Shanum dan Wira Wiguna sudah menikah selama 6 tahun dan memiliki seorang anak bernama Mariska namun kebahagiaan mereka harus diuji saat Niar, mertua Shanum yang sangat benci padanya meminta Wira menikah lagi dengan Aura Sumargo, wanita pilihannya. Niar mau Wira menikah lagi karena ingin memiliki cucu laki-laki yang dapat meneruskan bisnis keluarga Wiguna. Saat itulah Shanum bertemu Rivat, pria yang membuatnya jatuh cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Hanya Ingin Tenang
Shanum berdiri mematung di lobi rumah sakit yang kini sudah sepi. Suara sirene mobil polisi sudah menghilang, namun ancaman Niar masih terngiang jelas di telinganya. Hatinya terasa pedih, perih, dan hancur. Ia tidak mengerti mengapa Niar begitu membencinya, padahal ia hanya ingin hidup damai.
Shanum terisak dalam derai air mata setelah Niar dibawa pergi. Wajahnya basah, bahunya bergetar, dan tangisnya pilu. Rivat, dan beberapa perawat yang masih berada di sana, hanya bisa menatapnya dengan penuh simpati. Rivat mendekat, tangannya dengan lembut mengusap punggung Shanum.
"Sudah, Shanum. Dia sudah pergi," bisik Rivat, suaranya mencoba menenangkan.
Namun, Shanum tidak bisa berhenti menangis. Hatinya pedih dan sakit karena Niar masih saja memusuhinya. Rasa sakit itu bukan hanya karena ancaman Niar, tetapi juga karena ia tidak bisa memahami kebencian Niar. Ia sudah mencoba segala cara untuk menjauh, namun Niar terus saja mengejarnya.
"Kenapa, Mas? Kenapa dia begitu membenciku?" isak Shanum, suaranya parau. "Apa salahku? Aku tidak pernah mengganggunya. Aku hanya ingin hidup tenang."
Shanum tak mau hidup dalam drama tak berkesudahan. Ia sudah lelah, sangat lelah. Ia hanya ingin Mariska tumbuh dengan damai, tanpa harus diliputi rasa takut. Ia ingin hidup tenang, tanpa harus dikejar-kejar oleh Niar.
Rivat tahu Shanum tidak akan bisa tenang jika ia tidak memberinya dukungan. Ia menatap Shanum, lalu mengeluarkan sebungkus tisu dari sakunya. Dengan lembut, Rivat menyodorkan tisu untuk Shanum.
"Ini," ucap Rivat. "Hapus air matamu. Jangan biarkan dia menang. Kamu harus kuat. Kamu punya Mariska."
Shanum mengambil tisu itu, namun ia terus menangis. Shanum terus berderai air mata sambil menyeka air mata yang terus mengalir di pipinya. "Aku lelah, Mas Rivat. Aku sangat lelah," bisiknya.
Wira, yang mendengar percakapan itu, merasakan hatinya hancur. Ia tahu Shanum benar. Perbuatannya dan keluarganya telah menghancurkan hidup Shanum. Ia maju, ingin mengatakan sesuatu.
"Shanum... aku..."
Namun Shanum tidak menoleh. Ia hanya menatap Rivat, seolah hanya Rivat yang bisa mengerti perasaannya.
"Aku akan selalu ada untukmu, Shanum," ucap Rivat, suaranya penuh ketulusan. "Kamu tidak sendirian."
Kata-kata Rivat terasa menenangkan, namun hati Shanum masih terasa pedih. Meskipun Niar sudah ditangkap, Shanum tahu ini bukanlah akhir dari semuanya. Niar tidak akan pernah berhenti. Dan ia, Shanum, harus terus berjuang untuk hidupnya dan putrinya.
****
Di dalam ruang interogasi kantor polisi, Niar duduk dengan wajah dingin dan angkuh, seolah-olah ia tidak melakukan kesalahan apa pun. Tak lama kemudian, pintu terbuka. Di sana, berdirilah seorang pengacara senior keluarga Wiguna, Pak Bima. Niar tersenyum sinis, ia tahu ia akan segera bebas.
"Jangan khawatir, Nyonya," bisik Pak Bima. "Semua sudah kami urus."
Pengacara Niar sibuk melakukan negosiasi dengan kepala polisi, menawarkan uang dan janji-janji yang menggiurkan. Mereka memanipulasi bukti, menekan para saksi, dan membuat cerita palsu. Kasus penembakan di rumah sakit dan kebakaran di desa dikesampingkan, seolah-olah semua itu hanyalah kecelakaan.
Setelah beberapa jam, Niar dibebaskan. Ia keluar dari ruangan interogasi dengan wajah yang dipenuhi senyum kemenangan. Kepala polisi hanya bisa menunduk, merasa frustrasi dan tidak berdaya. Ia tahu Niar bersalah, namun karena kekuatan uang dan pengaruh keluarga Wiguna, ia tidak bisa berbuat apa-apa.
"Hukum tidak bisa menjerat Nyonya Wiguna," bisik kepala polisi itu pada bawahannya. Lagi dan lagi, Niar bebas dari jerat hukum.
Niar melangkah keluar dari kantor polisi dengan langkah yang angkuh. Ia menatap matahari sore, senyumnya semakin lebar. Ia merasa tak terkalahkan. Ia merasa bahwa ia adalah ratu, dan tidak ada yang bisa menyentuhnya.
"Kau pikir kau bisa mengalahkan aku, Shanum?" gumam Niar pada dirinya sendiri. "Tidak akan pernah!"
Dendamnya pada Shanum belum usai, justru semakin membara. Setelah semua yang terjadi, Niar semakin yakin bahwa Shanum adalah sumber dari semua masalahnya. Ia tidak akan berhenti sebelum Shanum lenyap dari muka bumi ini.
Di dalam mobil, Pak Bima menatap Niar. "Nyonya, saya mohon, jangan lagi melakukan hal nekat seperti itu. Ini bisa merusak reputasi keluarga anda."
Niar tertawa sinis. "Reputasi? Selama Wira ada di tangan kita, reputasi tidak akan pernah hancur. Lagipula, aku tidak akan pernah membiarkan wanita itu menang. Aku masih akan membuat Shanum menderita dan lenyap dari muka bumi ini."
Pak Bima hanya bisa menghela napas panjang. Ia tahu ia tidak bisa melawan Niar. Niar sudah menjadi iblis yang dipenuhi dendam. Setelah mengantar Niar ke rumah, Pak Bima segera mengundurkan diri. Ia tidak bisa lagi bekerja dengan Niar. Ia tidak bisa lagi melindungi monster.
Di sisi lain, Niar kembali ke rumah dengan senyum puas. Ia tidak tahu, ia akan mendapatkan balasan yang jauh lebih besar dari semua yang ia perbuat. Balasan itu tidak datang dari hukum, melainkan dari takdir. Dan takdir, jauh lebih kejam dari apa pun.
****
Helmi duduk di ruang kerjanya, memijat pelipisnya yang berdenyut. Kabar tentang bebasnya Niar dari jerat hukum, lagi-lagi, membuatnya putus asa. Ia tak habis pikir dengan istrinya yang bisa bebas lagi dari hukum. Perbuatan Niar sudah terlalu jauh, melampaui batas kewarasan. Helmi tahu, ia tidak bisa membiarkan ini berlanjut. Niar bukan hanya membahayakan orang lain, tetapi juga dirinya sendiri.
Helmi bangkit dari kursinya, tangannya gemetar saat meraih telepon. Ia tak tahan lagi dengan Niar. Ini harus dihentikan. Dengan berat hati, ia menelpon sebuah rumah sakit jiwa, meminta bantuan. "Saya ingin melaporkan istri saya. Dia sudah tidak waras. Tolong... tolong bawa dia."
Beberapa jam kemudian, sebuah mobil putih terparkir di halaman rumah. Dua orang perawat berbadan tegap turun dari mobil. Mereka masuk, dan Helmi menunjuk ke arah kamar Niar. Niar, yang melihat mereka, langsung berteriak histeris.
"Siapa kalian?! Pergi dari sini! Helmi, apa yang kau lakukan?!" bentak Niar, matanya melotot.
"Niar, tenanglah. Ini yang terbaik untukmu," ucap Helmi, mencoba menenangkan.
"Yang terbaik?! Kau memanggil orang gila untuk menangkapku?! Kau gila, Helmi!" teriak Niar, ia meronta.
Para perawat mencoba mendekat, namun Niar terus melawan. Niar meronta kemudian ia mendorong Helmi dengan sekuat tenaga. Helmi, yang tidak siap, kehilangan keseimbangan. Ia terhuyung mundur, lalu jatuh berguling di tangga. Tubuhnya ambruk, kepalanya membentur anak tangga dengan keras. Seketika, ia tak sadarkan diri.
Para perawat terkejut, namun mereka segera memprioritaskan Niar. Niar tidak peduli. Ia menatap Helmi yang tergeletak di bawah, matanya dipenuhi kebencian.
"Rasakan itu! Kau pikir kau bisa mengurungku?! Tidak akan pernah!" teriak Niar.
Perawat yang satu segera memeriksa kondisi Helmi, sementara yang lain mencoba menenangkan Niar. Namun Niar tidak bisa ditahan. Niar tak merasa bersalah, ia justru merasa menang. Dengan langkah angkuh, ia keluar dari rumah itu, meninggalkan Helmi yang tidak sadarkan diri.
"Hahahaha!" Ia malah tertawa membahana, tawa yang dingin dan menakutkan. Ia merasa sudah membalaskan dendamnya. Ia merasa tidak ada yang bisa mengalahkannya. Niar tidak tahu, ia sudah berada di ambang kehancuran. Dan kehancuran itu, bukan datang dari orang lain, melainkan dari dirinya sendiri.