"Diremehkan Karna Miskin Ternyata Queen" Adalah Kisah seorang wanita yang dihina dan direndahkan oleh keluarganya dan orang lain. sehingga dengan hinaan tersebut dijadikan pelajaran untuk wanita tersebut menjadi orang yang sukses.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anayaputriiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 Cerita Masa Lalu
Bu Daning merenung dikamarnya seraya menatap segepok uang pemberian Hanin. Perlahan tapi pasti, air matanya jatuh. Membahasi pipinya yang telah dipenuhi garis usia. Jujur saja, rasa bersalah terus menamparnya berkali- kali.
Kenapa anak yang bukan darah dagingnya bersikap begitu baik meski sudah ia perlakukan dengan tidak baik? Kenapa anak yang tidak terlahir dari rahimnya sendiri itu selalu peduli padanya meski ia selalu bersikap pilih kasih?
Bu Daning terisak, seraya menutup wajahnya dengan telapak tangan. Ia sangat bimbang denganhal ini. Otaknya menyuruhnya untuk selalu membenci Hanin, tapi hatinya justru bertolak belakang dan menyuruhnya untuk menyayangi Hanin sebagai mana mestinya.
Bu Daning menarik napas dalam- dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Kenangan masa lalu kembali berkelebat dalam benaknya. Di mana, saat itu ia harus mengalah dan merelakan Pak Abdul bersama Minah, ibunya Hanin.
Bu Daning duduk di kursi kayub erwarna cokelat tua, menghadap jendela besar yang membiarkan ia bisa melihat air hujan yang mengguyur dengan lembut. Dapatdilihat oleh matanya yang mulai memudar ketajamannya, hujan yang tak pernah berhenti mengguyur daerah tempat tinggalnya dahulu. Sesekali, ia teringat pada masa muda yangpenuh kebahagiaan dan kesedihan,masa ketika hatinya masih begitu muda dan penuh dengan harapan.
Saat itu, Bu Daning muda masih ingat betul, hari itu adalah hari yang mengubah segalanya. Ia baru saja kembali dari pasar dengan wajah sumringah, berharap bisa memberi kejutan pada Pak Abdul, lelaki yang selama ini selalu ada disampingnya, yang diam- diam disayanginya. Namun, segala perasaan itu harus hilang seketika saat ia melangkah masuk ke rumah Minah.
"Daning, ada sesuatu yang ingin kubicarakan," kata Minah dengan senyum lebar yang tak bisa disembunyikan. Bu Daning menatap sahabatnya dengan ragu. "Apa itu, Minah?"
Minah memegang tangan Bu Daning, matanya berbinar. "Abdul melamarku, Daning. Ia ingin menikahiku," ucapnya dengan binar bahagia.
Jantung Bu Daning terasa berhenti berdetak sejenak. Seperti ada batu besar yang menghempaskan dadanya, membuatnya kehilangan kata- kata. Semua impian yang ia rajut bersama Pak Abdul selama ini mendadak runtuh. la hanya mampu tersenyum tipis, sebuah senyum yang dipaksakan.
"Oh... itu luar biasa, Minah" jawab Bu Daning dengan suara yang hampir tak terdengar, berusaha menahan perasaan yang berkecamuk dalam dada.
"Aku ... aku bahagia untukmu."
Namun, di dalam hatinya, segala sesuatu terasa terbalik. Ia merasa dunia ini tidak adil, dan iaharus merelakan lelaki yang sangat ia cintai, yang selalu ada untuknya,memilih sahabatnya sendiri. Tapi Bu Daning tak ingin menunjukkan perasaannya. Ia tak bisa membiarkan Minah tahu bahwa hatinya hancur, sebab sahabatnya itu tak tahu apa yang dirasakannya.Ia tak ingin menghancurkan persahabatan mereka.
la berdiri, berjalan perlahan menuju pintu, berusaha melangkah dengan tenang, meski rasanya dunia itu berputar begitu cepat disekitarnya. "Selamat, Minah. Aku yakin kalian akan sangat bahagia."
Hari -hari berikutnya menjadi semakin sulit bagi Bu Daning.vSetiap kali bertemu Pak Abdul, hatinya selalu bergetar. Namun, ia tahu, ia harus bisa menerima kenyataan itu. Dia tak bisa menghalangi kebahagiaan Minah dan Pak Abdul. Mungkin cinta mereka lebih kuat, lebih tepat.
"Minah, aku akan selalu mendukungmu," ucap Bu Daning saat melihat persiapan pernikahan sahabatnya itu. Meskipun dalam hatinya, ia hanya bisa menangis merelakan.
Hujan turun perlahan, menaburkan aroma tanah yang basah. Bu Daning menatap fotovMinah bersama Hanin yang masih bayi yang ia simpan di dalam tumpukan pakaian di lemari. Gurat wajah Minah dalam foto itu penuh dengan kebahagiaan, tetapi Daning tahu betul cerita di balik kebahagiaan tersebut tak berlangsung lama.
Minah meninggal dunia saat melahirkan anak keduanya yangmasih belum cukup umur dan meninggal dalam kandungan. Bu Daning masih bisa mengingat dengan jelas malam itu, saat ia mendengar kabar buruk dari seorang tetangga. Ia berlari kerumah Minah tanpa peduli pada derasnya hujan. Di sana, ia melihat tubuh Minah terbaring tak bernyawa, sementara Pak Abdul duduk di sudut ruangan dengan mata memerah. Hanin yang masih berusia dua tahun berada dalam gendongan salah satu kerabat, menangis tanpa henti.
Bu Daning mendekati Minah dan menggenggam tangannya yang dingin. Air matanya mengalir deras, tetapi ia berusaha menahan isaknya agar tidak mengganggu suasana duka yang sudah mencekam. Dalam hati, ia merasa kehilangan besar. Minah bukan hanya sahabat terbaiknya, tetapi juga seseorang yang ia anggap sebagai saudara.
Sejak saat itu, hidup Pak Abdul berubah drastis. Ia terlihat semakin pendiam dan tenggelam dalamvpekerjaannya, sementara Hanin sering dititipkan ke kerabat dekat.Namun, semua itu tidak bertahan lama. Pada suatu sore, beberapa bulan setelah Minah meninggal, Pak Abdul mengetuk pintu rumah Bu Daning.
"Assalamu'alaikum, Daning," atanya dengan suara pelan.
Bu Daning membuka pintu dan sedikit terkejut melihat kehadirannya.
"Wa'alaikumussalam, Abdul. Masuklah."
Pak Abdul masuk dengan langkah berat. Di tangannya ada sebuah tas kecil berisi baju- baju Hanin. Di belakangnya, Hanin berdiri sambil memeluk boneka lusuhnya. Gadis kecil itu menatap Bu Daning dengan mata yang sendu, membuat hati Daning bergetar.
"Abdul, ada apa ini?" tanya BubDaning dengan nada khawatir.
Pak Abdul duduk di kursi dan menghela napas panjang. "Daning, aku tidak tahu harus berkata apa ... Tapi aku membutuhkan bantuanmu."
Bu Daning duduk di hadapannya, mencoba memahami maksudnya.
"Aku sudah mencoba menjadi ayah yang baik untuk Hanin, tapi aku sadar aku tidak bisa melakukannya sendiri. Hanin butuh sosok ibu ... dan aku tidak bisa memikirkan orang lain selain dirimu," katanya dengan suara bergetar.
Perkataan itu membuat Bu Daning tertegun. "Abdul, maksudmu...?"
Pak Abdul menunduk, tampak ragu untuk melanjutkan. "Aku ingin kau menjadi ibu sambung untuk Hanin. Aku tahu ini bukan permintaan yang mudah, Daning tapi aku yakin Minah akan setuju jika dia masih hidup. Kau adalah sahabat terbaiknya, dan aku percaya kau bisa memberikan kasih sayang yang Hanin butuhkan."
Hati Bu Daning bergemuruh.bPerasaan yang telah ia kubur bertahun- tahun kembali muncul ke permukaan. Ia menatap Hanin yang masih berdiri di dekat pintu, wajah polosnya dipenuhi kesedihan yang belum bisa ia pahami.
"Abdul, ini keputusan besar" jawab Bu Daning akhirnya,mencoba menenangkan gejolak di hatinya. "Bagaimana jika aku tidak mampu menjadi ibu yang baik untuknya?"
Pak Abdul menatapnya dengan mata penuh harap. "Daning, kauadalah orang yang paling aku percaya. Hanin butuh cinta dan perhatian, dan aku yakin kau bisa memberikan itu."
Bu Daning terdiam lama, mencoba memproses semua yang baru saja terjadi. Ia tahu keputusan ini akan mengubah hidupnya selamanya. Namun, saat ia melihat Hanin, ia merasa ada panggilan di dalam hatinya.
"Baiklah, Abdul," katanya akhirnya. "Aku akan melakukannya. Aku akan mencoba menjadi ibu bagi Hanin."
Pak Abdul menghembuskan napas lega, sementara Hanin berjalan mendekat dengan langkah kecilnya. Anak itu memandang Bu Daning dengan mata penuh harap.
"Bu Daning ... aku boleh tinggal di sini?" tanyanya dengan suara kecil.
Bu Daning tersenyum lembut dan merentangkan tangannya."Tentu, sayang. Mulai sekarang, ini adalah rumahmu juga."
Hanin berlari memeluknya dan Bu Daning merasakan kehangatan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Dalam pelukan kecil itu, ia tahu hidupnyabtelah berubah. Namun, semuavperasaan itu berubah setelah BubDaning melahirkan Lisna.
Bu Daning merasa bahwa Hanin selalu unggul dibandin ganaknya sendiri. la tak bisa menerima itu bahkan sampai detik ini.
Akan tetapi, setiap perlakuan Hanin kepadanya selalu saja menggoyahkan pendiriannya.
"Nin, nanti pulang kerja ikut aku, yuk!" Hanin mengobrol dengan Santi lewat telepon ketika jam istirahat.
"Ke mana, San?"
"Aku mau kulakan aksesoris, Nin. Stok di etalaseku udah mau abis," kata Santi. "Nanti aku traktir deh sebagai balasan. Gimana?"
"Aku, sih, oke aja, San. Tapi, kalau Mas Raffa gak ngizinin ya aku gak bisa." Hanin menyuapkan sesendok nasi kuning ke dalam mulutnya usai menjawab.
"Ya izin dong. Tinggal kirim pesan aja, Nin. Pokoknya harus izin, ya. Kalau gak izin, pasti yang bakalan dimarahin itu aku," tukas Santi.
Hanin tergelak. "Iya, iya. Ya udah, aku izin dulu. Nanti kalau dapat izin aku kabari," jawabnya.
Usai panggilan berakhir, Hanin mengirim pesan kepada Raffavuntuk meminta izin mengantar Santi ke toko aksesoris. Sekalian juga ia ingin cuci mata atau sekadar jalan- jalan untuk melepas penat.
[Boleh. Jaga dirimu. Kalau ada hal buruk terjadi, langsung aja telpon aku), pesan balasan dari Raffa.
[Makasih, Mas].
Hanin lantas mengirim pesan pada Santi bahwa ia sudah dapat izin dari Raffa.
Sore harinya, Santi sudah menunggu di depan toko Ko Yusuf. Gadis muda ceria itu menyapa Ko Yusuf yang baru saja melewatinya.
"Hai, Ko! Wah, makin ganteng aja suami orang," celetuk Santi.
Ko Yusuf tergelak. "Bisa saja kamu. Lagi nunggu Hanin?" tanyanya.
"Iya, Ko. Mau saya ajak jalan-jalan," kata Santi seraya tersenyum lebar.
"Widih, enak banget. Ya udah hati- hati, San kalau bawa motor."
"Cuma hati- hati doang, Ko?Masa gak dikasih sangu?" goda Santi. Ia memang suka selkali bercanda. Dan candaannya itu pastiberhasil membuat orang lain salah tingkah dan tertawa lepas.
"Sangunya cuma doa aja. Semoga selamat sampai tujuan!
Amin!" Ko Yusuf terkekeh sambil geleng- geleng kepala. Lantas,masuk ie dalam mobil dan melaju meninggalkan area toko.
Tak berselang lama, Hanin datang setelah menutup toko.
"Udah nunggu lama, San?" tanyanya.
"Gak, kok. Baru aja. Ya udah, ayo, naik!" ajak Santi.
Mereka berdua berangkat ke toko aksesoris tempat Santi berlanja keperluan warungnya.
"Nin, aku lihat- lihat kamu sekarang makin kinclong aja setelah nikah. Ternyata, nikah itu enak, ya, Nin," tukasnya.
"Alhamdulillah, sih. Banyak senengnya. Ada temen buat curhat. Dan tentunya ada yang nafkahin," sahut Hanin.
"Emmm... jadi pengen dinafkahi juga. Hiks!"
Hanin hanya tertawa sebagai tanggapan.
Setibanya di toko, Santi mulai memilih apa saja yang ia butuhkan.Sementara Hanin, melihat- lihat dulu, siapa tahu ada yang ingin ia beli. Di toko tersebut tak hanya menjual aksesoris. Melainkan semua benda ada di sana. Mulai keperluan kantor, sekolah, fashion, dan rumah tangga.
"Kalau diingat- ingat, Mas Raffa gak punya baju koko. Apa aku belikan, ya? Aku kan juga pengen waktu salat diimami sama Mas Raffa," gumam Hanin saat berada dibarisan pakaian muslim pria.
Hanin lantas mengambil sepasang koko dan sarung. Lalu, berjalan ke kasir untuk membayarnya. "Mbak, saya ambil ini," katanya.
"Oh, baik. Total semuanya dua ratus ribu," kata kasir tersebut.
Hanin tidak membawa uang cash. Uang cash yang ia bawa hanya sepuluh ribu saja untuk pegangan.Namun, ia selalu membawa kartu pemberian Raffa ke mana pun. "Mbak, saya bayar pakau ini," katanya seraya memberikan blackcard.
"Hah? I- ini... kartu ini punya Mbak?" Kasir wanita berwajah cabi itu terkejut bukan main. Ia tahu bahwa kartu black card itu adalah kartu sultan dan ia tak pernah menyentuh kartu seperti itu sebelumnya. Hanya tau saat bosnya melayani seorang pengusaha yang kebetulan belanja di toko ini.
"Iya, ini kartu saya, Mbak."Hanin heran karena kasir didepannya itu menatapnya ragu.Bahkan tatapan kasir itu seperti menaruh curiga padanya. Ada apa? Kenapa?
"Mbak jangan bohong. Mana mungkin Mbak punya kartu sultan ini?"
Hanin tersentak. "Mbak, kartu ini punya saya. Saya dikasih sama suami saya. Kenapa Mbak jadi curiga sama saya? Seolah- olah saya nyuri kartu itu?!" tukasnya.
Mendengar keributan yang melibatkan suara Hanin, Santi pun bergegas menghampiri. "Kenapa,Nin?" tanyanya pada Hanin.
Hanin membuang napas panjang. "Aku beli koko sama sarung pakek kartu hitam itu, San.Tapi, Mbak ini malah menuduhku mencuri kartu itu," jelasnya.
"Saya gak nuduh, Mbak. Sayakan nanya. Lagian mana mungkin Mbak ini punya black card?" Santi sedikit kaget. "Black card?" gumamnya tapi dapat didengar Hanin.
"San, kartu itu dikasih sama Mas Raffa semalam. Katanya itu uang nafkah buat alku. Gimana bisa bak ini gak percaya kalau kartu itu punyaku? Emang aku gak pantes banget ya buat punya kartu atm?"celetuk Hanin dengan wajah sedih.
Santi menghela napas kasar. Ia menatap wajah Mbak kasir dengan tajam. "Aku bisa melaporkan kamu atas tuduhan pencemaran nama baik. Kamu bahkan bisa langsung dipecat sama bosmu kalau tahu bahwa pelayananmu buruk!" ancamnya.
"Lagian, itu memang kartunya dia. Suaminya sultan tau gak meski penampilannya sederhana begini. Kamu bisa saja dilaporkan ke polisi kalau suaminya tau!" ancam Santi lagi.
Wajah Mbak kasir berubah pucat. "Saya minta maaf. Saya tidakvbermaksud begitu." la segera melakukan tugasnya. "Silakan pencet pinnya, Mbak," pintanya pada Hanin.
Hanin menekan angka tanggal lahirnya, lalu pembayaran selesai.
"Tuh, kan? Dia tahu pin kartu itu! Jadi, gak mungkin dia nyolong. Dasar tukang fitnah!" tegas Santi. Mbak kasir itu hanya mengangguk lemah.
Sementara itu Santi mulai menaruh curiga pada Raffa. Suami sahabatnya itu sudah pasti bukan orang biasa.