Bagi Hasan, mencintai harus memiliki. Walaupun harus menentang orang tua dan kehilangan hak waris sebagai pemimpin santri, akan dia lakukan demi mendapatkan cinta Luna.
Spin of sweet revenge
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahma AR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MJW 33
"Kamu tidak bisa melakukannya Hasan," sergah Nyai Hafizah setelah kekagetannya hilang dengan penjelasan Hasan.
Sekarang memang cara pandangnya berubah terhadap Luna. Tapi dia tidak bisa terima dengan pengunduran diri cucunya sebagai calon pimpinan pondok.
"Faris masih terlalu muda," ucapnya lagi.
"Umi....., bisa kita bicarakan lagi nanti," mohon Ali Wahab.
"Luna, abi minta maaf, ya," ucap Ali Wahab sambil menatap calon Hasan, dengan tatapan merasa bersalah.
Luna adalah tamu mereka, tidak selayaknya dicecar dengan pertanyaan pertanyaan seperti itu.
"Aku mengerti, abi," jawab Luna tetap sopan. Hasan juga merasa bersalah karena merasa waktunya tidak tepat sudah membawa Luna datang. Harusnya ini jadi pertemuan yang menyenangkan antara dia, Luna, abi dan uminya.
"Ya, umi. Luna adalah tamu kita, tamu khususnya Hasan. Luna, kakek dan nenek minta maaf," ucap kyai Mukhtar pelan
Kakek dan nenek? Ada aliran hangat mengalir di dalam.hati Luna
Nyai Hafizah menghembuskan nafas dengan perasaan tidak nyaman.
"Aku mau istirahat," ucaonya sambil bangkit berdiri.
Suaminya menggelengkan kepalanya.
"Supmu belum habis, umi."
"Kepalaku mulai pusing."
"Mungkin Luna bisa memeriksa nenek," sela Hasan.
"Tidak usah. Nenek hanya mau istirahat. Jangan sungkan, Luna," ucapanya sebelum melangkah pergi.
"Aku menemani umi," pamit kyai Mukhtar. Tapi sebelum pergi, dia tersenyum tipis pada Luna.
"Maaf, ya, Luna. Kakek dan nenek Hasan mendadak datangnya. Umi dan abi juga Hasan, belum sempat ngobrol soal kamu dengan beliau," ucap uminya Hasan lembut, ada sesal di dalam ucapannya.
"Ya, umi, saya mengerti."
Siti Azizah tersenyum hangat.
"Ayamnya enak?" tanya Siti Azizah saat melihat ayam balado Luna yang sudah tinggal separoh bagian dagingnya.
"Enak banget, umi."
"Pedasnya pas?" tanya Siti Azizah lagi.
"Pas," sahut Luma dengam bibir mengembangkan senyum manisnya.
"Syukurlah. Umi sudah lama tidak masak sepedas ini." Siti Azizah tersenyum agak lebar.
Hasan tertawa pelan. Dia saja sudah minum segelas penuh air dingin untuk meredakan pedas di bibir, padahal hanya menyicip.sedikit saja.
"Kamu ngga bisa makan pedas sama sekali?: ejek Luna keceplosan.
"Masih bisa kalo sedikit aja," jawab Hasan masih di tengah derai tawanya
Ali Wahab memperhatikan putranya. Rasanya putranya jadi lebih manusiawi kalo bersama Luna.
"Aku ngga terlambat, kan?"
Abi, umi, Hasan dan Luna menatap ke arah Faris yang muncul dengan senyum lebarnya.
Hasan tersenyum miring.
Sudah selesai nguping, ya, batinnya menuduh.
Seakan tau isi pikiran abangnya, Faris menambah durasi tawanya. Dia memang menguping dengan hati tegang.
"Ayo, bantu habisin makanannya," ucap abinya sambil melambaikan tangannya.
"Ya, abi." Faris mendekat dan melihat isi di piring Luna.
"Mantap, Kak Luna. Kamu bisa makan masakan umi," pujinya dengan wajah sumringah.
Luna tersenyum.
"Cocok, nih. Udah Kak Luna aja yang jadi menantu mami."
Tidak ada bantahan dari Uminya. Malah uminya mengangkat dua jempol tangannya.
Hasan menghembuskan nafas lega. Dia menatap Luna lembut.
Mental kamu baja banget, Luna. Terimakasih, ya.
*
*
*
Sekarang Luna sudah berada di dalam mobil Hasan. Laki laki itu akan mengantarkannya pulang. Sepanjang jalan mereka mengobrol biasa saja seolah kejadian penuh ganjalan tadi tidak pernah terjadi.
Hingga mobil Hasan memasuki gerbang rumah Luna.
"Mampir? Tapi mami sama papi sedang ke rumah temannya. Ayra lagi jalan sama Adelia, kayaknya belum pulang."
Ayra dan Adelia sekarang merasa senasib karena masih jomblo.
"Kalo begitu aku pulang saja," ucap Hasan sambil menghentikan mobilnya di halaman rumah Luna.
Luna tertawa mendengarnya.
"Kenapa?" tanyanya sedikit meledek.
Hasan tersenyum dengan tatapan teduhnya.
"Aku ngga sendirian, kok..Masih ada art. Banyak lagi."
Hasan masih tersenyum dan tatapannya pun tidak teralihkan pada Luna.
"Kamu ngga marah?" tanya Hasan menyinggung kejadian tidak menyenangkan tadi.
Luna menggeleng.
Hasan melepaskan nafas berat.
"Aku tidak menyangka kakek dan nenek datang. Abi dan umi tadi juga pasti kaget."
Luna mengangguk. Dia sangat mengerti. Apalagi nenek Hasan terlihat tidak menyukainya. Mungkin belum. Luna berusaha berbaik sangka.
"Seharusnya hanya ada aku, kamu, abi, umi, dan Faris."
Luna menatap Hasan yang tampak agak tertekan.
Sunyi.
Hasan menggusar rambutnya. Dia tadinya sudah berpikir pertemuan ini akan berlangsung hangat. Bukan seperti tadi penuh intervensi neneknya.
"Hasan, kamu jangan mundur dari pondok, ya. Aku jadi merasa bersalah," ucap Luna setelah mereka terdiam cukup lama.
Hasan tersenyum.
"Aku hanya ngga mau jadi pimpinan di pondok. Tapi aku akan tetap membantu Faris saat dia menggantikan aku. Pondok tetap akan jadi tanggung jawabku."
"Syukurlah." Luna tersenyum lega.
Hasan kembali menatap Luna dalam. Gadis itu seperti belum sadar kalo masih mengenakan scarfnya.
"Yang kamu katakan tadi benar, kan?"
Pipi Luna merona.
"Ngga ngomong apa apa tadi," ngeles Luna salah tingkah.
Hasan masih tetap tersenyum, ngga terpengaruh dengan penyangkalan Luna.
"Yang aku katakan tadi juga serius."
DEG DEG
Mereka saling tatap. Luna mengalihkan ke arah lain. Dia ngga bisa lama.lama membalas tatapan Hasan.
"Kamu itu kalo natap aku ngeri banget, San. Udah kayak Abiyan kalo mau makan perempuan yang jadi incarannya," gerutu Luna. Jantungnya semakin cepat berdetak.
"Iya, kah?" Hasan melebarkan sudut lengkung bibirnya.
"Hemm...."
Hasan menatap stir mobilnya.
Kalo saja Luna tau dia sedang menahan tangannya untuk tidak mengus@p pipi merona gadis itu.
"Hasan......, kalo nenek kamu ngga merestui, kamu akan membantahnya?"
Hasan mengangkat lagi wajahnya dan menatap Luna.
"Ngga apa apa, kan, aku memperjuangkan kamu?"
DEG
Luna yakin saat ini ada banyak sayap kupu kupu yang berebutan terbang keluar dari dalam perutnya yang mendadak mulas.
Luna merasa tersanjung, tapi dia tidak mau Hasan seperti ini.
Luna menarik nafas dalam dalam dan menghembuskannya pelan.
"San, kamu tau, kan, kenapa aku dulu menolak kamu?"
Hasan terdiam.
"Karena kamu belum siap bersamaku, kan, yang anak pondok?"
"Sebagiannya."
"Sebagiannya lagi apa?"
Luna menghela nafas panjang, seakan ingin melepaskan ganjalan di dalam dadanya.
"Aku ngga yakin keluarga kamu bisa menerima aku...... Aku juga ngga mau kamu melawan orang tua kamu, juga keluarga kamu yang lain."
Hasan terdiam sebentar.
"Kamu ngga akan menyerah, kan, sama aku?" tanya Hasan pelan dan di hati Hasan terselip rasa takut.
Luna tersenyum.
"Kamu percaya, kan....., kalo kita memang berjodoh, kita pasti akan bisa bersama......"
Hasan termangu. Dia malah takut kalo yang terjadi malah yang sebaliknya.
Hasan akhirnya ngga bisa menahan tangannya lagi untuk merapikan rambut Luna yang terlihat di balik scarfnya.
Dia sudah sedekat ini. Dia ngga akan membiarkan mereka berpisah lagi, tekat Hasan dalam hati.
Luna baru tersadar kalo dia masih mengenakan scarfnya. Saat dia akan melepaskannya, Hasan menahan tangan Luna.
"Biarkan seperti ini sampai kamu keluar dari mobilku," ucap Hasan pelan dengan tatapannya yang menghipnotis Luna. Hasan membawa tanganku itu mendekati wajahnya dan menci um punggung tangan itu dengan lembut, juga cukup lama.
"Tunggu aku, ya, sampai aku bisa meyakinkan semua anggota keluargaku. Terutama nenekku." Hasan menjauhkan punggung tangan Luna.
Luna tersenyum dengan debur debur ombak yang sudah pindah ke dalam rongga dadanya.
"Tenang aja. Delapan tahun aku bisa, kok, nunggu kamu. Masa sekarang enggak," jawab Luna dengan pipi merona. Luna yakin pipinya saat ini pasti sudah merah sekali.
beruntungnya kamu luna.
malu malu tapi mau 🤭🤭🤭