NovelToon NovelToon
Tersesat Di Hutan Angker

Tersesat Di Hutan Angker

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Misteri / Horor / Rumahhantu / Mata Batin / Iblis
Popularitas:575
Nilai: 5
Nama Author: Juan Darmawan

Enam mahasiswa—Raka, Nando, Dimas, Citra, Lala, dan Novi—memutuskan untuk menghabiskan libur semester dengan mendaki sebuah bukit yang jarang dikunjungi di pinggiran kota kecil. Mereka mencari petualangan, udara segar, dan momen kebersamaan sebelum kembali ke rutinitas kampus. Namun, yang mereka temukan bukanlah keindahan alam, melainkan kengerian yang tak terbayangkan.

Bukit itu ternyata menyimpan rahasia kelam. Menurut penduduk setempat, kawasan itu dijaga oleh makhluk halus yang disebut “penunggu hutan”, sosok jin yang berwujud manusia tampan dan wanita cantik, yang gemar memperdaya manusia muda untuk dijadikan teman di alam mereka. Awalnya, keenamnya menertawakan cerita itu—hingga malam pertama di hutan tiba.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Juan Darmawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Malam Di Bukit Arga Dipa

Malam kedua di bukit Arga Dipa terasa berbeda — langit begitu jernih, nyaris tanpa awan. Cahaya jingga keemasan dari matahari yang belum sepenuhnya tenggelam memantul di permukaan kabut tipis yang melayang di lembah. Pemandangan itu membuat suasana di sekitar tenda terasa hangat, meski udara gunung mulai menggigit kulit.

Raka duduk di depan tenda sambil memanggang sosis di atas bara kecil dari ranting yang dikumpulkan Nando dan Lala.

“Gila, nih view keren banget. Kalau bukan karena suasananya agak creepy tadi, ini udah kayak camping di surga,” katanya sambil terkekeh.

Novi menatap langit, matanya berbinar.

“Lihat tuh, mataharinya kayak gak mau tenggelam. Udah jam tujuh tapi masih terang aja.”

Citra yang duduk di sebelahnya ikut menatap ke arah barat.

“Iya ya… padahal harusnya udah gelap. Di bawah sana, jam segini udah malam banget.”

Leo menghela napas pelan sambil memainkan batu kecil di tangannya.

“Mungkin karena kita di ketinggian, jadi cahaya matahari lebih lama kelihatan,” ujarnya berusaha menenangkan diri, meski matanya sempat menatap curiga ke arah langit yang keanehannya sulit dijelaskan.

Nando menambahkan ranting ke api unggun, lalu menatap ke arah pepohonan yang gelap di sisi jalur pendakian.

“Suasana kayak gini sebenarnya yang gue paling rindu terjadi di rumah gue tapi ya itu terjadi kalau bokap sama nyokap gue kalau lagi di luar kota jelas suasananya bukannya enak malah sepi,” ucap Nando yang kini duduk di dekat api unggun dengan wajah sedikit muram.

Teman-temannya tahu satu hal jika Nando sebenarnya begitu merindukan suasana kedamaian di rumahnya namun itu tidak pernah terjadi bahkan sejak ia masih kecil hingga sekarang

Raka menatap Nando lama, lalu meletakkan ranting yang tadi ia pegang. Suaranya pelan tapi tulus,

“Kadang rumah gak selalu soal tempat, Do… tapi soal siapa yang bikin lo ngerasa tenang di dalamnya.”

Nando tersenyum kecil, meski matanya menerawang menatap bara api yang berkilat lembut.

“Iya, mungkin lo bener. Tapi gue juga kadang pengen ngerasain gimana rasanya makan bareng tanpa harus denger orang ribut. Cuma pengen suasana kayak gini… tenang, gak ada teriakan.”

Lala yang duduk di sebelahnya ikut bicara dengan suara lembut,

“Mungkin di sini lo bisa ngerasain itu, Ndo. Walau cuma sementara. Gak apa-apa kan kalau bahagia sebentar?”

Walaupun Lala sebenarnya masih kepikiran dengan apa yang ia sudah lakukan dengan Nando.

Namun ia tak mau nampak memikirkan itu di depan Nando.

Nando menoleh, matanya menatap Lala sebentar, lalu mengangguk pelan.

“Iya, sementara juga gak apa-apa…”

Citra tersenyum kecil, berusaha mencairkan suasana.

“Eh, jangan mellow-mellow gini deh. Kita kan di gunung, bukan di sinetron. Nih, makan sosis dulu sebelum gosong,” ujarnya sambil mengulurkan tusukan sosis ke arah Nando.

Semua tertawa kecil. Suasana kembali hangat — api unggun memantulkan cahaya ke wajah mereka, membuat bayangan menari di sekitar tenda.

Tapi di tengah tawa itu, Leo kembali menatap ke arah hutan gelap di belakang. Ia mengernyit.

Sekilas, ia merasa melihat bayangan seseorang berdiri di balik pepohonan, menatap ke arah mereka tanpa bergerak.

Tatapan Leo mengeras, senyumnya perlahan hilang.

Namun sebelum ia sempat bilang apa-apa, angin berhembus pelan, membuat nyala api berkedip-kedip dan suara aneh seperti bisikan kembali terdengar di antara semak-semak.

Namun ia memilih untuk tetap diam agar tak membuat teman-temannya ketakutan.

Raka pun masuk ke dalam tenda beberapa menit kemudian ia keluar dengan sebuah ukulele di tangannya.

Raka pun masuk ke dalam tenda beberapa menit kemudian ia keluar dengan sebuah ukulele di tangannya.

“Wah, ternyata lo bawa ukulele juga, Rak?” seru Dimas heran, sambil menoleh dari arah api unggun.

Raka tersenyum sambil duduk di dekat api.

“Iya dong, buat hiburan. Masa di gunung cuma dengar suara jangkrik sama angin doang.”

Ia mulai memetik pelan senarnya. Nada-nada lembut langsung mengisi udara malam yang mulai dingin. Api unggun memantulkan cahaya jingga ke wajah mereka, membuat suasananya terasa hangat dan damai.

Citra bersandar di lututnya sambil berkata,

“Gue gak nyangka lo bisa main sehalus itu, Rak. Cocok banget buat suasana begini.”

Raka tersenyum tipis, matanya tak lepas dari ukulele.

“Dulu gue sering main ini buat nenangin adik gue kalo dia susah tidur… tapi udah lama gak gue mainin.”

Lala dan Nando saling pandang sejenak, lalu ikut terdiam mendengarkan.

Raka lalu mulai menyanyikan lagu pelan — nada yang terdengar sendu tapi menenangkan.

Citra pun mengangkat sosis bakar yang sudah matang sementara yang lain masih asik bernyanyi

“Woi, siapa mau sosis?!” seru Citra sambil mengangkat garpu besi yang ujungnya menusuk dua sosis gosong sebagian.

Leo langsung menoleh dan tertawa,

“Wah, akhirnyaaa! Gue udah nungguin dari tadi, Cit. Kirain lu bakar sosis atau batu, soalnya lama banget!”

“Dasar kelaperan,” jawab Citra, melempar satu ke arah Leo yang langsung ditangkap dengan refleks.

Raka masih asik memetik ukulele, sementara Dimas dan Novi ikut bernyanyi pelan mengikuti nadanya. Lala duduk bersandar di bahu Nando, tampak menikmati suasana hangat di tengah udara dingin gunung.

Api unggun menari-nari, memantulkan cahaya oranye di wajah mereka semua. Untuk sesaat, seolah tak ada rasa takut, tak ada suara aneh dari hutan — hanya tawa, musik, dan aroma sosis bakar yang mengisi udara.

***

Tak terasa kesenangan itu berlangsung beberapa jam hingga jam menunjukkan pukul sepuluh malam.

Saat Lala hendak masuk pertama kali ke dalam tenda tiba-tiba seseorang ular hitam pekat melintang di depan tenda

Lala langsung tertegun. Tubuhnya kaku, napasnya tercekat melihat ular besar berwarna hitam legam melintang tepat di depan pintu tenda. Kulitnya berkilau tertimpa cahaya api unggun, lidahnya menjulur-julur cepat, mengeluarkan suara sisshh… sisshh… yang membuat bulu kuduk berdiri.

“Na—Nando…” bisik Lala pelan tanpa berani bergerak sedikit pun.

Nando yang masih duduk di dekat api unggun spontan menoleh. Begitu melihat arah tatapan Lala, ia langsung berdiri.

“La, jangan gerak! Jangan panik!” katanya cepat sambil mengambil kayu panjang yang ujungnya masih menyala api.

Raka dan Leo yang melihat kejadian itu juga langsung mendekat dengan hati-hati.

“Gila… besar banget ularnya…” gumam Raka dengan nada tegang.

Ular itu kini mulai bergerak, melingkar pelan di depan tenda seolah menjaga pintu masuk. Matanya merah menyala ketika sinar api memantul ke arahnya.

“Kayaknya bukan ular biasa…” bisik Novi lirih, suaranya nyaris tak terdengar.

Nando mendekat perlahan sambil mengacungkan kayu api. Namun anehnya ular itu tidak menunjukkan perlawanan akhirnya Nando memukuli kepala ular itu hingga ular itu tewas.

Nando menatap tubuh ular besar itu yang kini terkulai di tanah. Nafasnya masih memburu, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Bau amis langsung menyebar ke udara, bercampur dengan aroma tanah basah dan asap api unggun yang tertiup angin malam.

“Ndo… lu serius ngebunuh itu ular?” tanya Leo pelan, masih tak percaya.

Nando tidak menjawab. Ia hanya berdiri diam, menatap bangkai ular itu yang perlahan-lahan mulai mengeluarkan cairan hitam pekat dari kepalanya.

Lala menutup mulut, nyaris muntah.

“Aduh, baunya… aneh banget, bukan kayak bau bangkai biasa.”

Raka ikut mendekat, menyorotkan senter ke arah ular itu — dan mereka semua serempak mundur.

1
Nụ cười nhạt nhòa
Belum update aja saya dah rindu 😩❤️
Juan Darmawan: Tiap hari akan ada update kak😁
total 1 replies
ALISA<3
Langsung kebawa suasana.
Juan Darmawan: Hahaha siap kak kita lanjutkan 😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!