NovelToon NovelToon
Cinta Monyet Belum Usai

Cinta Monyet Belum Usai

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / CEO / Teman lama bertemu kembali / Office Romance / Ayah Darurat / Ibu susu
Popularitas:6.4k
Nilai: 5
Nama Author: Ly_Nand

Sequel "Dipaksa Menikahi Tuan Duda"
Cerita anak-anak Rini dan Dean.

"Papa..."
Seorang bocah kecil tiba-tiba datang memeluk kaki Damar. Ia tidak mengenal siapa bocah itu.
"Dimana orangtuamu, Boy?"
"Aku Ares, papa. Kenapa Papa Damar tidak mengenaliku?"
Damar semakin kaget, bagaimana bisa bocah ini tahu namanya?

"Ares..."
Dari jauh suara seorang wanita membuat bocah itu berbinar.
"Mama..." Teriak Ares.
Lain halnya dengan Damar, mata pria itu melebar. Wanita itu...

Wanita masa lalunya.
Sosok yang selalu berisik.
Tidak bisa diam.
Selalu penuh kekonyolan.
Namun dalam sekejab menghilang tanpa kabar. Meninggalkan tanya dan hati yang sulit melupakan.

Kini sosok itu ada di depannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ly_Nand, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

24. Apa—an sih ‘Sayang-sayang’?

Suasana ruang tengah keluarga Ardhana tetap riuh oleh obrolan tiga manusia yang baru berkumpul setelah bertahun-tahun. Wulan dan Stasia larut dalam nostalgia; cerita demi cerita tentang masa SMP mengalir begitu saja. Damar, entah kenapa, tampak tak terlalu antusias menyahuti, ia hanya sesekali berdehem sambil asyik memainkan jari-jari Stasia yang sejak tadi ia genggam.

“Bulan depan bendahara kelas kita nikah. Kamu harus datang. Siapa tahu bisa jadi kejutan buat teman-teman sekelas,” ujar Wulan bersemangat.

“Aku malu ketemu mereka,” jawab Stasia pelan.

“Kenapa malu? Kita datang bareng. Aku mau buktikan yang aku bilang kemarin — Bimo masih gamon sama kamu.” Wulan terkekeh.

“Bimo siapa?” potong Damar, nada suaranya penuh selidik.

“Ups, salah ngomong,” Wulan cepat-cepat menutup mulutnya, sementara Stasia menarik napas panjang. Ia masih merasa aneh dengan Damar yang biasa bersikap dingin kini justru sering berganti sikap:menjadi manja, perhatian lalu posesif.

“Bimo siapa, Lan?” Damar menatap Wulan, jari-jarinya tak lepas dari tangan Stasia.

“Teman sekelas kita dulu, iya kan, Stac?” Wulan meyakinkan, dan Stasia hanya mengangguk tipis.

“Stacy sekarang kalem banget, nggak kayak dulu yang kadang rame dan berisik,” Wulan mencoba mengalihkan pembicaraan agar suasana tetap ringan.

Damar mencondongkan badan, matanya menatap dalam ke wajah Stasia. “Wulan benar. Aku perhatikan sejak pertama kita bertemu di perusahaan, aku merasa banyak yang beda dari kamu. Ada yang mengganggu pikiranmu?” tanyanya lembut sambil mengusap pipi Stasia.

Stasia tersenyum, tapi di balik senyum itu ada beban yang tak mudah dihapus. Kehidupan keluarganya yang berantakan telah mematangkan dia; bahkan kepulangannya ke Indonesia sudah pasti akan membuka lagi luka lama yang selama ini dia tutupi. Lebih rumit lagi, sumber luka itu pernah ia lihat di tempat kerjanya. Meski hanya sebentar dan tanpa ada tegur sapa, tapi ia tahu besar kemungkinan baginya untuk bertemu lagi dengan orang itu — dan ia harus menyiapkan diri menerima sakit yang sulit untuk sembuh.

Wulan seolah mengerti situasi. Ia tahu Stasia tak mudah terbuka, akan lebih baik baginya untuk pergi dan membiarkan mereka berbicara dari hati ke hati. “Kayaknya aku pamit dulu ya. Aku lama banget ninggalin Dilan, aku mau lihat dia sebentar,” pamit Wulan, memberi ruang bagi Damar dan Stasia.

Setelah Wulan pergi, ruang itu terasa lebih intim namun hening — hanya mereka berdua - Damar yang terus memandang pada Stasia yang justru merasa canggung..

“Ares di mana?” tanya Stasia, mencoba merapikan suara supaya terdengar biasa.

“Ares sudah tidur. Sepertinya dia sangat lelah,” jawab Damar.

“Terima kasih sudah baik pada Ares,” Stasia menatapnya, suara lembut.

“Dia penting di hidupmu, jadi dia juga penting di hidupku,” jawab Damar mantap.

Stasia menunduk. “Dam… bisakah kamu berhenti bersikap seperti ini? Aku… aku takut.”

“Apa yang kamu takutkan?” Damar menangkup pipi Stasia penuh kelembutan, tatapannya menyejukkan. “Stacy yang aku kenal itu wanita hebat — berani, berisik, gak takut mengejar apa yang dia mau. Sekarang yang kulihat justru berbeda. Kamu lebih sering pasrah, menyembunyikan lelah dan sakitnya sendiri. Tolong, jangan terus-terusan keras pada dirimu sendiri. Ada aku. Ada Ares. Sejak dulu kamu nggak pernah mau bagi bebanmu. Di hadapanku… kamu boleh lelah. Kamu boleh menangis. Aku akan jadi sandaranmu. Kalau butuh uluran tangan, kedua tanganku ini siap.”

Air mata akhirnya mengalir deras di pipi Stasia. Sejak dulu ia selalu menemukan rasa aman pada Damar — meski sikapnya dingin, ada sisi hangat yang membuatnya tenang. Kini, setelah melewati hal-hal besar dan sampai kehilangan sandaran, dukungan itu terasa seperti obat sekaligus pengingat luka.

“Aku…” Stasia tersedu, suaranya tercekat. Kenangan dan beban menekan tenggorokannya; kata-kata tak mudah keluar.

Damar menariknya erat. “Menangislah kalau perlu. Tapi ingat—bahuku selalu siap jadi sandaranmu.” Suaranya tegas namun lirih, seperti janji yang tak tergoyahkan.

Air mata Stasia jatuh tanpa henti, membasahi bahu tempat ia bersandar. Sejak kecil hidup tak pernah berpihak padanya. Hubungan Orang tuanya penuh kekacauan dan membuatnya tak pernah merasakan kasih sayang mereka. Dunia kecilnya selalu sepi, kecuali satu hal—sosok kakak yang menjadi pelindung, teman berbagi luka, satu-satunya alasan ia bertahan.

Namun setahun lalu, sosok itu direnggut darinya. Cahaya yang dulu menerangi jalannya padam begitu saja, meninggalkan Stasia sendirian menantang kerasnya dunia. Saat itulah ia benar-benar merasa, hidup ini kejam dan tak pernah adil.

Sekuat tenaga ia terus berjalan, menutupi rapuhnya dengan senyum, menahan sesak di dada agar tak terlihat. Tapi kini, dalam pelukan Damar, semua dinding itu runtuh. Hatinya ingin berteriak, ingin bercerita, ingin melepaskan beban yang selama ini ditahannya. Namun bibirnya kelu. Sesak itu menyesakkan dada, tapi tak menemukan jalan keluar dalam kata.

Hanya tangisnya yang berbicara.

Damar merengkuhnya lebih erat, seakan berkata tanpa suara: biarkan aku jadi sandaranmu, biarkan aku menanggung sebagian sakitmu. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Stasia membiarkan dirinya rapuh, membiarkan air mata membawa pergi luka yang tak pernah sanggup ia ucapkan.

Tanpa mereka sadari, sosok paruh baya berdiri tak jauh dari mereka sambil berusaha menahan air mata yang akhirnya tetap jatuh membasahi pipi. Ia melangkah pergi, tak tahan melihat rasa sedih yang terlihat dari Stasia.

Setelah lama menangis, Stasia perlahan melepaskan pelukan Damar.

“Maaf,” bisiknya pelan.

“Untuk apa?” Damar agak bingung.

“Pakaianmu basah.” Jawab Stasia, nada setengah kesal tapi juga canggung.

Damar terkekeh. “Biar basah pun aku nggak masalah. Yang penting kamu merasa lebih baik, aku rela.” Ia mengusap lembut pipi Stasia, menghapus sisa-sisa air mata. “Dengar, mulai sekarang kalau ada yang membuatmu sedih atau sakit, bilang saja. Aku akan ada.”

“Aku masih kesal sama kamu,” Stasia menegaskan, menahan sisa amarah yang belum luruh.

Damar mengerutkan dahi. “Masih kesal karena urusan di parkiran mall tadi atau ada yang lain?”

Stasia mengangguk. “Itu juga termasuk. Salah sendiri kamu yang langsung berpikir yang enggak-enggak.”

Damar menempelkan senyum nakal. “Wah, calon istriku ternyata pendendam.”

“Siapa yang calon istrimu?” Stasia menyingkirkan muka, jelas kesal.

“Kamu, dong. SIapa lagi? Seharian ini aku sering panggil kamu calon istri—masak nggak nyadar juga?” Damar pura-pura tak berdosa.

“Aku kan nggak bilang mau jadi calon istrimu ataupun pacarmu.”

“Nggak perlu bilang. Aku yakin kamu juga mau.” Damar makin pede.

“Ih… PD banget, Pak CEO.” Stasia mengomel, setengah kesal setengah terhibur.

“Harus dong. Kalau soal masa depan, harus yakin.” Ekspresi Damar tiba-tiba berubah jadi serius gemas. “Tapi tunggu—soal Bimo tadi. Siapa dia? Maksudnya kenapa dia ‘gamon’ sama kamu?”

“Ah, itu bukan siapa-siapa. Teman sekelas aja.” Stasia menarik napas. “Aku capek, mau istirahat. Kamu juga bikin aku nangis tadi.”

“Kok aku yang bikin nangis?” Damar pura-pura tak terima.

“Kamu nggak sadar. Dari dulu kamu selalu bikin aku mudah nangis.”

Damar berpikir sebentar, lalu menjawab ringan, “Bener juga. Tapi perlu diluruskan: aku nggak ‘bikin’ kamu nangis. Kamu aja yang gampang nangis kalau aku ada di dekat kamu.”

Stasia mengerut, “Masalahnya kamu selalu datang pas aku mau nangis.”

“Ya sudah. Mulai sekarang aku janji bakal sering bikin kamu tertawa—supaya kamu gak berfikir aku cuma jago bikin kamu nangis.”

“Memangnya kamu bisa?” Stasia menatap skeptis. “Kamu kan kutub utara—dingin semua.”

“Aku bisa kok. Demi kamu, aku bisa jadi apa pun. Badut dadakan? Bisa. Suami setia? Apalagi bisa.” Damar mendekat, wajahnya serius bercampur manja.

“Gombal.” Stasia menepis, tapi suaranya melembut.

“Bukan gombal, sayang…” Damar menggoda, dan membuat wajah Stasia semakin memerah seperti tomat karena kaget dan malu sekaligus.

“Apa—an sih ‘Sayang-sayang’?”

1
Erna Fadhilah
kirain Stacy dulu pergi tiba-tiba karna di jodohkan oleh mamanya atau dia udah tidur sama Damar dan dia menghindari Damar
Erna Fadhilah
sangat sangat sangat banyak kan malah
Erna Fadhilah
menang di Damar kalau posisinya kaya gitu 😁😁
Nittha Nethol
lanjut kak.jangan pakai lama
Sri Wahyudi
lanjud kak
Erna Fadhilah
asiiik 😂😂😂skrg gantian Damar yang ngejar Stacy ya😄😄
Erna Fadhilah
pada shock semua ini denger Ares manggil Damar dengan panggilan papa 😁😁
Erna Fadhilah
kamu ikuti aja Stacy nan pas akhir pekan biar kamu tau siapa orang yang di panggil sayang sama Stacy
Erna Fadhilah
Stacy bingung dia mau sama Ares tp di suruh sama Damar ketemu mama Rini
Erna Fadhilah
kirain tidur di kamar di dalam ruangan Damar 😂😂
Erna Fadhilah
tenang res sebentar lagi kamu bakal punya papa yang bakal sayang sama kamu
Erna Fadhilah
jangan jangan orang yang di maksud Stacy itu pak hadi sama hana 🤔🤔
Erna Fadhilah
yang di panggil sayang sama Stacy itu Ares ponakannya bukan orang special lainnya Dam 🤦‍♀️😁
Erna Fadhilah
makanya Dam ingat kata mama Rini ya kamu jangan gedein gengsi nanti bakal nyesel baru tau rasa
Erna Fadhilah
kirain wulan atau ayu eeeh ternyata mama Rini yang masuk ruangan Damar
Erna Fadhilah
siapa tu yg datang, wulan atau ayu kah🤔🤔
Sri Wahyudi
lanjud kak
Erna Fadhilah
begitu Damar masuk langsung liat pemandangan yang buat dia kebakaran
Erna Fadhilah
hana PD sekali mengaku calon istri Damar, masih untung Damar ga langsung ngomong sama para karyawan kalau hana bukan calon istrinya, kalau sampai itu terjadi bisa malu pakai banget pasti
Erna Fadhilah
aku seruju banget kalau wulan sama Andre
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!