Menjadi seorang koki disebuah restoran ternama di kotanya, merupakan sebuah kebanggaan tersendiri bagi Ayra. Dia bisa dikenal banyak orang karena keahliannya dalam mengolah masakan.
Akan tetapi kesuksesan karirnya berbanding terbalik dengan kehidupan aslinya yang begitu menyedihkan. Ia selalu dimanfaatkan oleh suami dan mertuanya. Mereka menjadikan Ayra sebagai tulang punggung untuk menghidupi keluarganya.
Hingga suatu hari, ia dipertemukan dengan seorang pria kaya raya bernama Daniel yang terkenal dingin dan kejam. Ayra dipaksa menjadi koki pribadi Daniel dan harus memenuhi selera makan Daniel. Ia dituntut untuk membuat menu masakan yang dapat menggugah selera Daniel. Jika makanan itu tidak enak atau tidak disukai Daniel, maka Ayra akan mendapatkan hukuman.
Bagaimana kah kisah Ayra selanjutnya?
Selamat membaca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu_ Melani_sunja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siapa Maya?
Bram terlihat sibuk dengan ponselnya, ia berulang kali mencoba untuk menghubungi seseorang.
Begitu juga Daniel, ia sibuk menghubungi pengacara senior ibunya untuk meminta bantuan, masalah kepengurusan perusahaannya.
Sedangkan Ayra, hanya bisa menatap ngeri kekacauan itu, tanpa bisa berbuat apapun.
Suasana pagi itu terasa begitu mencengkam, suara Steven yang terus berteriak memaki dan memanggil nama Daniel, berpadu dengan suara suara anak buahnya yang saling lawan. Keadaan itu membuat kemacetan parah jalanan menuju bandara.
Tidak ada yang berani mendekat, orang orang sekitar hanya memandang dari kejauhan, dan tak banyak dari mereka yang memilih untuk putar balik.
Hingga akhirnya, mobil kepolisian datang, membuyarkan Steven dan anak buahnya.
Mereka berhambur masuk ke dalam mobil dan pergi melewati mobil Daniel dengan kecepatan tinggi.
Saat berpapasan, Steven sempat menoleh menatap kaca jendela belakang tempat Ayra duduk.
Ayra hanya menunduk menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
***
"Tunggu di sini tuan, aku akan memeriksa anak buah ku yang terluka," kata Bram.
"Di depan ada polisi Bram! jangan macam-macam."
"Mereka aku yang menghubungi, aku juga sengaja memerintah anak buahku untuk tidak banyak melawan, sehingga di kaca mata polisi, tuan Steven lah yang bersalah," jawab Bram.
Daniel tersenyum bangga seraya berkata," Bagus Bram! Kamu memang selalu bisa diandalkan."
"Ini sudah kewajiban ku tuan!" balas Bram sambil melirik Ayra yang juga tengah memperhatikannya.
Bram keluar dari mobil, berlari kecil menghampiri beberapa anak buahnya yang babak belur untuk mengamankannya.
Setelah itu, ia berbincang sejenak pada polisi yang datang ke sana.
"Kami akan selidiki dan proses masalah ini pak Bram," ujar polisi tersebut.
"Terimakasih banyak, tapi sepertinya tidak perlu, ini hanya permasalahan kecil keluarga Alexander."
"Baik lah kalau begitu, kalau ada yang perlu kami bantu, jangan sungkan hubungi kami!"
"Baik pak polisi, sekali lagi terima kasih banyak sudah berkenan membantu."
"Sama sama pak Bram."
Bram memerintahkan anak buahnya untuk segera membawa mereka yang terluka ke rumah sakit. Sementara dirinya kembali ke mobil.
"Tuan, sebaiknya perjalanan anda harus di tunda dahulu untuk sementara waktu. Kalian akan ku bawa ke kampung halaman ibuku. Aku yakin di sana, tuan Steven tidak akan bisa mengikuti kita," ujar Bram ketika sudah berada di dalam mobil.
"Lalu bagaimana dengan urusan perusahaan, aku harus segera mengurusnya sebelum ayah ku benar benar berhasil menguasainya."
"Itu tidak akan terjadi tuan, selama tuan tidak tanda tangan, maka perusahaan itu akan aman."
"Baiklah Bram, aku percaya padamu."
Bram tersenyum, lalu tancap gas meninggalkan lokasi itu menuju kampung halamannya.
Butuh waktu sekitar 5 jam, untuk sampai di kampung halaman Bram yang terlihat masih sangat asri itu.
Ayra sangat menyukai suasana perkampungan itu, ia begitu menikmati perjalanannya.
Akhirnya, mereka sampai di rumah peninggalan ibu Bram. Rumah dengan dinding kayu dan memiliki halaman yang luas. Rumah itu terlihat sangat indah meskipun sederhana.
Bram turun, dan segera membukakan pintu untuk Daniel.
Ayra yang sudah tak sabar, segera turun. Ia hirup dalam dalam udara yang masih sangat sangat segar itu.
Daniel berjalan dipapah oleh Bram masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Ayra dan beberapa anak buah di belakangnya.
"Tuan, luka mu butuh perawatan, aku akan memanggilkan dokter untuk datang kemari," kata Bram sambil membimbing Daniel untuk duduk.
"Sepertinya lukaku infeksi lagi, karena terlalu ku paksakan untuk berjalan, Bram." jawab Daniel mengusap perlahan lukanya.
"Bagaimana dengan mu Ayra! apa lukamu juga butuh perawatan?" tanya Bram pada Ayra yang masih takjub menatap dapur tradisional milik mendiang ibu Bram.
"Hah...?! Tidak. Sepertinya luka ku sudah sembuh, tinggal menunggu kering."
Bram berjalan menghampiri, memeriksa perban yang membalut luka Ayra.
"Kamu juga akan mendapatkan perawatan, aku akan pergi memanggil dokter, sementara kamu dan tuan Daniel beristirahat lah!"
Ayra tersenyum, lalu mengangguk. Hatinya berbunga-bunga mendapatkan perhatian khusus dari Bram. Selama ini, ia jarang sekali bahkan hampir tidak mendapatkan perhatian dari suaminya.
Bram keluar rumah, sementara Ayra pergi membuka pintu belakang dapur.
Matanya terbelalak, melihat halaman belakang yang begitu hijau. Di sana banyak terdapat tanaman sayur mayur, kolam ikan dan juga ada ternak ayam kampung.
"Waaahhh...! Ini luar biasa sekali, ini indah...!"
ucapnya kagum.
"Tapi, bukan nya rumah ini sudah lama kosong? kok masih terlihat sangat bersih dan rapi? Seperti ada yang mengurusnya?!" ujarnya lagi.
Ayra tak sengaja menoleh ke kandang ayam, ta sengaja ia melihat seorang wanita sedang membersihkan kandang.
Ayra mendekat dan menyapanya.
"Permisi...!"
Wanita muda dengan rambut kepang itu menoleh.
"Eh...ada tamu ya?" wanita itu keluar kandang, mencuci tangan lalu segera menyalami Ayra.
"Kamu pasti temannya mas Bram?" tebaknya.
"Iya, kamu...? Kamu siapanya Bram?"
Wanita itu mengulurkan tangannya, seraya tersenyum.
"Kenalin...! Aku Maya. Istrinya mas Bram."
"Degh...!" tiba tiba tubuh Ayra membeku, dingin menatap kedua mata wanita yang menyebut dirinya adalah istri dari Bram.
"Hey...! Kok bengong?" ujar Maya.
"Ohh enggak, emmm...aku Ayra, koki pribadi tuan Daniel."
"Ohh jadi kamu kokinya tuan Daniel?? Waahh kamu beruntung banget bisa jadi koki pribadinya."
Ayra mengulas senyum. Ia kembali mengerenyit, menatap jemuran pakaian anak perempuan yang berjajar rapi di tali jemuran.
"Jangan jangan, Bram juga sudah punya anak? Kok dia gak cerita kalau dia udah punya istri sih, padahal dia sangat sempurna, tapi sayang..." batinnya.
"Mari masuk, akan ku buatkan minuman," ajak Maya membuyarkan lamunan Ayra.
"Ehh Maya tunggu!"
"Ada apa??"
"Kalian sudah punya momongan ya?"
Maya menunduk, seperti tak nyaman jika disinggung masalah anak.
"Sudah...!" Jawabnya.
Ayra menghela nafas sedikit kecewa, namun sengaja ia sembunyikan. Ia berjalan mengikuti mata masuk kedalam rumah.
Ayra duduk di kursi kayu sederhana yang ada di dapur. Matanya terus menelusuri bangunan rumah yang sederhana namun terlihat nyaman itu.
"Kalian terluka?" tanya Maya sambil menuangkan air panas ke dalam gelas.
"Iya, ada kecelakaan kecil kemarin."
"Ohh... Sebentar ya, aku beri teh ini pada tuan Daniel dahulu."
Maya berjalan membawa teh hangat untuk Daniel, ia menatap Daniel yang terbaring di kursi.
"Tuan, ini teh nya...!"
Daniel menoleh menatapnya sekilas, tanpa berniat untuk menyapanya.
"Taruh saja di meja!" ujarnya singkat.
"Baik...!"
Dari arah dapur, Ayra menatap mereka.
"Mereka kok terlihat canggung seperti itu? Sepertinya mereka saling kenal, tapi ada sesuatu yang membatasi mereka," gumamnya.
"Ahhh...! Semenjak kenal dengan tuan Daniel aku jadi ikut banyak berfikir yang bukan bukan!" ucapnya pada dirinya sendiri.
Maya kembali ke dapur, matanya terlihat berkaca-kaca.
"Kamu kenapa Maya? Kamu menangis?"
"Ah tidak, aku tadi kelilipan."
"Ohh...!"
Tak lama, Bram datang membawa seorang dokter untuk mereka.
Dokter itu langsung memeriksa luka Daniel dan membersihkannya.
Bram berjalan menghampiri Ayra yang sedang mengobrol dengan Maya.
"Lukamu juga harus di periksa!" ujar Bram sambil meraih tangan Ayra.
Ayra terkejut, ia menarik tangannya kembali lalu melirik Maya. Ia merasa tak enak hati pada Maya.
"Aku, aku bisa jalan sendiri!" ucapnya sambil berjalan menghampiri dokter dan Daniel.
Bram menghela nafas, melirik Maya sekilas lalu beralih pergi menyusul Ayra.
"Kok mereka aneh sekali? Seperti bukan suami istri?" batin Ayra yang sempat melirik gerak gerik Maya dan Bram.