WARNING❗
CERITA INI BUAT YANG MAU-MAU SAJA.
TIDAK WAJIB BACA JUGA BILA TAK SUKA.
⚠️⚠️⚠️
Setelah hampir satu tahun menjalani pernikahan, Leon baru tahu jika selama ini sang istri tak pernah menginginkan hadirnya anak diantara mereka.
Pilihan Agnes untuk childfree membuat hubungannya dengan sang suami semakin renggang dari hari ke hari.
Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Debby, sahabat Leon yang sekian lama menaruh rasa yang tak biasa pada Leon.
Badai perpisahan pun tak bisa mereka hindari.
Tapi, bagaimana jika beberapa tahun kemudian, semesta membuat mereka kembali berada di bawah langit yang sama?
Bagaimana reaksi Leon ketika tahu bahwa setelah berpisah dari istrinya, Leon tak hanya bergelar duda, tapi juga seorang ayah?
Sementara keadaan tak lagi sama seperti dulu.
"Tega kamu menyembunyikan keberadaan anakku, Nes." -Leonardo Alexander-
"Aku tak pernah bermaksud menyembunyikannya, tapi ... " -Leony Agnes-
"Mom, where's my dad?" -Alvaro Xzander-
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terbiasa Menghadapi Rasa Sakit
#28
“Uncle, are you my dad?”
Pertanyaan itu, membuat suasana hangat menjadi buyar, tiga orang itu seolah tersesat dalam dimensi waktu yang hanya ada mereka bertiga. Tanpa manusia lain, dan tanpa suara.
Al terlalu pintar untuk menyadari situasi, kehadiran Leon yang tanpa aba-aba, mengajaknya bermain, bercanda, melakukan apa saja agar ia bahagia.
Kalimat ibu penjual souvenir, serta ucapan Mayra di hari pertama mereka bertemu, membuatnya memperhatikan kemiripan antara dirinya dan uncle misterius yang tiba-tiba saja datang dalam hidupnya.
Tapi puncaknya adalah ketika ia mendengar ucapan sang mommy ketika menjawab panggilan dari Rama. Kalimat itu, seolah memperjelas segalanya.
Agnes dan Leon saling pandang, bingung bagaimana menjelaskan, anak seusia Al seharusnya belum mengerti sejauh ini, tapi anak mereka benar-benar di luar ekspektasi.
“Emm, Al…”
“Aku tahu, Mom. Jangan coba-coba membohongiku lagi.”
Al kembali ke mode dewasa, padahal saat bersama Leon, Agnes merasa Al terlihat seperti anak-anak normal yang manja pada ayahnya.
Leon kembali meletakkan sendok dan sumpitnya. “Maaf, jika Daddy terpaksa membohongimu.”
Tak ada gunanya lagi berbohong, saat ini hanya kejujuran yang mungkin bisa menyelamatkannya. Begitu pikir Leon.
“Apa Uncle sudah tak sibuk? atau sedang tak ada pekerjaan? Hingga Uncle tiba-tiba ingat padaku?”
Leon tercekat, pertanyaan Al sangat menyakitkan, pasti Al sangat kehilangan sosok ayah yang ia rindukan. Yaitu ayah yang tak pernah hadir mewarnai kehidupannya.
Agnes pun demikian, wanita itu hanya bisa menunduk dengan perasaan sedih. “Al, Mommy bisa jelaskan—”
Leon memberi kode berupa gelengan kepala, “Biar aku saja,” ucapnya tanpa suara.
“Daddy tak sibuk, Nak. Hanya saja Daddy baru tahu jika kamu ada. Seandainya Daddy tahu lebih awal, pasti Daddy akan segera melesat menghampirimu.”
Leon kembali bersuara, namun Al seperti tak bergeming setelah mendengar ucapannya. “Sorry, Uncle, but you're late. I don't need you anymore.”
Dada Leon seolah dihantam batu besar setelah mendengar ucapan Al, dulu ia adalah orang yang paling mengharapkan kehadiran anak. Tapi kini, ia yang ditolak oleh anaknya sendiri. Bukankah sakitnya kian berlapis?
“Al, Mommy tak suka dengan ucapanmu!” tegur Agnes tegas, karena semua kesalahpahaman ini bukan murni kesalahan Leon, dirinya pun memiliki andil yang sangat besar dalam hal ini.
“Apa Daddy tak punya kesempatan menebusnya?” tanya Leon, mengabaikan Agnes yang mulai ikut terbawa emosi.
Mereka berdua seperti sedang bicara dengan orang dewasa, bukan bicara pada anak berusia 4 tahun.
“Tidak ada, karena waktu Uncle sudah habis. Mom, let's go home.”
Al berdiri dari kursinya, mendadak lupa dengan rasa laparnya. Membuat kedua orang tuanya panik, karena tadi yang paling mengeluh lapar adalah Al.
“Makan dulu sebelum pulang,” cegah Agnes.
“Tiba-tiba aku kenyang, Mom.”
Akhirnya, dua orang itu pun mengalah. Mengabaikan makanan yang belum tersentuh sama sekali. Karena kondisi Al yang mendadak berubah drastis, setelah mengetahui apa yang terjadi.
Al bahkan memilih duduk di kursi belakang, padahal sejak berangkat ia duduk di kursi depan. “Mom, duduk saja di belakang!” Anak itu bahkan mengultimatum Agnes, agar duduk di kursi belakang, semua itu bentuk perlindungannya pada mommy yang ia sayangi.
Leon hanya bisa menghela nafas, beberapa saat lalu ia merasa hampir sampai di garis finish, tapi kini, ia merasa seperti mengulang kembali dari garis start.
Tak ada yang bersuara sepanjang perjalanan pulang, hanya sunyi menemani, ketiganya tenggelam dalam pikiran masing-masing.
•••
Mobil Leon berhenti di depan rumah, ternyata ada mobil lain yang juga berhenti di sana. Dan dia adalah— Rama.
“Uncle!” teriak Al begitu turun dari mobil dan melihat keberadaan Rama yang sedang berbincang dengan Mama Wina di teras rumah.
Rama segera berdiri merentangkan tangan dan membawa Al ke pelukannya. Dan sudah bisa ditebak sekarang siapa yang semakin terpuruk dalam kegelisahan. Leon.
“Masuk, dulu.” Agnes mempersilahkan mantan suaminya untuk masuk, sekedar makan kudapan karena mereka belum makan malam.
Sebenarnya Leon segan, tapi ia tak mungkin pergi begitu saja. “Mas, sudah lama datangnya?”
Seperti biasa, Rama hanya mengusap kepala Agnes, tanpa skin touch yang berlebihan. “Lumayan, berharap melihatmu, malah bertemu Tante Wina.”
“Jadi nggak suka bertemu dengan Mama?”
Rama terkekeh, namun, tak memberi jawaban atas gurauan Mama Wina.
Leon terpaku, ia seperti pejuang yang kalah perang, di tolak Al, dan kini melihat pemandangan mesra yang membuatnya ingin mematahkan tangan Rama, karena sudah bersikap begitu mesra pada mantan istrinya.
“Mas, kenalkan, ini—”
“Daddy-nya Al.” Leon menyela ucapan Agnes.
Dengan ramah dan senyum menghiasi wajahnya, Rama mengulurkan tangan. Sementara Al setia menyembunyikan wajahnya di pelukan Rama.
“Hei, Jagoan, kenapa murung begini? Bukankah tadi kamu bersenang-senang?” Al tak menjawab, dan Agnes pun tak bisa menjelaskan situasinya, karena suasana masih sangat canggung.
“Ma, apa Rika masak kudapan?”
“Ada tuh, lemper, mau?”
“Ayo, makan kudapan dulu, kamu pasti lapar,” kata Agnes yang melihat Leon murung tak banyak bicara.
“Tidak, aku langsung pulang saja, lain kali aku datang lagi.”
“Ma, aku pamit, ya.” Leon mencium punggung tangan Mama Wina.
“Iya, Hati-hati, salam buat orang tua kamu.”
“Iya, Ma.”
“Tuan—”
“Rama,” jawab Rama.
Leon bersalaman dengan Rama, walau perasaannya tak menentu. “Aku pulang dulu.”
“Hmm, terima kasih karena hari ini sudah mengajak Al bermain.”
“Tak perlu berterima kasih, karena seharusnya sejak dulu kulakukan ini.”
Hah, Leon benci situasi ini, ia sama sekali tak melihat rasa cemburu dalam tatapan Rama, jika seandainya Rama cemburu, atau setidaknya mengibarkan bendera perang tentu Leon tak akan segan menyerang. Tapi ini, pria dewasa versi yang sebenar-benarnya.
Mereka yang bersalaman tapi Agnes yang merasakan kecanggungan. Benar-benar situasi yang tak menyenangkan.
“Al— Daddy pulang dulu, ya?” Leon mengusap punggung dan kepala Al, namun anak itu sama sekali tak menoleh padanya. Sakit? Tentu saja,
“Sepertinya mood-nya sedang buruk.”
“Iya, aku tahu.”
“Nes, aku pulang dulu.”
“Hmm, hati-hati,” ucap Agnes masih mengikuti Leon ke arah mobil pria itu.
“Leon.”
Leon menghentikan langkahnya. “Hmm?”
“Maaf, aku tak menduga efeknya akan seburuk ini.”
“Kembalilah, aku sudah terbiasa menghadapi rasa sakit.”
Leon pun melanjutkan langkah, tanpa menoleh lagi ke belakang. Mobil bergerak mundur perlahan, sampai akhirnya menemukan tempat untuk berubah haluan.
Agnes diam, ucapan Leon membuatnya termenung dan berfikir.
###
Wis ya, sumbunya udah othor nyalakan, kalo mas leon tetep gak gercep, maka mas rama yang yang menang🤧🤓
ikutan perih ei.....
Apa Leon baru tersadar jika Agnes duduk di pelaminan sama Rama
kasihan kali kau leon, gak tahu apa-apa tapi seolah semua kesalahan tertimpa padamu... kamu yg ditinggalkan, ditolak, dan harus menanggung rasa sakit sendirian... huhuhu, sakit sakit sakitnya tuh di sini... kezaaaammm kezaaaammm, othor tega bikin ibu menangisss😭