“Aku dibesarkan oleh seorang wanita yang tubuh dan jiwanya hancur oleh dunia yang tak memberinya tempat. Dan kini, aku berdiri, tak hanya untuk ibuku… tapi untuk setiap wanita yang suaranya dibungkam oleh bayangan kekuasaan.”
Mumbai, tengah malam. Di ruang pengadilan yang remang. Varsha memandangi tumpukan berkas-berkas perdagangan manusia yang melibatkan nama-nama besar. Ia tahu, ini bukan hanya soal hukum. Ini adalah medan perang.
Di sisi lain kota, Inspektur Viraj Thakur baru saja menghajar tiga penjahat yang menculik anak-anak perempuan dari desa. Di tangannya, peluru, darah, dan dendam bercampur menjadi satu.
Mereka tidak tahu… bahwa takdir mereka sedang ditulis oleh luka yang sama–dan cinta yang lahir dari pertempuran panjang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MOM MESS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jalan Sendiri-sendiri.
Jauh di pedalaman gurun Dubai, berdiri sebuah bangunan besar nan gelap, menyerupai benteng modern dengan arsitektur asing: perpaduan gaya timur tengah dan barat yang mewah namun menciptakan aura menyeramkan. Markas itu tersembunyi dari pantauan publik, bahkan dari satelit biasa.
Di sekelilingnya berdiri menara pengawas, puluhan pria bersenjata lengkap dengan wajah-wajah tanpa ekspresi. Sebagian mengenakan rompi pelindung, sebagian lainnya berjaga di balik senjata berat. Di dalam, lorong-lorong panjang mengarah pada banyak ruangan rahasia. Salah satunya adalah kamar tempat Mahi dan Billu di sekap.
Kamar itu luas, lantainya berlapis karpet tebal, ranjang empuk, boneka berjejer di rak, dan lampu gantung di tengah ruangan. Tapi bagi dua gadis itu, kamar itu tidak seperti kurungan emas—melainkan kenyamanan yang mencekam.
Mahi duduk meringkuk di pojok ruangan, wajahnya sembab, mata bengkak karena menangis tiada henti. Billu duduk tak jauh darinya. Ia mencoba menjaga ketenangan, tapi jelas terlihat ketegangan di wajahnya.
Billu mendekat pelan, lalu duduk di sebelah Mahi.
“Apa kamu lapar?” tanya Billu pelan.
Mahi menggeleng sambil menutup wajahnya.
Billu menarik napas. “Namaku Billu. Siapa nama mu?”
Mahi mengangkat wajahnya perlahan. “Mahi...”
Billu tersenyum tipis. “Aku tahu kamu takut. Tapi kita harus kuat. Kita akan keluar dari sini.”
Mahi mengangguk kecil. “Aku... mau ketemu ayah...”
“Aku juga. Ketemu ayah, ibu, adikku, dan juga keluargaku. Tapi sekarang... kita harus sabar dulu. Kita berdoa saja yang terbaik... Tuhan pasti akan mengirimkan seseorang untuk membawa kita keluar dari sini."
Mahi menatap Billu. Tak banyak kata yang bisa mereka ucapkan karena bahasa mereka berbeda. Tapi entah mengapa, ada getaran kepercayaan tumbuh di antara mereka. Dua gadis asing yang dipaksa bersama oleh takdir kejam.
Tiba-tiba terdengar suara pintu berderit.
Mahi langsung memeluk Billu erat. Dua pria bertubuh besar membuka jalan. Lalu, masuklah Devraj. Seperti biasa mengenakan jas gelap, tersenyum seperti malaikat tua, namun sorot matanya tajam seperti pisau beracun.
Di tangannya, sebuah nampan besar berisi makanan mewah—ayam panggang, nasi berbumbu, buah segar, dan beberapa kue. "Selamat pagi. Apa tidur kalian puas semalam?" ucap Devraj dengan suara tenang. "Kemarin pelayan ku mengatakan kalau kalian tidak mau memakan makanan yang ku berikan. Apa itu benar?"
Mahi menyembunyikan wajahnya di balik bahu Billu. Billu tetap diam, matanya waspada. Devraj meletakkan nampan tersebut di meja. Ia duduk di samping ke dua gadis itu.
"Katakan saja padaku jika makanan itu kurang enak. Aku akan menggantinya dengan makanan yang jauh lebih enak."
Mereka hanya diam. Billu masih memeluk Mahi sambil menunduk ketakutan.
"Mahi... Lihat ini." Devraj mengeluarkan boneka kelinci putih. “Mainan baru. Kau mau?"
Mahi melirik sebentar. Kecintaannya pada boneka membuat pandangannya teralihkan. "Kemari lah, Nak." Mahi seperti terhipnotis. Ia perlahan mendekati Devraj. Billu sadar dan segera menarik tangannya. "Jangan percaya padanya Mahi. Dia hanya ingin menyakitimu!"
Mahi yang polos hanya diam, dan kembali meringkuk. Devraj kesal. Ia terdiam sesaat, lalu mengerutkan kening. Wajahnya berubah. Ia menatap tajam ke arah Billu.
Tanpa peringatan, PLAKK!—tamparan keras mendarat di pipi Billu. Tubuhnya terlempar ke kasur.
“Beraninya kau sebut aku pembohong?” lirih Devraj pelan.
Devraj mendekat, lalu mencekik leher Billu yang masih terbaring di kasur. Billu mulai kesulitan bernafas. Mahi menangis dan berteriak, “Jangan sakiti dia! Tolong jangan sakiti Kak Billu!”
Devraj terdiam. Perlahan, ia melepaskan cekikannya dan mengatur napas. Ia menoleh ke Mahi, lalu berlutut di hadapannya.
"Maafkan aku Mahi sayang..." ucapnya lembut, "... aku berjanji tidak akan menyakitimu. Aku akan memberikan segalanya yang kau inginkan. Kau ingin makanan enak? Mainan? atau pakaian? Akan aku berikan. Tapi... Kau harus jadi anak baik yang nurut dengan perintah ku."
Mahi mengusap air matanya. Dengan suara pelan, ia bertanya, “Aku mau ketemu ayah...” Devraj tersenyum kecil, lalu menyentuh kepala Mahi. "Maafkan aku. Untuk itu aku tidak bisa memberikannya. Tidak untuk hari ini. Dan... Tidak untuk selamanya."
Ia lalu menoleh ke pelayan wanita yang berdiri di luar pintu. "Bawa baju-baju itu masuk."
Beberapa pelayan masuk membawa hanger berisi gaun-gaun anak kecil nan indah. Selain pakaian untuk Mahi, Devraj juga sudah menyediakan pakaian untuk Billu. Pelayan yang di tunjuk, adalah pelayan yang di minta untuk mengurus segala kebutuhan Mahi dan Billu. "Bersyukurlah, karena Mahi... Kau masih selamat. Aku tau Mahi akan merasa kesepian dan membutuhkan teman bermain." Devraj lalu berjalan keluar. Di depan pintu ada dua pria dengan senjata api sudah siap.
"Dengarkan aku. Viraj adalah orang yang tidak gampang menyerah. Dia akan melakukan apapun untuk Mahi. Lakukan sesuai perintah ku. Aman kan ruangan ini, dan perketat penjagaan. Tidak ada satu pun yang boleh mendekati Mahi tanpa seizin ku. Jika ada yang melanggar langsung bunuh saja orang itu."
Pintu kembali ditutup rapat. Suara kunci dikunci terdengar menggema. Hening kembali menyelimuti ruangan.
Billu perlahan bangkit, menahan rasa sakit di pipinya yang memar. Ia menoleh ke Mahi dan tersenyum meski kesakitan.
"Kau baik-baik saja?"
Mahi mengangguk, lalu memeluk Billu.
Billu membalas pelukan itu, dan berkata, “Kita tidak tau apa yang sedang orang itu rencanakan. Jadi jangan mudah percaya hanya karena dia memberikan mu makanan enak atau pun boneka. Kau mengerti?"
"Mengerti kakak."
Dua gadis yang belum saling kenal lebih dari sehari kini saling menggenggam tangan. Tak ada yang lebih menyatukan selain rasa takut, dan harapan untuk pulang.
...----------------...
Hari demi hari berlalu di panasnya kota Dubai, namun pencarian itu seperti berjalan dalam kabut yang tak menepi.
Viraj, Varsha, dan Naashir telah menyisir hampir seluruh sudut kota—dari pusat perbelanjaan, pelabuhan barang, terminal bawah tanah, hingga pemukiman padat di pinggiran kota. Setiap wajah asing mereka tanya, setiap kamera pengawas mereka kejar, dan setiap petunjuk sekecil apa pun mereka telusuri. Tapi hasilnya nihil. Tak ada tanda-tanda Mahi.
Wajah Viraj mulai kuyu. Matanya cekung karena tak tidur berhari-hari. Sesekali ia memeluk jaket kecil Mahi yang selalu dibawanya, seolah mencium aroma putrinya bisa memberi sedikit harapan untuk tetap bertahan.
Di sisi lain, Jay juga bergerak. Ia telah melepas tugasnya sebagai inspektur sementara, menolak duduk diam di balik meja kerja yang tak memberi jalan keluar. Jay lebih memilih turun langsung ke jalan. Ia mendatangi teman-teman Billu, mengecek rekaman kamera di setiap titik yang dilewati putrinya, bahkan menyelusup ke bar-bar dan klub malam yang kemungkinan disinggahi oleh jaringan perdagangan manusia.
Dan tak jarang, takdir mempertemukan mereka di satu tempat.
Suatu malam, di pelabuhan tua yang sudah hampir mati, Viraj dan Jay bertemu. Di tempat remang-remang penuh aroma laut basi dan karung rusak, keduanya hanya saling menatap sekilas.
Namun Jay hanya menoleh sekilas. Dingin. Mata yang dulu penuh ketegasan polisi kini tertutup kabut ego dan kemarahan. Viraj mengepalkan tangan, menahan marah. Tapi Varsha lebih dulu menggenggam lengannya, menahan gejolak emosinya.
Begitu terus selama beberapa hari. Mereka kerap bertemu di tempat yang sama, dengan tujuan yang sama—namun tidak pernah benar-benar bersama. Jay menolak setiap tawaran bantuan dari Naashir. Ia lebih memilih berjalan sendirian, seperti menanggung beban yang tak bisa dibagi.
Sementara waktu terus berjalan, dan kedua anak itu... entah berada di mana.
jangan lupa mampir ya kak...