Lia, gadis desa Tanjung Sari, menemukan seorang pria pingsan di pematang sawah tanpa ingatan dan tanpa identitas. Ia menamainya Wijaya, dan memberi lelaki itu tempat pulang ketika dunia seolah menolaknya.
Tekanan desa memaksa mereka menikah. Dari pernikahan sederhana itu, tumbuh rasa yang tak pernah direncanakan—hingga Lia mengandung anak mereka.
Namun Wijaya bukan lelaki biasa.
Di kota, keluarga Kusuma masih mencari Krisna, pewaris perusahaan besar yang menghilang dalam kecelakaan misterius. Tanpa mereka sadari, pria yang dianggap telah mati kini hidup sebagai suami Lia—dan ayah dari anak yang belum lahir.
Saat ingatan perlahan mengancam kembali, Lia harus memilih: mempertahankan kebahagiaan yang ia bangun, atau merelakan suaminya kembali pada masa lalu yang bisa merenggut segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indah yuni rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mereka Datang
Puskesmas kecamatan sudah mulai sepi. Lampu-lampu neon yang dingin memantulkan cahaya pucat di lantai keramik kusam. Sesekali, suara jangkrik dari luar jendela berbaur dengan bunyi sepatu petugas yang tergesa.
Lia masih duduk di bangku panjang dekat ruang perawatan. Telepon barusan seolah belum benar-benar selesai, meski sambungan sudah terputus beberapa menit lalu. Tangannya masih menggenggam ponsel erat-erat, jari-jarinya kaku dan dingin.
Di ujung lorong, pintu kaca geser berderit.
Seorang perempuan anggun berusia awal lima puluhan masuk, langkahnya cepat namun terukur. Wajahnya tegas tapi retak oleh cemas yang tak berusaha ia sembunyikan. Menyusul di belakangnya, seorang pria berjas, rahang mengeras, namun sorot mata jelas memendam panik: Ana Kusuma dan Ardian Kusuma.
Mata Ana langsung menyapu ruangan, mencari-cari.
“Nak… ruang IGD-nya sebelah mana?” suaranya bergetar saat bertanya pada perawat jaga.
“Pasien pria yang tadi dirujuk dari desa?” tanya perawat itu pelan.
Ana mengangguk cepat.
“Ya. Atas nama… Wijaya.”
Nama itu meluncur mantap, penuh keyakinan dan rindu.
Perawat menunjuk pintu ber tirai hijau di ujung lorong. “Beliau masih tidak sadar, Bu. Sedang distabilkan sambil menunggu rujukan ke rumah sakit besar.”
Ana menutup mulutnya sesaat, menahan isak.
Ardian menyentuh bahu istrinya. “Kita kuat dulu, ya.”
Saat mereka hendak melangkah, tatapan Ana tak sengaja bertaut dengan seseorang yang sejak tadi duduk kaku: Lia.
Gadis desa itu berdiri terburu-buru. Wajahnya pucat, mata sembab, kerudungnya sedikit miring seolah dipakai tergesa. Ada jeda aneh di udara. Seperti dua dunia berbeda tiba-tiba dipaksa bertemu di lorong sempit.
Ana melangkah mendekat.
“Kamu… yang menelepon saya tadi?” suaranya lirih, berhati-hati, seolah takut jawaban itu bisa memecahkan dirinya.
Lia menelan ludah. “Iya, Bu. Saya Lia.”
"Aku Ana dan ini Ardian, kami orang tua dari Krisna Kusuma.
Suasana mendadak hening. Hanya jam dinding yang berdetak.
“Bagaimana… bagaimana kondisi anak saya?” lanjut Ana, kini benar-benar gemetar di kata anak.
“Dia… masih tak sadar,” jawab Lia pelan. “Dokter bilang harus operasi secepatnya.”
Ana menutup mata sejenak. Air mata akhirnya lolos turun juga, bukan tangisan keras—justru yang paling menyakitkan: tangis yang ditahan terlalu lama.
Ardian menatap Lia lekat-lekat.
“Kamu yang menemukan Krisna?” suaranya berat, berwibawa, namun tak mengandung marah—lebih pada ingin mengerti.
Lia menggeleng pelan. “Sudah lama… dia tinggal di desa. Semua orang memanggilnya Wijaya. Dia… tidak ingat siapa dirinya.”
Ana terisak spontan mendengar itu. “Memori… Tuhan…”
Ia hampir terjatuh jika Ardian tidak sigap menopangnya.
Lia refleks maju, ikut menahan lengan Ana.
Sejenak tangan mereka bersentuhan.
Tangan halus yang terbiasa hidup di kota besar.
Tangan kasar yang akrab dengan cangkul dan air sumur.
Dua dunia bersentuhan pada satu nama: Krisna.
Ana menatap Lia lebih dekat sekarang. Ada sesuatu di mata gadis itu—bukan belas kasihan, bukan pamrih… melainkan cinta yang diam-diam mengorbankan dirinya sendiri.
“Kamu… siapa untuk Krisna?” tanya Ana perlahan.
Pertanyaan itu seperti anak panah yang tepat mengenai dada Lia. Tenggorokannya tercekat. Ada begitu banyak jawaban, namun semuanya terasa salah dan benar sekaligus.
“Ia tinggal di rumah kami. Kami hidup bersama,” jawab Lia, jujur tanpa menuntut apa pun.
Ana menunduk. Ia mengerti tanpa harus dijelaskan terlalu rinci.
“Krisna tidak pernah sendiri, ternyata,” bisiknya, lebih pada dirinya sendiri.
Ardian menghela napas panjang, campuran lega, terkejut, sekaligus bingung menghadapi kepingan hidup anaknya yang terpisah.
“Terima kasih,” katanya tegas namun tulus pada Lia. “Kalau bukan kamu yang merawatnya selama ini… mungkin kami tidak berdiri di sini malam ini.”
Lia tersenyum tipis, namun matanya berkaca-kaca. “Saya hanya… melakukan apa yang seharusnya.”
Ana menyentuh pipinya, lembut seperti seorang ibu yang menenangkan anaknya sendiri.
“Terima kasih sudah menyelamatkan anak saya,” ucapnya parau. “Apa pun yang terjadi setelah ini… kamu orang penting dalam hidupnya.”
Kalimat itu merambat ke dada Lia seperti hangat yang pedih.
Dari kejauhan, pintu ruang perawatan terbuka sedikit. Perawat memanggil:
“Pihak keluarga pasien Wijaya?”
Mereka bertiga menoleh bersamaan.
Ana menggenggam erat tangan Ardian. Lia menggenggam dadanya sendiri.
Saat mereka melangkah menuju pintu itu, Lia tahu, malam itu adalah awal dari dua hal sekaligus, pertemuan…dan perpisahan.
Perawat itu berdiri di ambang pintu ruang perawatan, menatap mereka dengan wajah serius.
“Pasien harus segera dirujuk malam ini juga,” ujarnya. “Kondisinya stabil, tapi tidak aman untuk ditunda terlalu lama.”
Ana langsung mengangguk. “Kami siap. Semua biaya kami tanggung.”
Kalimat itu seharusnya melegakan — tapi justru menusuk Lia paling dalam.
Karena di detik yang sama, hatinya benar-benar mengerti: mulai saat ini, ia bukan lagi orang yang bisa berdiri paling dekat dengan lelaki itu.
Petugas menyiapkan berkas rujukan. Ardian menelepon sopir, mengatur ambulans rumah sakit besar yang sudah menunggu di kota. Semua berlangsung cepat, rapi, dan asing bagi dunia Lia.
Di ujung lorong, seseorang memperhatikan sejak tadi.
Natan.
Ia berdiri setengah bersembunyi di balik tiang, napasnya tertahan. Jantungnya berdetak tak keruan ketika melihat wajah pria di ranjang dorong yang keluar melewati lorong.
Tidak mungkin salah.
Itu Krisna Kusuma.
Bos yang selama tiga bulan ini ia cari bersama tim. Bos yang hilang tanpa jejak. Bos yang selama ini hanya ia lihat di foto siaran internal perusahaan.
Namun ada sesuatu yang membuatnya terpaku: seorang gadis desa berjalan di sisi ranjang itu.
Lia.
Gadis yang dulu dilihatnya menjemur pakaian sambil tersenyum ke pria itu di pematang sawah. Gadis yang dipanggil warga sebagai istrinya. Gadis yang menatap pria itu… bukan seperti warga menatap orang kota, tapi seperti rumah memandang penghuninya.
Natan baru mengerti satu hal:
Bosnya sudah membangun kehidupan lain di sini.
Dan kini kehidupan itu akan direbut kembali oleh masa lalu.
Ana tiba-tiba menoleh karena merasakan tatapan asing. Pandangan mereka bertemu.
Ana tersentak kecil. Ia mengenali wajah itu.
“Natan…?”
Natan segera maju, membungkuk sopan.
“Iya, Bu… saya…” suaranya tercekat. “Saya memastikan kabar dari puskesmas itu benar. Jadi… ini benar-benar… Pak Krisna?”
Ana hanya mengangguk — air matanya pecah lagi.
Ardian menepuk bahu Natan singkat, tanda terima kasih pada kesetiaan yang tak henti mencari. Namun sebelum Natan bertanya lebih jauh, matanya kembali tersempat ke arah Lia.
Ana mengikuti arah tatapan itu. Ana kemudian… paham.
Ia melirik Lia dengan lembut.
“Dia yang merawat Krisna,” kata Ana pelan pada Natan, seakan melindungi Lia. “Tanpa dia… mungkin anak ibu sudah tidak ada.”
Natan menunduk hormat pada Lia, tak bisa berkata-kata.
Ia ingin mengatakan: Jadi… kamu istrinya? Namun ia menahan diri.
Bukan haknya untuk mengusik takdir malam itu.
Ambulans belum datang. Ardian memutuskan satu hal cepat.
“Kita bawa dulu dengan mobil. Rumah sakit besar tak sampai satu jam. Perjalanan darurat.”
Perawat setuju. Krisna / Wijaya diangkat perlahan ke brankar roda, dipindahkan menuju mobil hitam besar milik keluarga Kusuma.
Ana berdiri di samping pintu mobil, menatap putranya yang terbaring lemah di dalam. Lampu halaman puskesmas jatuh pucat di wajah Krisna, nama yang kembali utuh, tapi terasa semakin jauh bagi Lia.
Brankar telah kosong. Para perawat sudah masuk. Sopir menunggu instruksi.
Lia berdiri beberapa langkah dari mereka, tak berani mendekat. Tangannya menggenggam ujung baju, menahan angin malam yang menggigilkan tulang, meski sebenarnya yang dingin adalah hatinya sendiri.
Ana menoleh. Tatapan mereka bertemu. Hanya sekejap. Namun dalam sekejap itu, waktu seperti berhenti, semua tangis, seluruh ketakutan, rasa kehilangan yang belum sempat diucapkan, menggantung di udara.
Lia menunduk cepat, takut pada apa pun yang mungkin tersimpan di mata perempuan itu, restu, penolakan, atau mungkin hanya iba yang lebih menyakitkan dari caci maki.
Pintu mobil perlahan tertutup.
Suara klik kunci seakan menjadi garis akhir yang memisahkan dua dunia.
Lia tetap berdiri di tempatnya. Angin malam menyapu pelan rambut panjangnya. Di dadanya, sesuatu robek, tidak keras, tapi dalam.
Ana masih menatapnya dari balik kaca mobil.
Mobil itu belum bergerak. Namun Lia tahu, saat mesin menyala… segalanya akan berubah. Dan tepat sebelum mobil melaju, Ana menurunkan kaca jendela sedikit.
Nama Lia hampir terucap. Namun tidak jadi. Hanya keheningan.