Di desa kandri yang tenang, kedamaian terusik oleh dendam yang membara di hati Riani. karena dikhianati dan ditinggalkan oleh Anton, yang semula adalah sekutunya dalam membalas dendam pada keluarga Rahman, Riani kini merencanakan pembalasan yang lebih kejam dan licik.
Anton, yang terobsesi untuk menguasai keluarga Rahman melalui pernikahan dengan Dinda, putri mereka, diam-diam bekerja sama dengan Ki Sentanu, seorang dukun yang terkenal dengan ilmu hitamnya. Namun, Anton tidak menyadari bahwa Riani telah mengetahui pengkhianatannya dan kini bertekad untuk menghancurkan semua yang telah ia bangun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak Yang Hilang Di bukit Menoreh
Dinda, dengan polosnya, mengikuti Riani dan Gita menuju sebuah kawasan perbukitan yang jarang dijamah warga, Bukit Menoreh. Langkah kakinya yang ringan berbanding terbalik dengan suasana yang semakin mencekam. Udara semakin dingin, menusuk hingga ke tulang, dan kabut mulai turun perlahan, menyelimuti pepohonan pinus yang menjulang tinggi, menambah kesan suram pada perjalanan mereka. Dinda mulai merasa tidak nyaman, firasat buruk merayap di hatinya.
"Kita mau ke mana sebenarnya?" tanya Dinda, mencoba memecah keheningan yang menyesakkan, suaranya sedikit bergetar.
Riani tersenyum, namun matanya menyimpan sesuatu yang sulit diartikan, sebuah kilatan dingin yang tak luput dari perhatian Dinda. "Tenang saja, Din. Sebentar lagi kita sampai. Ada tempat yang sangat indah yang ingin kami tunjukkan padamu."
Gita, yang sedari tadi diam, hanya tertawa kecil. Tawa itu terdengar hambar, seperti gesekan daun kering, dan membuat bulu kuduk Dinda meremang. Ia menelan ludah, mencoba mengusir rasa takut yang mulai mendera.
Setelah berjalan cukup jauh, menembus rimbunnya hutan dan kabut yang semakin pekat, mereka tiba di sebuah jurang yang dalam. Tebingnya curam, dan dasarnya tak terlihat, ditelan kegelapan. Di tepi jurang yang terjal itu, Riani dan Gita berhenti. Dinda semakin curiga, jantungnya berdebar tak karuan.
"Kenapa kita ke sini?" tanya Dinda, dengan nada khawatir yang tak bisa ia sembunyikan.
Riani dan Gita saling bertukar pandang, lalu tersenyum sinis, senyum yang tak sampai ke mata. "Inilah tempat yang ingin kami tunjukkan padamu, Din," kata Riani, dengan nada yang berubah dingin, menusuk. "Tempat di mana semua masalahmu akan berakhir."
Dinda terkejut. Darahnya seolah membeku. Ia mulai menyadari bahwa ia telah dijebak. Riani dan Gita tidak pernah benar-benar memaafkannya, seperti yang mereka katakan. Mereka hanya berpura-pura, memanfaatkannya, dan kini niat busuk mereka terungkap.
"Apa maksud kalian?" tanya Dinda, dengan suara bergetar hebat, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
"Sudah cukup sandiwara ini, Din," kata Gita, dengan nada kasar yang tak pernah Dinda dengar sebelumnya. "Kami sudah muak dengan keluarga kalian. Kalian telah menghancurkan hidup kami!"
Riani mendekati Dinda, dengan tatapan penuh kebencian yang membara. "Sekarang, giliran kalian yang merasakan penderitaan yang telah kami alami."
Dinda mencoba melarikan diri, nalurinya berteriak untuk menyelamatkan diri. Namun Riani dan Gita dengan cepat menghadangnya. Mereka mendorong Dinda hingga berada di tepi jurang, hanya tinggal selangkah lagi menuju kehampaan.
"Tolong... jangan lakukan ini!" teriak Dinda, dengan air mata berlinang, memohon belas kasihan.
"Terlambat, Din," kata Riani, dengan senyum kemenangan yang kejam. "Selamat tinggal!"
Riani dan Gita mendorong Dinda ke dalam jurang. Dinda menjerit sekuat tenaga, jeritan yang memilukan, namun suaranya tenggelam dalam gemuruh angin yang seolah ikut meratapi nasibnya.
Sementara itu Di Desa Kandri, malam terasa panjang dan dingin bagi Pak Rahman dan Bu Rahmi. Gelisah tak tertahankan menyelimuti hati mereka karena Dinda belum juga pulang. Berulang kali mereka mencoba menghubungi Dinda, namun ponselnya tidak aktif. Kekhawatiran mereka memuncak, berubah menjadi ketakutan yang mencekam.
"Ke mana Dinda sebenarnya Pak?" tanya Bu Pak Rahman Rahmi, dengan nada cemas, suaranya tercekat.
"Aku juga tidak tahu Bu," jawab Pak Rahman, dengan wajah khawatir yang tak bisa disembunyikan. mencengkeramnya. Ia merasa ada sesuatu yang sangat buruk telah terjadi pada putrinya.
Tiba-tiba, seorang warga desa yang ikut mencari datang menghampiri Pak Rahman dengan membawa kabar yang mengejutkan. Dengan napas terengah-engah, ia mengatakan bahwa ia melihat Dinda bersama Riani dan Gita, berjalan tergesa-gesa menuju Bukit Menoreh.
Pak Rahman terkejut mendengar kabar tersebut. Ia tahu bahwa Riani dan Gita memiliki masalah lama dengan keluarganya, dan ia khawatir mereka akan mencelakai Dinda. Sebuah skenario terburuk terlintas di benaknya.
Tanpa membuang waktu, Pak Rahman dan Pak Gimin segera menuju Bukit Menoreh. Mereka berharap masih bisa menyelamatkan Dinda sebelum terlambat, sebelum hal yang tak terbayangkan terjadi.
Pak Rahman dan Pak Gimin tiba di Bukit Menoreh. Kabut semakin tebal, membuat jarak pandang terbatas. Mereka bergegas menuju area jurang yang dicurigai. Mereka mencari di sekitar tepi jurang, memanggil-manggil nama Dinda, namun tidak ada jawaban. Hanya gema suara mereka yang kembali. Tidak ada jejak Dinda, Riani, maupun Gita. Mereka hanya menemukan jejak kaki yang samar-samar mengarah ke jurang, dan beberapa bekas ranting patah yang seolah menjadi saksi bisu kejadian mengerikan. Pak Rahman semakin panik, wajahnya memucat. Ke mana Riani dan Gita membawa Dinda? Dan ke mana mereka menghilang setelah itu?
Pak Rahman dan Pak Gimin memutuskan untuk menyisir hutan di sekitar Bukit Menoreh, meskipun kegelapan dan kabut tebal menghambat pencarian. Mereka berharap menemukan petunjuk, atau bahkan menemukan Dinda, atau setidaknya Riani dan Gita. Namun, setelah berjam-jam mencari, hingga matahari mulai mengintip dari balik bukit, mereka tetap tidak menemukan apa pun. Hutan itu seolah menelan semua jejak.
Pak Rahman menyeka keringat di dahinya, napasnya tersengal. Kabut semakin tebal, membuat pandangan semakin terbatas. "Gimin, apa kau yakin kita berada di jalur yang benar?" tanyanya, suaranya bergetar karena cemas.
Pak Gimin, yang sedari tadi berjalan di depan, berhenti sejenak dan mengamati sekeliling. "Saya yakin Pak Warga melihat mereka menuju ke arah sini. Tidak mungkin mereka menghilang begitu saja."
"Tapi sudah berjam-jam kita mencari, Gimin. Tidak ada jejak apa pun. Seolah-olah mereka ditelan bumi," sahut Pak Rahman, nada putus asa mulai terdengar dalam suaranya.
"Kita tidak boleh menyerah, Pak," kata Pak Gimin, memberi semangat pada juragannya itu
Beberapa warga desa yang ikut mencari mendekat. Salah seorang dari mereka, Pak Bejo, seorang petani yang sudah lama mengenal Pak Rahman, berkata, "Pak Rahman, mungkin sebaiknya kita berpencar. Semakin banyak orang yang mencari, semakin besar kemungkinan kita menemukan sesuatu."
Pak Rahman mengangguk setuju. "Benar juga, Bejo. Gimin, bagi kelompok menjadi beberapa tim. Kita sisir setiap sudut hutan ini. Jika ada yang menemukan sesuatu, segera beritahu yang lain."
Pak Gimin segera mengatur strategi. Mereka dibagi menjadi empat kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari tiga orang. Mereka menyebar ke arah yang berbeda, menyusuri jalan setapak yang tersembunyi dan menembus semak belukar yang lebat.
"Ingat, hati-hati," pesan Pak Rahman. "Kita tidak tahu apa yang ada di depan sana. Jika kalian merasa ada sesuatu yang mencurigakan, jangan ragu untuk mundur dan melapor."
Kelompok Pak Rahman menyusuri tepi jurang. Mereka berjalan perlahan, mata mereka awas mengamati setiap detail. Sesekali mereka memanggil nama Dinda, berharap ada jawaban.
"Dinda! Dinda!" teriak Pak Rahman, suaranya menggema di antara pepohonan.
Namun, hanya keheningan yang menjawab.
"Pak Rahman, lihat ini!" seru salah seorang anggota kelompok, seorang pemuda bernama Slamet. Ia menunjuk ke arah tanah. "Sepertinya ada bekas seretan di sini."
Pak Rahman dan Pak Gimin mendekat. Mereka melihat bekas seretan yang samar-samar di atas tanah yang basah. Bekas itu mengarah ke tepi jurang.
"Ini... ini pasti bekas Dinda," kata Pak Rahman, suaranya bergetar. "Mereka menyeretnya ke jurang!"
Amarah Pak Rahman memuncak. Ia mengepalkan tangannya erat-erat, matanya memancarkan kebencian.
"Sabar, Rahman," kata Pak Gimin, mencoba menenangkan sahabatnya itu. "Kita belum tahu pasti apa yang terjadi. Kita harus mencari tahu lebih lanjut."
Mereka mengikuti bekas seretan itu hingga ke tepi jurang. Di sana, mereka menemukan beberapa helai rambut yang tersangkut di ranting pohon. Rambut itu berwarna hitam, sama seperti rambut Dinda.
"Ya Tuhan, Dinda!" seru Pak Rahman, air mata mulai membasahi pipinya. "Apa yang telah mereka lakukan padamu?"
Pak Rahman berlutut di tepi jurang, menatap ke bawah dengan tatapan kosong. Ia merasa putus asa dan tak berdaya.
"Rahman, jangan menyerah," kata Pak Gimin, memegang bahu sahabatnya itu. "Kita harus tetap kuat. Kita harus menemukan Dinda, apa pun yang terjadi."
Di tempat lain, kelompok Pak Bejo menemukan sesuatu yang mencurigakan. Mereka menemukan sebuah tas kecil yang tergeletak di dekat sebuah pohon besar. Tas itu tampak familiar.
"Sepertinya aku pernah melihat tas ini," kata Pak Bejo. "Ini seperti tas milik Gita."
Mereka membuka tas itu dan menemukan beberapa barang di dalamnya, termasuk sebuah dompet dengan foto Gita dan sebuah pisau kecil.
\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*