NovelToon NovelToon
Red Thread

Red Thread

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Seiring Waktu / Wanita Karir / Trauma masa lalu / Office Romance / Ibu susu
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: About Gemini Story

Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk melupakan—terutama bagi Althea Reycecilia Rosewood, wanita dewasa berusia 27 tahun berparas cantik, dibalut pakaian casual yang membuatnya terlihat elegan, tatapan lembut dengan mata penuh kenangan. Setelah lama tinggal di luar negeri, ia akhirnya kembali ke Indonesia, membawa harapan sederhana 'semoga kepulangannya tak menghadirkan kekecewaan' Namun waktu mengubah segalanya.

Kota tempat ia tumbuh kini terasa asing, wajah-wajah lama tak lagi akrab, dan cerita-cerita yang tertunda kini hadir dalam bentuk kenyataan yang tak selalu manis. Namun, di antara perubahan yang membingungkan, Althea merasa ada sesuatu yang masih mengikatnya pada masa lalu—benang merah yang tak terlihat namun terus menuntunnya kembali, pada seseorang atau sesuatu yang belum selesai. Benang yang tak pernah benar-benar putus, meski waktu dan jarak berusaha memisahkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon About Gemini Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Guncangan Phoenix

Pagi hari setelah ulang tahun Al yang penuh kehangatan dan perasaan tak terucap, suasana mansion terasa lebih tenang. Baby Cio baru saja tertidur kembali setelah menyusu, dan Thea sedang duduk santai di ruang tengah sambil memangku tablet-nya, melihat ulang desain perhiasan koleksi terbaru Phoenix. Di sisi lain, Al baru selesai menerima panggilan telepon dari Arga, asistennya. Wajahnya mengeras, lalu menoleh ke arah Thea.

“Thea... kita harus ke kantor. Ada masalah,” ujar Al serius, suaranya berat dan tegang.

Thea langsung duduk tegak. “Masalah apa?”

Masalahnya besar. Salah satu investor utama proyek Phoenix, yaitu Langston Group dari Swiss, baru saja menyampaikan keberatan resmi melalui email dan panggilan telepon karena mendapati desain utama Phoenix ‘Aurum Vita’ yang akan menjadi centerpiece di pameran internasional ternyata mirip secara signifikan dengan desain dari rumah perhiasan Valmont Jewels di Prancis—yang kebetulan baru mempublikasikan prototipe mereka di Paris dua minggu sebelumnya.

Padahal, desain Thea sudah terkunci dan diajukan enam minggu lebih awal. Namun sayangnya, prototipe Thea belum dirilis ke publik karena sistem dokumentasi internal MS Corp mengalami error dan keterlambatan approval di departemen legal.

“Mereka menuduh kita menjiplak, Thea. Dan kamu tahu, kalau kita gagal meyakinkan mereka—proyek ini bisa dicabut dukungannya. Nama kita rusak,” ujar Al.

Thea menggertakkan giginya. “Aku yang desain itu. Aku tahu persis inspirasi dan struktur desainnya. Bahkan aku punya semua sketsa tangan dan referensinya. Tapi kalau prototipe kita belum masuk sistem... mereka tak akan percaya begitu saja.”

Tanpa pikir panjang, Al langsung menghubungi sopir dan memanggil tim keamanan untuk menjaga mansion serta Baby Cio, sementara mereka berdua bersiap ke kantor. Di dalam mobil, suasana tegang. Thea memutar ulang semua ingatannya soal proses desain Phoenix, mulai dari inspirasi batu matahari kuno dari Peru, struktur geometri simetris dan teknik ukir mikro yang ia terapkan secara spesifik. Ia sangat yakin ini bukan plagiarisme. Tapi sekarang masalahnya adalah pembuktian.

Sesampainya di Kantor MS Corporation — Jakarta HQ, pukul 21.47 WIB

Gedung masih gelap sebagian, hanya lantai direksi dan divisi desain yang masih menyala. Arga sudah menunggu mereka di lobi bersama kepala divisi legal, Clara Halim, serta dua orang dari tim dokumentasi.

“Ada yang parah, Pak. Sistem internal kita sempat crash dan banyak file approval desain Phoenix—termasuk milik Bu Thea—nggak tercatat di jalur legal resmi. Sekarang Valmont sudah menyebar pernyataan publik bahwa desain mereka mirip dengan yang bocor dari MS Corp. Mereka menuduh kita mencuri.”

Al mengepalkan tangan. “Kita nggak mungkin mencuri! Kami buat itu dengan kepala dan tangan kami sendiri!” serunya dengan dingin.

Thea langsung membuka file di tabletnya, memperlihatkan semua sketsa tangan, notes pribadi, voice memo, serta draft desain 3D pertama yang ia buat. Bahkan ada stempel waktu dari software desain yang membuktikan semuanya dimulai jauh sebelum Valmont merilis prototipe.

“Ini bukan cuma soal bisnis. Ini soal kehormatan seorang desainer,” ujar Thea pelan, namun tajam.

Investigasi Internal Dimulai, Clara dan tim legal segera menyiapkan dokumen pembuktian, sementara Arga menyarankan konferensi darurat via Zoom dengan Langston Group malam itu juga. Tim IT berjibaku memulihkan metadata file lama dari server backup. Thea dan Al menyiapkan argumen, mencocokkan timeline pembuatan dengan bukti digital yang dimiliki.

Al menarik napas panjang di ruang kerjanya, lalu menatap Thea. “Kalau saja aku lebih tegas pada sistem approval dan teknis, ini nggak akan terjadi. Aku terlalu percaya mereka.”

Thea menggeleng. “Kita bisa atasi ini. Tapi kita harus bersatu dan buktikan semuanya. Aku tidak akan biarkan orang menghancurkan proyek ini hanya karena sistem error dan permainan politik.”

Malam itu, mereka bekerja berdampingan seperti dulu lagi. Al dengan ketegasannya sebagai CEO, dan Thea dengan kejernihan pikirannya sebagai desainer utama. Di tengah kelelahan, mereka saling percaya dan saling menatap, seperti mengingat kenapa mereka memulai semua ini bersama.

Masalah Phoenix belum selesai, tapi mereka memilih untuk tidak lari. Mereka memilih untuk berdiri bersama, sekali lagi.

♾️

Lampu-lampu di ruang rapat lantai 21 kantor MS Corp menyala terang. Layar besar menampilkan wajah-wajah dari Langston Group, dipimpin oleh direktur kreatifnya, Mdm. Elise Duval, serta dua penasihat hukum. Di sisi lain layar, muncul pula perwakilan Valmont Jewels, yaitu Charles Émeric Valmont—desainer sekaligus CEO rumah perhiasan eksklusif dari Prancis itu.

Aleron duduk di tengah, mengenakan setelan abu arang dengan dasi longgar. Wajahnya tegang namun tenang. Di sebelahnya, Thea mengenakan blazer hitam sederhana, rambutnya disanggul rapi meski matanya terlihat lelah. Di antara mereka berdiri Clara dari legal dan Arga dari manajemen proyek.

Elise Duval memulai, suaranya dingin, “Mr. Moonstone, Miss Rosewood, kami menerima laporan dari Valmont Jewels bahwa desain Anda—Aurum Vita—memiliki kemiripan struktural dan filosofis yang sangat signifikan dengan desain mereka yang baru dirilis di Paris. Anda tahu betapa seriusnya tuduhan ini dalam dunia perhiasan kelas atas.”

Charles Valmont menimpali, “Kami tidak menuduh sembarangan. Kami memiliki bukti bahwa desain kami telah disiapkan selama lebih dari empat bulan, dan rancangannya muncul ke publik lebih dahulu dibanding MS Corp. Bahkan media Paris sudah meliput dua minggu lalu.”

Al membuka mikrofon. Suaranya tenang tapi mengandung tekanan, “Saya tidak akan membantah bahwa rancangannya memang memiliki kemiripan, namun bukan karena kami menjiplak. Kami memiliki bukti lengkap—dari sketsa tangan, hingga file desain digital—yang menunjukkan desain kami sudah ada enam minggu sebelum Valmont mempublikasikan apapun.”

Thea melanjutkan dengan memproyeksikan seluruh rangkaian bukti ke layar. Sketsa awal lengkap dengan tanggal dan tinta asli. Draft 3D dari software CAD dengan timestamp metadata. Voice note dirinya sendiri merekam ide tentang filosofi desain ‘kehidupan yang terlahir dari abu’, yang jadi ciri khas Phoenix. Log email ke divisi legal dan desain internal yang tertahan akibat error sistem 4 minggu lalu. Thea menatap langsung ke arah layar. Wajahnya tenang namun tegas:

“Saya seorang desainer, bukan penjiplak. Dan saya bersumpah demi kehormatan saya, bahwa karya ini lahir dari tangan saya sendiri. Sayangnya, sistem perusahaan kami sempat gagal, dan proses legalisasi internal desain mengalami delay. Tapi itu tidak mengubah fakta bahwa desain ini adalah milik saya—bukan milik Anda, Tuan Valmont.”

Hening sejenak.

Valmont menyipitkan mata. “Menarik. Tapi dunia tak hanya percaya kata-kata. Ini soal reputasi.”

Al langsung menjawab tajam, “Dan kami siap bertarung untuk itu. Jika perlu, kami akan bawa ini ke pengadilan desain internasional, termasuk meminta pendapat pihak ketiga independen untuk melakukan analisa arsitektur desain dan proof of originality. Kami juga akan bawa kasus ini ke media, dengan seluruh bukti yang kami miliki.”

Elise dari Langston Group akhirnya angkat tangan, mencoba menengahi. “Kami tidak ingin konflik terbuka. Tapi kami juga tidak bisa mendukung proyek yang reputasinya diragukan. Kami beri waktu 48 jam kepada MS Corp untuk menyerahkan seluruh dokumentasi secara resmi dan menyampaikan kronologi teknis yang bisa divalidasi. Jika tidak, kami akan tarik dana dan membatalkan kontrak Phoenix.”

Al mengangguk, nada suaranya kembali tenang, “Kami akan kirimkan semua bukti malam ini. Dan Anda akan tahu siapa yang benar.”

Setelah rapat — Pukul 01.30 dini hari

Ruang rapat sunyi. Thea duduk di kursi, memijat pelipis. Al berjalan menghampirinya, lalu duduk di kursi sebelah.

“Aku benci ini terjadi padamu. Padahal ini desain yang paling kamu banggakan…” ucap Al, menatap ke depan.

Thea menatap kosong. “Aku bisa tahan kalau cuma dituduh... Tapi aku nggak tahan kalau karyaku diragukan. Apalagi oleh orang-orang yang nggak tahu perjuangan dibaliknya.”

Al menunduk. “Thea... aku janji, kita akan bersihkan nama kamu. Kita akan selamatkan Phoenix.”

Thea menoleh ke arahnya, mata mereka bertemu. Ada luka di balik sorot matanya, tapi juga kekuatan.

“Kita akan hadapi bersama, Al.”

Dan Al tahu... malam itu bukan hanya tentang menyelamatkan proyek. Tapi tentang membuktikan bahwa kepercayaan yang dulu retak bisa dibangun kembali—dengan kebenaran dan keberanian.

♾️

Malam itu udara di Jakarta terasa lebih sunyi dari biasanya. Langit mendung menggelayut berat, seolah ikut menyimpan beban pikiran Althea. Di ruang tengah mansion, lampu-lampu remang kekuningan menciptakan suasana hangat namun sarat keheningan. Baby Cio baru saja terlelap dalam dekapannya, setelah disusui dan dinyanyikan lagu nina bobo dalam bisikan nyaris tak bersuara.

Thea duduk di sofa panjang, masih mengenakan blouse satin putih susu dan celana rumah berbahan linen lembut. Rambutnya diikat seadanya, mata terlihat lelah tapi pikirannya justru penuh. Di sampingnya, Al baru menutup laptop setelah panggilan video dengan tim Prancis berakhir. Ekspresinya serius.

“Berarti kita harus ke Prancis sesegera mungkin, Thea. Aku nggak bisa serahkan ini ke tim bawah,” ucapnya tenang, tapi tegas. “Kalau logam itu nggak diganti sebelum jadwal tahap final, semua desainmu bisa rusak.”

Thea mengangguk perlahan, menggigit bibirnya. Matanya terarah pada pintu kamar Baby Cio, yang kini sudah tertutup. Suasana hening sejenak sebelum ia bersuara, suaranya pelan—penuh keraguan.

“Kalau kita ke Prancis... Cio bagaimana?” Ia menatap Al, ada kegamangan dalam sorot matanya.

“Aku nggak tega ninggalin dia. Tapi kalau dia ikut, aku takut nggak bisa fokus kerja. Aku... aku nggak mau dia merasa diabaikan.”

Al menarik napas dalam. Ia mendekat, lalu duduk berhadapan dengannya. Kedua tangannya menggenggam jemari Thea yang dingin.

“Thea, kamu ibu yang luar biasa. Dan kamu nggak harus memilih antara jadi profesional dan jadi ibu. Kita bisa lakukan keduanya, asal bersama.”

Thea menunduk, matanya mulai berkaca. Ia mengusap sudut matanya cepat-cepat. “Aku takut dia kecapekan, takut ritme-nya terganggu. Cio baru stabil pola makannya. Dia baru mulai nyaman di sini...”

“Mommy dan daddy sekarang lagi di Italia. Aku bisa minta mereka terbang ke Prancis. Mereka pasti senang banget bisa bantu jagain Cio selama kita kerja. Mama bahkan udah lama minta waktu lebih banyak bareng Cio, kan?” suara Al lembut dan meyakinkan.

“Kita akan siapkan semua. Jet pribadi, nanny, dokter pendamping kalau perlu. Dan kita akan tetap pegang kendali sebagai orang tuanya. Kamu tenang aja ya.”

Thea terdiam. Perlahan ia mengangguk, pelan namun pasti. Ada sedikit senyum di sudut bibirnya, tipis tapi mengandung kelegaan. Matanya masih lembap, tapi kali ini karena haru, bukan cemas.

“Terima kasih... karena kamu selalu tahu caranya membuat semuanya terasa mungkin.”

Al mencium punggung tangannya lama. “Karena kamu rumahku, Thea. Kamu dan Cio.”

Dan di tengah malam yang perlahan menjadi subuh, keputusan besar itu diambil—bukan hanya untuk menyelamatkan proyek Phoenix, tapi juga sebagai langkah baru dalam hidup mereka sebagai keluarga kecil yang perlahan tumbuh dalam cinta dan keberanian.

♾️

Pagi itu langit Jakarta masih teduh dengan kabut tipis yang mengambang di sela-sela jendela kaca besar kamar utama mansion. Suara kicau burung dan sinar matahari yang menelusup lembut di sela tirai menjadi latar pagi yang sibuk namun tetap hangat.

Al sudah bangun lebih dulu dari Thea. Ia sedang duduk di kursi dekat jendela, mengenakan kemeja santai dan celana panjang linen, sambil menatap layar ponsel yang memuat video call dengan wajah kedua orang tuanya. Wajah hangat Mariana Moonstone muncul di layar, berdampingan dengan Harry Moonstone yang sedang duduk di teras villa keluarga mereka di Tuscany, Italia. Keduanya tampak lebih muda dari usia mereka, auranya tenang dan elegan—mewakili warisan keluarga Moonstone yang tak hanya kaya akan bisnis, tapi juga kelembutan dalam keluarga.

“Mom, Dad… sepertinya kami harus segera ke Prancis. Ada masalah serius di proyek Phoenix, dan aku butuh Thea untuk turun langsung,” ucap Al dengan nada serius namun tetap tenang.

Wajah Mariana di layar langsung berubah prihatin. “Apa masalahnya, sayang? Jangan terlalu membebani Thea, dia baru saja menstabilkan ritmenya sebagai ibu untuk Cio.”

Al menghela napas sejenak, lalu menjelaskan, “Ada dugaan pencurian desain yang mirip dengan koleksi utama Thea untuk pameran internasional. Klien besar kami di Prancis mulai meragukan orisinalitas konsep karena ada bocoran draft awal yang tersebar di pasar gelap.”

Harry ikut angkat bicara dengan nada tenang namun tegas, “Kamu harus selesaikan ini dengan tenang dan profesional, Al. Tapi jaga Thea. Jangan sampai dia terpukul… ini pasti berat untuknya.”

“Aku tahu, Dad. Karena itu kami tidak akan meninggalkan Baby Cio di Jakarta. Tapi Thea masih ragu, dia takut tidak bisa fokus kalau harus bawa Cio,” jawab Al sambil menoleh sebentar ke arah tempat tidur, di mana Thea masih terlelap memeluk Baby Cio yang meringkuk di pelukannya.

Mariana tersenyum, lalu berkata, “Kalau begitu biarkan kami ke Prancis. Kami bisa bantu jagain Cio saat kalian bekerja. Aku juga ingin bertemu cucu tampanku itu.”

Al tersenyum lega. “Thanks, Mom… itu akan sangat berarti untuk kami.”

“Oh, sayang! Akhirnya kami lihat juga cucu tampan ini,” seru Mariana, matanya membulat penuh takjub ketika Al mengarahkan kamera ke arah Baby Cio yang saat itu sedang digendong Althea, mengenakan piyama kuning pastel dan masih mengisap jempolnya dengan mata setengah terpejam.

“Dia mirip kamu waktu bayi—lihat itu rambutnya, awut-awutan tapi ekspresinya serius. Bibirnya sangat mirip dengan Althea”

“Tentu saya Cio anak kami,” jawab Al bangga, tangannya memegang kamera lebih dekat ke wajah Baby Cio.

Thea masih duduk di sofa, menatap layar dengan gugup dan sopan. Mariana langsung memanggil, “Althea sayang… akhirnya aku bisa lihat wajahmu lagi.”

“Selamat pagi, Aunty Mariana… Uncle Harry,” Thea menyapa ragu tapi hangat.

“Jangan 'Aunty', sayang. We’re family now,” ucap Mariana tegas namun manis. “Dan… oh, Tuhan, kamu benar-benar mommy yang hebat. Lihat cara kamu menggendongnya.”

Thea tersenyum kecil, tapi dalam hatinya ada perasaan hangat yang meluap tiba-tiba. Itu pertama kalinya seseorang dari keluarga Al menyapanya seperti itu… sebagai bagian dari mereka.

“Maaf kami belum bisa hadir waktu semua ini terjadi,” ucap Harry.

Thea mengangguk, mencoba tersenyum. “Kami tidak menyangka semuanya akan secepat ini. Tapi… saya takut membawa Cio jauh-jauh.”

Mariana memotong dengan lembut, “Dan kamu takut tidak bisa menjaga semuanya bersamaan, ya?”

Thea menatap layar, sedikit terkejut karena Mariana bisa membacanya dengan begitu tepat.

“Tidak apa-apa takut, Thea,” lanjut Mariana. “Menjadi ibu bukan soal sempurna. Tapi tahu kapan meminta bantuan. Kami akan segera ke Prancis. Kami akan bantu kalian.”

Al meraih tangan Thea dan meremasnya. “I told you. They’ve been waiting to see Cio.”

Harry menambahkan, “Aku tidak sabar menggendongnya langsung. Jangan ragu-ragu. Abercio Nathaniel Moonstone adalah cucu kami.”

Mata Thea berkaca-kaca. Entah karena lega, rindu, atau rasa yang selama ini tak bisa ia beri nama. Tapi pagi itu, Thea merasa… untuk pertama kalinya, ia tidak hanya menjadi ‘ibu dari Cio’, tapi juga diterima sebagai seseorang yang layak disayangi, dilindungi, dan disambut sebagai bagian dari keluarga Moonstone.

Setelah video call berakhir, Al memeluk Thea erat di ruang tamu.

“Kamu nggak sendiri. Kita bukan cuma bertiga lagi. Kita punya tempat untuk pulang.”

Dan hari itu mereka mulai persiapan keberangkatan ke Prancis—bukan hanya untuk menyelamatkan proyek, tapi juga untuk menyatukan hati-hati yang selama ini terluka. Kini, keluarga kecil mereka akan segera bertemu dengan akar yang lebih besar—akar yang bisa menahan mereka tetap kuat… dan utuh.

Beberapa jam kemudian, rumah mulai ramai. Nanny khusus Baby Cio membantu menyiapkan semua kebutuhan bayi: koper kecil berisi baju hangat, mainan, peralatan menyusui, hingga kursi bayi dan stroller yang bisa dilipat. Dokter pribadi yang biasa menangani Baby Cio juga dikabari untuk memberikan vitamin tambahan sebelum penerbangan jauh.

Al sudah menghubungi tim keamanan pribadi dan memastikan jet pribadi mereka tersedia sore ini. Di ruang tamu, koper besar dan kecil mulai ditumpuk. Thea sibuk memeriksa ulang barang-barang Baby Cio, mulai dari botol steril, krim bayi, tisu basah, sampai buku cerita kesukaan Cio.

Al menenangkan suasana, memastikan semua berjalan tanpa panik. Ia tetap menjaga Thea agar tidak terlalu stres, sesekali menggoda Baby Cio yang sudah ganti baju dengan setelan hangat kecil bergambar beruang.

“Saya sudah cek ulang dokumen perjalanan kita,” kata Al sambil menyerahkan paspor pada stafnya.

“Pastikan tempat tidur khusus bayi sudah tersedia di kabin. Penerbangan panjang… Cio harus tetap nyaman.”

Sebelum berangkat, mereka makan siang bersama di ruang makan besar. Meja penuh dengan masakan kesukaan Thea dan Al. Baby Cio duduk di kursi makan bayinya, memandangi orangtuanya yang terlihat sedikit lelah namun saling menguatkan.

Sore itu, keluarga kecil itu bersiap ke bandara pribadi. Al memeluk bahu Thea erat saat mereka melangkah keluar mansion, sementara Baby Cio tertidur pulas di gendongan Thea. Dengan hati yang berdebar dan pikiran penuh rencana, mereka pun bersiap menghadapi krisis di Prancis — bersama, sebagai satu keluarga.

1
Stella
Bagus banget, jadi mau baca ulang dari awal lagi🙂
About Gemini Story: wahhh terimakasih kak 🤗 sehat selalu ya kak🤗
total 1 replies
Jena
Ga nyesel banget deh kalo habisin waktu buat habisin baca cerita ini. Best decision ever!
About Gemini Story: wahh terimakasih kak 🤗 aku seneng ada yang suka sama cerita aku hehe ☺️ sehat dan bahagia selalu ya kak 🤗
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!