NovelToon NovelToon
TERPERANGKAP

TERPERANGKAP

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / One Night Stand / Selingkuh / Cinta pada Pandangan Pertama / Romansa / Barat
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: wiedha saldi sutrisno

Samantha tidak mampu mengingat apa yang terjadi, dia hanya ingat malam itu dia minum segelas anggur, dan dia mulai mengantuk...kantuk yang tidak biasa. Dan saat terbangun dia berada dalam satu ranjang dengan pria yang bahkan tidak ia kenal.

Malam yang kelam itu akhirnya menjadi sebuah petaka untuk Samantha, lelaki asing yang ingin memiliki seutuhnya atas diri Samantha, dan Samantha yang tidak ingin menyerah dengan pernikahannya.

Mampukah Samantha dan Leonard menjadi pasangan abadi? Ataukah hati wanita itu bergeser menyukai pria dari kesalahan kelamnya?

PERINGATAN KONTEN(CONTENT WARNING)
Kisah ini memuat luka, cinta yang kelam, dan batas antar cinta dan kepasrahan. Tidak disarankan untuk pembaca dibawah usia 18 tahun kebawah atau yang rentan terhadap konten tersebut.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 4 : Lidah Yang Membelah Pisau

Sejak pagi, udara di lantai redaksi terasa lebih tebal dari biasanya, bukan karena cuaca, tapi karena bisikan. Bisikan yang menyebar dari sudut ke sudut, seperti asap rokok yang merayap diam-diam, menyusup ke pori-pori siapa pun yang melintas.

Desas-desus bahwa Samantha Hill akan diangkat sebagai kepala editor baru kini menjadi bahan pembicaraan hangat di setiap sudut ruangan. Bisik-bisik kecil muncul dari balik layar komputer, dari mulut-mulut yang pura-pura tersenyum saat Samantha lewat, tapi menajamkan lidah mereka begitu punggungnya berbalik.

“Padahal baru saja bikin blunder besar bulan lalu, sekarang malah mau diangkat jadi kepala editor?” gumam seorang staf desain kepada rekannya.

“Dia pasti punya kedekatan khusus sama Nathaniel Graves, kan? CEO baru itu,” balas yang lain, nada suaranya sarat tuduhan. “Kebetulan banget dia naik jabatan setelah pria itu muncul.”

Tak ada yang berani bicara langsung. Tapi Samantha bisa merasakannya. Udara di kantor berubah. Tatapan yang dulu hangat kini terasa menilai, memeriksa. Bahkan beberapa rekan yang dulu ramah kini tampak canggung saat berpapasan dengannya di lorong.

Yang tidak mereka tahu, dan mungkin tak akan pernah mereka duga, Samantha justru belum menerima tawaran itu. Nathaniel memang menyampaikan penunjukan tersebut dalam pertemuan tertutup dua hari lalu, dengan tatapan tajam dan senyum yang terlalu penuh makna.

"Pertimbangkan baik-baik, Samantha," ucap Nathaniel dengan nada halus namun tak terbantahkan. "Ini bukan sekadar jabatan. Ini akan mengubah segalanya."

Tapi Samantha belum memberi jawaban.

Bukan karena ia tak merasa mampu. Bukan karena ia tak ingin bertanggung jawab. Tapi karena ia tahu, menerima posisi itu berarti membiarkan Nathaniel menggenggam lebih dalam hidupnya. Menariknya lebih jauh ke dalam permainan kekuasaan dan kendali yang semakin tak bisa ditebak batasnya.

Ia duduk di ruangannya, menatap layar komputer yang tak bergerak, sementara riuh rendah dari luar dinding kaca menjadi semakin keras. Matanya memejam sejenak. Ia tidak takut dengan pekerjaan itu. Ia hanya takut pada orang yang berdiri di belakang semua ini.

Dan Nathaniel tahu itu.

...****************...

Seprai linen putih kusut membalut tubuh mereka berdua, menyisakan napas yang masih tersisa setelah gelombang gairah terakhir mereda. Kamar berbau hangat, aroma kulit, keringat, dan sedikit wangi lavender dari lilin yang masih menyala di sudut nakas.

Leonard berbaring di sisi kiri, dengan tangan menyelimuti tubuh Samantha yang terkulai di dadanya. Jemarinya menggambar pola-pola kecil di punggung telanjang wanita itu, seolah ingin menuliskan rasa sayangnya lewat kulit.

"Seandainya waktu bisa berhenti begini terus..." gumamnya pelan, mencium ubun-ubun Samantha dengan lembut.

Samantha mengangguk kecil. "Kadang aku juga berharap begitu."

Mereka diam beberapa detik. Hanya suara detak jantung dan hembusan napas yang mengisi ruang. Tapi Leonard kemudian berkata, dengan nada santai tapi penuh perhatian, "Ngomong-ngomong... Greg bilang kamu ditawari posisi kepala editor?"

Tubuh Samantha menegang sedikit. Ia mencoba tersenyum. "Ya, tapi aku belum bilang iya."

"Kenapa?" Leonard mengangkat tubuhnya sedikit, menatap wajah istrinya. "Sayang, itu impianmu. Kamu kerja mati-matian untuk posisi itu. Kamu layak dapatkannya."

Samantha memalingkan wajah ke arah jendela. Lampu-lampu kota terlihat seperti gugusan bintang dari lantai 20. Tapi semuanya terasa jauh, tak bisa disentuh.

"Karena... sekarang keadaannya rumit."

"Karena kesalahan bulan lalu?"

Ia terdiam. Lalu mengangguk pelan, tidak menjawab dengan kata-kata.

Leonard mengusap pipinya dengan lembut, lalu membingkai wajahnya dengan kedua tangan. "Dengar meskipun kamu masih sedikit terguncang setelah insiden bulan lalu. Tapi aku juga tahu satu hal, kamu bukan wanita sembrono yang ingin mencoba kabur tadi tanggung jawab. Setiap orang pernah melakukan kesalahan sayang, jadi apa kamu akan menyerah begitu saja?"

Samantha menatap mata Leonard. Matanya bening, tulus, dan penuh keyakinan. Hatinya mencelos.

"Leonard adalah orang yang baik, aku yakin kamu bisa bekerja sama dengannya. Jangan biarkan perasaan atau ketakutan menahan langkahmu. Aku tidak ingin kamu menyesal di masa depan."

Samantha tersenyum samar. Tapi dalam hatinya, senyuman itu terasa seperti belati.

Bukan karena ia mulai mempercayai Nathaniel.

Tapi karena ia tidak sanggup mengecewakan Leonard, pria baik yang mencintainya tanpa syarat, yang tak tahu bahwa mimpi buruk istrinya bernama sahabat lamanya sendiri.

"Baiklah," bisik Samantha lirih. "Aku akan menerimanya."

Leonard memeluknya erat, seolah tak menyadari beban yang kini menggantung di dada istrinya. Dan di balik pelukan itu, Samantha menutup matanya... menyiapkan diri untuk dunia yang akan berubah, perlahan tapi pasti, dikendalikan oleh pria yang tak seharusnya masuk ke hidupnya.

...****************...

Samantha baru saja resmi diangkat sebagai kepala editor, menggantikan Lydia Coleman yang pindah ke posisi strategis di perusahaan induk. Tapi bukan selamat yang pertama ia terima. Melainkan senyum palsu dan ucapan yang terlalu manis untuk tak terasa menyakitkan.

"Cepat sekali ya naiknya. Padahal belum lama bikin blunder yang bikin kita hampir kehilangan klien utama."

"Mungkin kemampuan bukan satu-satunya yang dipertimbangkan ya..."

"Atau mungkin... ada tangan yang lebih kuat menarik benang di belakang layar?"

Di balik meja-meja komputer dan cangkir kopi hangat, nama Samantha mulai jadi bahan percakapan. Tak satu pun yang berani menyebutnya langsung di hadapannya. Tapi Samantha tahu. Ia bisa merasakan tatapan yang berubah, bisik-bisik yang berhenti saat ia lewat, dan tawa yang terdengar terlalu keras untuk menjadi alami.

Greg, yang selama ini jadi rekan terdekatnya, mulai menjaga jarak. Bahkan Eva, staf riset yang biasanya selalu menyapa ramah, kini hanya mengangguk singkat tanpa senyum.

Samantha mencoba tetap tenang. Ia bekerja dua kali lebih keras, mengoreksi artikel dengan teliti, memimpin rapat dengan sigap, dan menghindari konfrontasi. Tapi tetap saja, suara-suara itu tak kunjung hilang.

Di satu sudut ruang pantry, dua staf muda membicarakannya sambil tertawa pelan:

"Katanya, bos besar yang baru itu yang rekomendasikan dia langsung. Nathaniel Graves. Katanya sih, dia terkesan banget sama Samantha."

"Terkesan?" gumam yang satu lagi, menaikkan alis. "Atau tergoda?"

Gelak kecil menyusul.

...****************...

Pagi itu, kantor terasa lebih sunyi dari biasanya. Mungkin hanya perasaannya saja, tapi langkah Samantha terasa berat saat memasuki lobi. Tumit sepatunya berdetak halus di atas marmer, suara yang biasanya menenangkan, kini terdengar seperti derap penabuh genderang perang.

Ia mengangguk sopan pada beberapa rekan yang menyapanya singkat, tapi tak ada yang benar-benar menatapnya di mata. Entah sejak kapan tatapan mereka berubah menjadi sembunyi-sembunyi dan bisikan-bisikan pelan menyusul langkahnya. Sejak gosip tentang dirinya dan promosi mendadak itu merebak? Atau sejak Nathaniel Graves semakin sering terlihat menyusuri lorong-lorong kantor mereka dengan jas Armani dan aura intimidasi yang tak bisa ditampik?

Samantha baru akan meraih gagang pintu ruangannya ketika ia membeku.

Matanya tertumbuk pada papan nama kecil di samping pintu kayu itu.

SAMANTHA W. GRAVES

Editor-in-Chief

Darahnya seperti berhenti mengalir. Jantungnya jatuh, seolah dari ketinggian seribu meter. Tangannya yang terulur gemetar perlahan, seakan hanya dengan menyentuh papan itu, ia akan mengukuhkan sesuatu yang tidak pernah ia setujui.

"Bukan itu namaku," bisiknya.

Bibirnya kering. Ia melirik ke sekeliling, berharap ini hanya lelucon kejam atau kesalahan administrasi. Tapi tatapan dua staf junior yang berdiri di dekat pantry, yang buru-buru berpaling begitu matanya bertemu dengan mereka, mengatakan hal sebaliknya.

Samantha membuka pintu cepat-cepat dan masuk. Di dalam, ruang kerjanya tampak seperti biasa, namun baginya semuanya terasa asing, bahkan udara pun seperti mencium aroma asing dari luar. Ia menutup pintu dengan suara pelan, lalu bersandar, menarik napas dalam-dalam.

Nathaniel.

Hanya dia yang cukup licik, cukup kuat, dan cukup berani untuk melakukan ini. Ia tidak hanya menyentuh tubuh Samantha malam itu, sekarang ia sedang menyentuh identitasnya.

Ponselnya bergetar di meja. Sebuah pesan masuk, tanpa nama pengirim:

"Namamu terdengar indah di samping namaku, bukan?"

Ia ingin melempar ponsel itu ke dinding, ingin berteriak. Tapi ia hanya duduk diam, membeku, seperti boneka porselen yang nyaris retak. Karena ia tahu, teriakannya tidak akan mengubah apapun. Nathaniel telah mulai mengukir bayangannya di dalam dinding kehidupan Samantha, tanpa menyentuhnya secara langsung.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!