak ingat aku lagi. Aku cuma mau semua ini berakhir...”
Rengganis melirik gadis itu. Rasa bersalah menggerogoti pikirannya. Ia tahu seharusnya ia bergerak lebih cepat. Tapi siapa sangka Babiang Kurap bisa bangkit secepat itu? Ia menggertakkan gigi. Rencana harus diubah.
“Aku cuma bisa janji satu hal,” katanya akhirnya. “Kalau kamu ikut, Jaka... aku akan jaga kamu dan istrimu sampai akhir. Tapi kalau kamu kabur... kamu sendiri yang buka jalan buat siluman itu meluas.”
Jaka berdiri pelan. Ia menatap Ratih, lalu Yuyun, lalu mata Rengganis yang tajam seperti belati. Ia mendekat, berdiri hanya satu meter dari sang pemburu siluman.
“Kamu janji lindungin Ratih?”
“Demi Allah.”
“Kalau begitu... kasih aku waktu sehari. Satu hari buat mikir.”
“Kita gak punya waktu satu hari.”
“Terserah. Tapi aku bukan pion. Aku manusia, bukan kunci. Dan aku butuh waktu.”
Rengganis tak menjawab. Ia hanya menatap lama. Lalu ia meraih rokok satu lagi dan menyalakannya, kali ini dengan api dari keris Larang.
Yuyun berdiri, menatap Jaka dengan tatapan penuh harap. “Kalau Mas Jaka mundur... aku tetep ikut Kak Rengganis. Sekalipun mati.”
Jaka menunduk, menggenggam tangan Ratih yang hangat. Dunia runtuh di kepalanya, tapi ia tahu... ia tak bisa lari selamanya.
Bab ini berakhir dengan suara langkah kaki Rengganis yang menjauh. Ia berjalan sendirian menuju tebing kecil, menatap hamparan rawa yang jauh di sana—sekarang sudah dipenuhi alat berat dan tenda para pekerja tambang. Kabut tipis menggulung di atasnya. Tapi yang membuat Rengganis bergidik... adalah bau.
Bau darah busuk.
Bau kurap yang menjijikkan... yang kini menyebar lewat angin.
Ia menghembuskan napas berat.
“Rawa ini udah keburu busuk,” gumamnya.
Dan di kejauhan... sepasang mata menyala merah di balik rerimbunan pohon. Mengawasi mereka.
Mata itu berkedip. Mulut penuh taring menyeringai.
Siluman lain sudah menunggu.
Bersambung.....