Hanya berjarak lima langkah dari rumah, Satya dan Sekar lebih sering jadi musuh bebuyutan daripada tetangga.
Satya—pemilik toko donat yang lebih akrab dipanggil Bang... Sat.
Dan Sekar—siswi SMA pecinta donat strawberry buatan Satya yang selalu berhasil merepotkan Satya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfaira_13, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Jalan Pulang
Hari mulai gelap saat keduanya berjalan berdampingan di jalanan menuju rumah. Lampu-lampu di tepi jalan mulai dinyalakan satu-persatu.
"Eumm.... makasi ya, Kar!" Kata Satya membuka obrolan. Ia menggendong Nero dengan hati-hati di pangkuan-nya. Langkahnya terlihat lambat, agar seimbang dengan langkah Sekar di sampingnya.
Sekar mengerutkan dahinya, menatap Satya dengan heran. "Kenapa harus bilang makasi?"
Satya tersenyum tipis. "Ya gua bilang makasi karena lo selalu terima permintaan maaf gua."
Sekar melirik Satya sebentar, lalu memandang lurus ke depan. "Gua mau terima semua permintaan maaf lo, selama lo juga mau bantuin gua"
"Dih, mana ada ceritanya begitu!" Satya mencibir. Tapi, senyum kecil muncul di sudut bibirnya.
"Ya adalah!" sahut Sekar ingin merasa benar. Ia menunduk, memandang jalan yang dilaluinya.
Mereka terus melangkah menyusuri jalan menuju rumahnya. Meski tak ada kata diantara keduanya. Tapi mereka sama-sama tahu, perasaan keduanya setara. Bukan tentang Satya yang selalu membantu Sekar—dan bukan pula tentang Sekar yang selalu memberi ruang maaf untuk Satya. Tapi tentang keduanya yang memang saling ada ketika dibutuhkan.
Satya melirik tubuh Sekar yang lebih pendek darinya, menarik napas pelan. Suaranya berubah menjadi lebih halus. "Gua gak akan pernah ninggalin lo sendirian, Kar."
Sekar mengangkat kepalanya, menatap Satya yang masih setia memandangnya. Langkah keduanya berhenti. "Gak akan pernah gua biarin lo merasa sendiri disaat lo butuh bantuan," sambung Satya.
Entah mengapa jantung Sekar berdetak lebih cepat tak karuan, berbicara romantis tiba-tiba, siapa yang tidak gugup?.
Sekar tertawa pelan, sadar jika adegan seperti ini seharusnya tidak terjadi diantara keduanya. "Harusnya, lo bilang hal romantis ke pacar lo! Bukan ke gua!"
"Tapi gua maunya bilang sama lo, bukan ke cewek lain," balas Satya setengah bercanda.
Keduanya diam sesaat, menciptakan momen hangat di bawah langit yang mulai menunjukkan tanda-tanda malam. Lampu-lampu rumah mulai menyala. Anak-anak komplek yang sebelumnya bermain di luar, kini sudah kembali ke dalam rumahnya. Sekar yang merasa gugup mendengar penuturan Satya kembali mencairkan suasana. Ia kembali berjalan pelan, menyembunyikan rona merah samar di pipinya. Berusaha bersikap tenang, padahal dalam hatinya ia merasa tak sanggup lagi berjalan—kedua lututnya lemas.
Satya menyusul langkah Sekar dari belakang, membiarkan Nero terlepas dari pangkuan-nya, dan menggenggam tali harness dengan kuat. Dengan hati-hati, satu tangan-nya yang menganggur—merangkul pundak Sekar dari samping. Sekar tersentak, tapi berusaha bersikap biasa saja.
"Oh iya, Rakha ada di rumah kan?" tanya Sekar, berusaha mengalihkan topik. Menyembunyikan rasa gugup yang mulai merayapi tubuhnya.
Bang Satya gila! Gua jadi gugup gini batin-nya berucap.
"Dia lagi di rumahnya, katanya sih mau main," balas Satya singkat.
Malam harinya, Satya sengaja berkunjung ke rumah Sekar, bukan karena ada urusan penting—hanya sedang merasa bosan. Biasanya ada Rakha yang bisa diajak berbincang ringan. Walaupun Satya sendiri selalu merasa jika Adiknya itu sedikit berbicara. Mungkin belum terlalu nyaman di rumah Satya.
Sekar membuka pintu sambil membawa buku catatan miliknya. Jangan berpikir ia sedang belajar—hanya mengerjakan tugas karena takut dihukum.
"Lo ngapain ke sini?" tanyanya ketus, meski wajahnya tak benar-benar marah.
"Bosen," jawab Satya santai, masuk tanpa izin dari pemilik rumah. "mama kapan pulang?"
Sekar mengekor di belakang setelah kembali menutup pintu dengan rapat. "Gak tau, belum dapet kabar."
Satya mengangguk pelan dan menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. "Sibuk banget ya."
Sekar kembali ke tempatnya semula, duduk bersila di lantai, mengambil pulpen, dan melanjutkan tugasnya. "Iyalah, gak kaya lo yang kurang kerjaan!"
"Lah, selama ini yang ngurus toko siapa? Masih bilang gua gak punya kerjaan?"
Gerakan tangan Sekar refleks berhenti. "Ya lo ngapain ke sini! Gak punya kerjaan namanya! Ganggu gua belajar aja."
"Gua pikir lo kangen sama gua," gumam Satya. Kedua matanya tak lepas dari wajah Sekar yang sedang menulis dengan wajah cemberut.
Sekar menghela napas pelan. "Kita baru ketemu tadi sore ya, Bang."
Satya tak membalas lagi, ia menyandarkan kepalanya di pinggiran sofa—matanya terpejam, tapi tak benar-benar tidur.
"Besok gua berangkat sendiri ya Bang"
Kalimat itu membuat Satya membuka mata perlahan. Ia bergeser, duduk tegak dengan alis sedikit berkerut. "Kenapa? Masih marah gara-gara tadi gua telat jemput?"
Sekar menggeleng, menatap jarinya yang memegang pulpen dengan erat. "Gua bisa ko sendiri, janji deh gak akan lupa kasih kabar lagi kalo pulang malem."
"Gak ah, lo anaknya ngeyel kalo dibilangin. Kalo kenapa-napa di jalan repot."
Sekar menghela napas panjang—lelah karena benar-benar tak bisa menghindar dari Satya. Lagi pula, sebelumnya Satya membiarkan-nya bebas. Tapi kenapa hanya karena kesalahan-nya dalam satu hari, sikapnya berubah menjadi lebih posesif.
ditunggu next chapter ya kak😁
jangan lupa mampir dan ninggalin like dan komen sesuai apa yang di kasih ya biar kita sama-sama support✨🥺🙏
sekalian mampir juga.../Coffee//Coffee//Coffee/
Dikasih koma ya, Kak. Biar lebih enak bacanya. Semangat terus nulisnya!😉