Suara Dari Bayangan
Angin pagi menyelinap melalui celah-celah jendela reyot di sebuah rumah kecil di pinggiran Mumbai. Suara teriakan memecah keheningan—bukan dari pasar atau anak-anak yang bermain, melainkan dari dalam dapur tempat seorang wanita kurus tengah tersungkur.
"Berapa kali harus kubilang, jangan jatuhkan cangkir itu, pelacur miskin!"
Craaakk!
Sebuah piring pecah menghantam dinding, terbang dari tangan pria bertubuh besar.
Varsha, gadis kecil berumur sembilan tahun, bersembunyi di balik pintu dapur. Matanya membelalak menyaksikan ibunya—Saraswati—ditampar, ditendang, bahkan diseret oleh majikannya sendiri. Ini bukan pertama kalinya. Namun setiap kali luka itu berdarah, setiap kali ibunya memaksa tersenyum saat menatapnya, Varsha merasa seakan dunia ini memang tak diciptakan untuk mereka.
"Varsha, tutup matamu... jangan lihat, Nak..." ucap Saraswati, pelan namun lemah. Tapi Varsha tak menutup matanya. Ia menatap, mencatat, dan mengingat kejadian itu.
Malam itu, Varsha duduk di pojokan kamarnya, menahan tangis. Ia menyentuh pipinya yang lembab, lalu membuka buku usang satu-satunya—kamus bahasa Inggris. Kata yang ia baca malam itu:
“Justice (n): the quality of being fair and reasonable.”
“Keadilan… Ibu bilang itu hanya milik orang kaya. Tapi Varsha akan mencurinya… untukmu, Bu.”
...***...
Keesokan harinya, langit pinggiran kota masih abu-abu pagi itu. Varsha berlari-lari kecil melewati jalanan tanah becek, membawa sebuah buku tulis lusuh yang digenggam erat di dadanya. Ia baru saja mencuri waktu sebentar dari tugas dapur untuk pergi ke sekolah kampung—tempat ia tidak terdaftar secara resmi, tapi diam-diam diperbolehkan duduk di luar jendela dan menyimak. Ia duduk bersila di luar ruangan, membisu. Tapi matanya tak pernah lepas dari papan tulis. Dari balik jendela, seorang pria paruh baya memperhatikannya. Guru Mahesh, kepala sekolah yang dikenal keras namun adil. Hari itu, ia menghentikan pelajaran dan berjalan keluar ruangan.
“Kau ingin belajar?” tanyanya tegas.
Varsha mengangguk ragu, menggigit bibir.
“Anak pembantu tidak dilarang menuntut ilmu di sini,” katanya pelan. “Tapi kau harus bersedia bekerja lebih keras dari siapapun.”
Mata Varsha membelalak. Dunia seperti terbuka sedikit baginya.
Setiap pagi buta, Varsha mencuci, menyapu, dan memasak. Setelah tugas rumah selesai, ia berlari ke sekolah. Sepulang sekolah, ia membantu ibunya bekerja, lalu belajar di bawah lampu minyak kecil.
Hinaan terus berdatangan.
“Anak pembantu mau jadi pengacara?” ejek anak-anak kampung lain.
Tapi Varsha hanya diam, menyerap semua luka sebagai bahan bakar tekadnya.
...****************...
Suatu hari, saat ia berusia 16 tahun, ibunya jatuh sakit parah. Gaji tidak ada, tabungan pun nihil. Varsha hampir menyerah. Tapi Mahesh datang ke rumah mereka. “Aku sudah mendaftarkan mu untuk beasiswa hukum ke kota. Surat panggilanmu ada di sini,” katanya, menunjukkan amplop. Varsha tak bisa berkata apa-apa. Kabar itu membuat Saraswati terharu. Dia memeluk Varsha, dan mencium keningnya. "Setelah ini, belajarlah yang rajin. Agar kelak, kau tidak menjadi wanita seperti ibu." Mata Varsha sayu. Dia langsung memeluk ibunya. "Aku berjanji ibu. Aku berjanji... Kelak, tidak ada lagi wanita yang di perlakukan seperti ibu, " batin Varsha.
Malam sebelum keberangkatannya ke Delhi, Varsha duduk di sisi ranjang ibunya. “Ibu ingin ikut ke kota,” kata Saraswati pelan.
“Tapi... tubuh ibu sudah sangat lelah, Nak, " sambungnya pelan.
"Varsha... Suatu hari nanti, jangan jadi suara kecil seperti Ibu. Jadilah suara yang didengar oleh dunia, "
"Belajarlah yang rajin, kejar mimpi mu. Sebab... Di dunia ini selain agama, attitude, pendidikan, dan karir. Tidak ada yang bisa menyelamatkan hidup para wanita, "
"Varsha mengerti?" Varsha hanya mengangguk pelan. Saraswati tersenyum sambil mengusap rambut panjang Varsha.
Pagi harinya, sebelum Varsha berangkat. Ia mendapati kabar duka. Ia baru menyadari. Nasihat yang Saraswati berikan semalam, adalah nasihat terakhir. Proses pemakaman hanya di lakukan sederhana. Karena selain kurangnya biaya, warga di sana masih memandang kasta. Proses pemakaman hanya di bantu oleh sang guru—Mahesh dan keluarga Mahesh. "Ibu. Maafkan aku. Sebelum keadilan di tegakkan. Sebelum para wanita mendapatkan hak nya. Aku tidak akan menaburkan abu mu, ibu." Batin Varsha, sembari meletakkan kendi abu ibunya ke dalam koper. Walau sedang berduka, Varsha tetap berangkat ke Delhi. Dengan mata sembab dan dada remuk, Varsha naik bus ke kota besar, membawa satu koper berisi baju, sebuah foto ibunya, kendi abu ibunya, dan selembar surat beasiswa. Sekali lagi, ia berjanji pada ibunya. Sambil menatap langit abu-abu di balik jendela bus. Bahwa kematian ibunya tidak akan sia-sia. Dia akan berjuang untuk memberikan keadilan pada ibunya, dan seluruh wanita lemah.
...****************...
Delhi menyambut Varsha dengan hiruk pikuk yang asing dan menggigit. Bangunan menjulang tinggi, klakson tak henti, dan lautan manusia yang berjalan cepat, seolah waktu di sini tak pernah memberi jeda untuk bernapas. Varsha berdiri terpaku di depan Kampus Fakultas Hukum Universitas Ambedkar, koper kecil di tangan, rambut dikepang sederhana, dan sandal usang di kaki. Ia terlihat seperti butiran pasir di tengah lautan beton.
"Nama?" tanya seorang petugas resepsi saat ia hendak masuk ke ruang asrama.
"Varsha Mehra," jawabnya pelan.
Petugas itu mengangkat alis, lalu melihat daftar beasiswa. Setelah mengecek, ia menyerahkan kunci kamar dengan tatapan heran, “Anak pembantu bisa masuk ke sini, ya?”
Ucapan itu menyayat, tapi Varsha hanya tersenyum kecil. Ia sudah terlalu terbiasa diremehkan. Ia lalu di antarkan ke sebuah kamar yang sudah di sediakan. Di sana dia tidak sendiri, ada beberapa gadis yang kuliah di sana juga.
Kuliah dimulai dengan atmosfer asing dan bahasa Inggris hukum yang terdengar seperti mantra. Ia tertinggal dalam diskusi, tersesat dalam perdebatan. Tapi setiap malam, ia membuka kamus, menghafal istilah, dan mendengar rekaman kuliah hingga larut. Teman-teman sekamarnya adalah anak-anak elite—anak hakim, jaksa, dan pengusaha. Mereka mencibir, mengomentari pakaiannya, baunya, dan kebiasaannya menyalakan dupa sebelum belajar. Tapi Varsha tak goyah. Ia tahu siapa dirinya. Dia ingat akan nasihat ibunya, untuk terus belajar mengejar mimpinya. Karena kelak saat dia berhasil, akan ada wanita yang membutuhkan namanya sebagai pelindung.
Suatu malam, ia mengikuti seminar hukum di luar kampus, tempat para aktivis membahas kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga dan trafficking perempuan desa ke kota.
Salah satu pemimpin seminar berkata, “Di kota ini, perempuan kelas bawah tidak hanya kehilangan upah — mereka kehilangan tubuhnya, kehormatannya, bahkan hidupnya. Tapi siapa yang peduli? Tak ada pengacara yang mau ambil kasus kotor seperti ini.” Varsha terdiam. Ia mengepal tangannya. Ia perlahan mulai paham. Jika dia sukses, itulah yang akan menjadi medan perannya nanti. Tanpa jawaban, dan ucapan sepatah kata pun. Varsha kembali mendengarkan pembahasan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Doni Nanang
keren lanjutkan..
jangan lupa mampir ya kak...
2025-06-20
0
satya
Good job👍🔥
2025-06-20
0
Yeonjun’s wife
LANJUT PLEASE
2025-06-20
0