Yunita, siswi kelas dua SMA yang ceria, barbar, dan penuh tingkah, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis saat orang tuanya menjodohkannya dengan seorang pria pilihan keluarga yang ternyata adalah guru paling killer di sekolahnya sendiri: Pak Yudhistira, guru Matematika berusia 27 tahun yang terkenal dingin dan galak.
Awalnya Yunita menolak keras, tapi keadaan membuat mereka menikah diam-diam. Di sekolah, mereka harus berpura-pura tidak saling kenal, sementara di rumah... mereka tinggal serumah sebagai suami istri sah!
Kehidupan mereka dipenuhi kekonyolan, cemburu-cemburuan konyol, rahasia yang hampir terbongkar, hingga momen manis yang perlahan menumbuhkan cinta.
Apalagi ketika Reza, sahabat laki-laki Yunita yang hampir jadi pacarnya dulu, terus mendekati Yunita tanpa tahu bahwa gadis itu sudah menikah!
Dari pernikahan yang terpaksa, tumbuhlah cinta yang tak terduga lucu, manis, dan bikin baper.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Musim panas makin terasa, dan rumah kecil Yudhistira–Yunita… tetap seperti kapal yang dihantam gelombang badai hormon.
Selama sembilan bulan terakhir, hidup mereka adalah kombinasi chaos dan cinta.
Tapi hari ini…
Hari ini badai itu akan berakhir.
Karena gelombang sebenarnya baru akan dimulai.
Pagi Hari yang Mencurigakan
Jam 4 pagi.
Yudhistira baru selesai menulis rencana pelajaran dan baru sempat merebahkan tubuh.
“Nggggh… Mas…”
Suara Yunita membuatnya langsung bangun—bukan bangun biasa—tapi bangun seperti ditarik rem darurat kereta.
“Nita? Kamu mual? Sakit? Mau pipis? Mau mie ayam lagi? Mau—”
“Ahh… Mas… perutku kenceng banget…”
Yudhistira langsung tegap seperti tentara menghadapi alarm negara.
“Kenceng… seberapa kenceng?”
“Sampai aku mau jambak rambut kamu.”
“Itu… mungkin kontraksi.”
“Nggggh MAS AKU MAU JAMB… AHHH!”
“Baik! Konfirmasi diterima! KITA KE RUMAH SAKIT!”
Ia langsung panik mengambil tas persiapan, tetapi malah membawa tas sekolahnya sendiri.
“Mas… itu buku rapor.”
“Oh ya… ya Allah….”
Ia membongkar tas lagi.
Yang keluar: buku teks, masker cadangan, spidol, roti, dan… kapur papan tulis.
“MAS!!!!”
“Aku stres!!!”
Akhirnya tas persalinan pun berhasil ditemukan yang sudah ia siapkan sejak bulan ketiga karena terlalu takut.
----
Sepanjang jalan, Yudhistira menyetir seperti sopir ambulans gadungan.
“Mas! Pelan! Aku kontraksi, bukan mau balapan!”
“Maaf! Aku panik!”
“Pelan…”
“Baik….”
“MASSSS CEPET SAKIT!!!!”
“….”
Perubahan nada Yunita sudah seperti radio rusak.
Begitu sampai, bidan memeriksa Yunita.
“Ibu pembukaan… tiga ya. Masih awal.”
Yudhistira mengangguk cepat. “Oke, Bu. Apa yang harus saya—”
Tiba-tiba Yunita mencengkram kerah bajunya.
Wajahnya pucat, tegang, tapi masih barbar level istri yang sedang kontraksi.
“MAS… PEGANGIN TANGANKU.”
Yudhistira langsung memegang, tapi Yunita berteriak:
“JANGAN KUAT-KUAT!!! AHHH!!!”
“Oke, oke! Pelan! Pelan!”
“MAS PAKAI PARFUM APA?!”
“Ini sabun bayi—”
“BAUNYA MASUK HIDUNGKU!!!”
“Maaf!!! Maafkan aku!!!”
Bidan menahan tawa. “Ibu wajar ya kalau emosinya naik turun.”
Yudhistira mengangguk. “Saya sudah latihan sembilan bulan, Bu. Ini versi final.”
Waktu Berjalan Lambat
Dari jam 5 pagi…
ke jam 7…
lalu jam 9…
pembukaan hanya berubah sedikit.
Yudhistira duduk di samping ranjang, mengusap rambut istrinya, matanya selalu mengikuti setiap napas Yunita.
“Nggg Mas… perutku… sakit…”
“Aku di sini, sayang…”
“JANGAN NGEGAPIN! AKU PANAS!”
“Baik… baik… aku mundur.”
“JANGAN JAUH-JAUH!!!”
“….”
Yudhistira kembali mendekat tanpa suara.
Ia sudah hafal kalau ibu hamil sedang kontraksi \= logika cuti dulu.
Dalam jeda kontraksinya, Yunita menangis kecil.
“Mas… aku takut…”
Yudhistira langsung memegang pipinya, lembut sekali.
“Nita… kamu itu perempuan paling kuat yang aku kenal.”
“Tapi… sakit banget…”
“Aku tahu. Kamu nggak sendirian.”
Yunita memeluk lengannya.
“Mas janji… jangan tinggalin aku.”
“Aku bahkan nggak berani ke toilet sejak kamu kontraksi.”
“Bagus!”
Pembukaan Akhir pun datang di Jam 12 siang.
Bidan masuk dan tersenyum.
“Pembukaan lengkap, Bu. Siap-siap ya.”
Yunita menggenggam tangan Yudhistira kuat-kuat.
“MAS!!! AKU MATI NIH!!!”
“Jangan ngomong gitu! Kamu kuat!”
“Aku mau potong rambut Mas kalo anak ini keluar!!!”
“Silakan!! Aku rela!!!”
“Aku mau jambak kamu!!!”
“Jambak saja, sayang!!!”
Bidan sampai tertawa. “Suaminya kooperatif sekali ya.”
“Itu… insting bertahan hidup, Bu.”
Proses Melahirkan sakitnya luar biasa.
Napas Yunita kacau.
Wajahnya merah.
Air matanya keluar tanpa ia sadari.
“Mas… Mas… sakit… sakit banget…”
Yudhistira menempelkan dahinya pada dahi Yunita.
“Denger suara aku… kamu gak sendiri. Aku ada. Aku lihat kamu. Kamu bisa.”
“Aku… nggak kuat…”
“Kamu kuat. Kamu sudah melewati sembilan bulan penuh drama dan mie ayam jam 3 pagi. Kamu pasti bisa ini.”
Yunita menangis sambil berusaha tersenyum di tengah rasa sakit.
“Aku cinta Mas…”
“Aku cinta kamu lebih, Nita. Ayo kita sambut anak kita sama-sama.”
“Dorong, Bu. Lagi… satu kali lagi!”
Yunita mengerang keras, seluruh tubuhnya tegang.
Satu dorongan terakhir.
Dan…
Tangisan bayi memenuhi ruangan.
Tangisan kecil.
Lembut.
Pecah.
Indah.
Yunita langsung lemas, semua sakitnya seperti hilang tertiup angin.
“Bu… selamat ya.”
Bidan mengangkat bayi mungil itu.
“Ayah… mau gunting tali pusat?”
Yudhistira maju dengan tangan gemetar.
“B-boleh…”
Ia memotong dengan hati-hati, matanya berair.
Bayi itu menangis, tapi tenang saat digendong bidan.
“Anak ibu sehat… perempuan ya.”
Perempuan.
Yudhistira hampir jatuh berlutut.
Ia menatap putrinya dengan wajah yang sama sekali belum pernah Yunita lihat sebelumnya:
campuran takjub… cinta… dan ketakutan menjadi ayah.
Bidan meletakkan bayi itu di dada Yunita.
Tubuh kecil itu hangat.
Kepalanya menoleh pelan.
Dan seakan mengenali suara ibunya, bayi itu berhenti menangis.
Yunita langsung menangis pelan. “Ya Allah… kecil banget…”
Yudhistira berdiri di samping, matanya merah.
“Dia cantik banget, Nita…”
“Mas… ini anak kita…”
“Iya…”
“Kok kecil banget…”
“Nita… namanya mau apa?”
Yunita tersenyum lemah.
“Yang manis… yang kuat… kayak dia…”
Yudhistira menggenggam tangan istrinya.
“Kita pilih bareng ya.”
---
Kamar rawat ibu dan bayi.
Yunita sudah lebih tenang.
Yudhistira duduk di sampingnya sambil menggendong bayi mereka posisi yang awalnya ia kaku sekali, tapi sekarang senyum polos tak bisa ia sembunyikan.
“Mas… kamu deg-degan ya?”
“Aku takut kalau aku goyang sedikit dia marah.”
“Itu bayi, Mas, bukan dosen killer.”
“Kamu yakin? Tatapannya… dalam banget.”
“Mas… dia tidur.”
“Oh iya…”
Yunita tertawa kecil.
Yudhistira memandang bayi itu lagi.
“Dia mirip kamu.”
“Mirip Mas. Liat hidungnya.”
“Enggak. Mirip kamu.”
“Enggak. Mirip Mas.”
Mereka saling tatap.
Lalu sama-sama tertawa.
Saat Malam Datang
Bayi mereka tidur di samping ranjang.
Yunita memegang tangan Yudhistira.
“Mas…”
“Ya?”
“Terima kasih… sudah nggak ninggalin aku… nggak tidur… nggak makan… dan selalu ada.”
Yudhistira mengusap pipi istrinya lembut.
“Nita… kamu itu hadiah terbesar dalam hidupku. Dan sekarang… kita punya hadiah tambahan.”
“Mas…”
“Hm?”
“Kita berhasil ya…”
“Kita berhasil.”
Yunita menghela napas lega, senyumnya lembut.
“Mas…”
“Ya?”
“Besok aku mau makan mie ayam…”
“Ya Allah… baru lahiran, Nita…”
“Tapi anak kita minta!”
“Ya sudah… aku siap.”
...****************...
Beberapa Bulan Kemudian
Rumah kecil itu kembali ramai.
Tangisan.
Tawa.
Baju bayi di mana-mana.
Botol susu bergelantungan.
Dan Yudhistira guru killer idola sekolah sekarang resmi jadi hamba dua perempuan, istri dan bayi mungil.
Setiap pagi ia menyuapi Yunita.
Memakaikan selimut untuk bayi mereka.
Membuatkan air hangat.
Menidurkan bayi sambil baca buku pelajaran.
Kadang Yunita tertawa melihatnya.
“Mas… kamu kok kelihatan kayak bapak-bapak banget?”
“Karena aku udah jadi bapak.”
“Aku cinta Mas.”
“Aku juga.”
----
Suatu sore, Yunita duduk di teras sambil menggendong bayi mereka.
Yudhistira duduk di sebelahnya, kepala bersandar di bahunya.
“Mas…”
“Hm?”
“Hidup kita lucu ya.”
“Lucu banget.”
“Dari murid ke guru.”
“Dari istri ke ibu.”
“Dari guru killer ke bapak-bapak manis.”
“… manis?”
“Sedikit.”
Mereka tertawa kecil.
Bayi mereka menggerakkan tangan, seperti ingin ikut bicara.
Yudhistira mencium pipinya lembut.
“Nita… terima kasih sudah jadi rumah untuk aku… dan untuk anak kita.”
Yunita tersenyum, matanya berbinar.
“Kita tumbuh bareng ya, Mas…”
Yudhistira menggenggam tangannya erat.
“Sampai kapan pun.”
Angin sore berhembus.
Cahaya matahari hangat menyinari wajah kecil yang sedang tidur tenang.
Dan di rumah kecil itu…
kisah cinta guru killer dan murid barbar menemukan akhirnya:
bukan akhir sebenarnya,
tapi awal keluarga kecil yang penuh cinta, tawa, dan mie ayam tengah malam.
Tamat.
yo weslah gpp semangat Thor 💪 salam sukses dan sehat selalu ya cip 👍❤️🙂🙏