NovelToon NovelToon
Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Selingkuh / Ibu Mertua Kejam / Era Kolonial
Popularitas:8.6k
Nilai: 5
Nama Author: Hayisa Aaroon

1927. Ini kisah tentang seorang garwo ampil (istri selir) yang melahirkan anak yang tak boleh memanggilnya ibu.

Ini kisah tentang lebarnya jurang bangsawan dan rakyat kecil,
tapi bukan semata-mata tentang ningrat yang angkuh atau selir yang hina.

Ini kisah tentang perempuan yang kehilangan haknya di era kolonial, terbentur oleh adat dan terkungkung kuasa lelaki.

Ini kisah tentang bagaimana perempuan belajar bertahan dalam diam, karena di masa itu, menangis pun tak akan menggetarkan hati siapapun yang haus akan derajat.

Dilarang plagiat, mengambil sebagian scene atau mendaur ulangnya menjadi bentuk apapun. Apabila melihat novel serupa, tolong lapor ke IG/FB: @hayisaaaroon.

Novel ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyuarakan mereka yang dibungkam sejarah; perempuan-perempuan yang terkubur dalam catatan kaki, yang hidupnya ditentukan oleh kehendak patriarki yang mengatasnamakan adat, agama, dan negara.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

25. Juniah

Pariyem terdiam. Ada rasa bersalah yang menggerogoti dada. Bagaimana bisa dia minta pertolongan pada seorang yang pernah dia jahati.

Tapi mau apa dikata, ia harus mematuhi keputusan sang suami. Pria itu tahu yang terbaik.

‘Tidak apa, Ndoro Ayu Sumi orangnya tidak jahat seperti Gusti Ayu. Dia sudah punya keluarga bahagia, justru seharusnya berterima kasih kepadaku. Karena campur tanganku, dia bisa bersama Martin van der Spoel. Kalau tidak, lama-lama mati tekanan batin punya mertua seperti setan.’

Lalu dengan tergesa, ia memasukkan kebaya-kebaya terbaiknya, kain jarik batik halus, selendang, sisir, cermin kecil, minyak rambut, minyak wangi, dan berbagai perlengkapan kecantikan lainnya, termasuk perhiasan pemberian Soedarsono selama ini.

Tangannya bergerak cepat tapi gemetar. Otaknya bekerja keras memikirkan banyak hal sekaligus.

Keluarga van der Spoel itu kaya, dari kalangan pengusaha, bukan pejabat yang bisa dengan mudah disuap.

Punya koneksi luas dengan pejabat-pejabat tinggi, bahkan Gubernur Jenderal di Batavia, Kusumawati tak akan berani mengusik.

Dan yang paling penting, dia akan lebih aman untuk bertemu Marius tanpa ketahuan. Di rumah Prawiratama, para pelayan dan abdi dalem bisa saja melaporkan gerak-geriknya pada Sang Raden Ayu.

Pariyem menutup tas besar itu dengan tangan gemetar, lalu menarik napas dalam-dalam, berusaha meyakinkan diri sendiri.

Ini bukan akhir. Ini baru permulaan. Permulaan perjuangannya melawan Raden Ayu Kusumawati.

Dan kali ini, dia tidak akan kalah. Dia akan memastikan perempuan itu yang jatuh. Bukan dirinya.

Sekarang tinggal menunggu Soedarsono kembali dengan kabar dari Tuan van der Spoel.

Dia berjalan ke meja rias, menatap celengan tanah liat berbentuk ayam jago yang sudah dia simpan sejak setahun lalu.

Celengan yang dia isi sedikit demi sedikit dengan uang yang diberikan Soedarsono, uang bulanan yang tidak dia habiskan.

Untuk apa? Untuk masa depan. Untuk jaga-jaga kalau suatu hari nanti dia sudah tidak menarik lagi bagi Soedarsono. Kalau dia dibuang. Kalau dia harus memulai hidup baru sendirian.

Dan sepertinya hari itu sudah tiba. Lebih cepat dari yang dia bayangkan.

Dengan gerakan mantap, Pariyem memukul celengan itu dengan kotak kayu bekas berhiasan.

Tanah liat pecah berkeping-keping. Uang-uang koin berserakan di atas meja; ada yang gulden perak, ada yang sen tembaga, bahkan ada beberapa lembar uang kertas yang dilipat rapi.

Pariyem mulai menghitung dengan teliti, sampai terdengar ketukan di pintu yang menjeda tangannya.

"Masuk!" seru Pariyem tanpa menoleh.

Pintu terbuka pelan. Langkah kaki yang pelan masuk.

Pariyem menoleh sekilas, tersenyum. "Oh, Mbok Nah. Ada apa?"

Mbok Nah (perempuan tua yang sudah melayani Pariyem sejak dia menjadi selir) berdiri di ambang pintu dengan nampan kecil.

Di atasnya, sebuah cangkir keramik putih berisi teh yang mengepul, aroma khas teh melati sampai ke hidung Pariyem, tapi tak mampu menggugah seleranya. Ia terlalu panik dengan kata-kata sang mertua.

"Saya bawakan teh. Ayo minum dulu, biar segar."

Suaranya seperti biasa, lembut, penuh perhatian. Tapi … ada yang berbeda. Entah hanya perasaan saja, tapi ada sesuatu dalam nada suara Mbok Nah yang terdengar ... tidak alami. Seperti sedikit bergetar.

Ia menoleh sekilas. Perempuan itu tampak kaku, tapi pikirnya, ‘Ah mungkin karena ketakutan pada Gusti Ayu yang mengamuk.’

"Suwun, Mbok." Pariyem kembali menghitung uang. "Taruh saja di meja. Nanti saya minum."

Dia mendengar bunyi cangkir diletakkan di meja kecil dekat dipan. Lalu ... hening.

Pariyem mengerutkan dahi. Biasanya Mbok Nah langsung pergi setelah meletakkan sesuatu. Tapi kali ini ...

Dia menoleh. Mbok Nah masih berdiri di ambang pintu. Tidak bergerak. Tangan keriputnya yang sudah tua, meremas ujung kebaya lusuhnya dengan gerakan gelisah.

Wajahnya tegang. Matanya tidak menatap Pariyem, tapi menatap lantai. Bibirnya bergerak-gerak seperti ingin mengatakan sesuatu tapi tidak berani.

"Mbok?" panggil Pariyem pelan. "Ada apa? Kenapa tidak keluar?"

Mbok Nah tersentak, mengangkat wajah dengan tatapan gelisah. "Ayo ... ayo diminum dulu tehnya."

Suaranya bergetar. Jelas sekali seperti orang ketakutan. Pariyem memandang wajah tegang itu dengan lebih saksama. Mata Mbok Nah berkaca-kaca. Tangan masih meremas-remas kebaya dengan gugup.

Ada yang tidak beres.

"Saya tidak haus, Mbok," jawab Pariyem pelan, berusaha terdengar santai. "Malah mules perut saya dengan kata-kata Gusti Ayu tadi. Mau ke kamar kecil dulu."

Mbok Nah membuka mulut, hendak berkata sesuatu. Tapi kemudian menutupnya lagi. Mengangguk pelan, mundur ke luar dengan langkah yang sangat lambat, seperti orang yang tidak mau pergi tapi terpaksa.

Pariyem kembali fokus pada uang di atas meja, menghitung dengan cepat. Total uang cukup banyak untuk ukuran rakyat jelata. Cukup untuk hidup beberapa bulan kalau berhemat.

Dia memasukkan semua uang itu ke dalam kantong kain hitam dengan tali di ujungnya, mengikat rapat.

Lalu menyelipkan kantong itu ke dalam kendit yang melilit pinggangnya, tersembunyi rapi di balik lipatan.

Tapi perutnya benar-benar terasa tidak enak. Campuran antara tegang, takut, dan memang benar-benar mules karena situasi yang menekan.

Pariyem bangkit, berjalan ke kamar kecil. Setelah selesai, dia membasuh wajah berkali-kali dengan air dingin, mencoba menjernihkan pikiran.

Saat kembali, dia terkejut.

Di ruang tamu (area kecil dengan empat kursi berukir dan meja rendah), sudah ada seseorang duduk dengan santai.

Seorang perempuan kisaran empat puluhan. Pakaiannya jauh lebih bagus dari abdi dalem biasa, kebaya biru tua dengan sulaman halus, kain batik motif kawung, sanggul rapi dengan tusuk konde perak.

Wajahnya tenang, sedang menyesap teh dari cangkir keramik putih. Di seberangnya, di atas meja, sudah diletakkan cangkir lain. Juga berisi teh.

Pariyem mengenali perempuan ini. Juniah. Pelayan pribadi Kanjeng Raden Ayu Kusumawati.

Perempuan yang selalu ada di samping sang nyonya, berdiri seperti patung, mengipas dengan sabar. Perempuan yang diam tapi berbahaya.

"Duduk, Yem," panggilnya dengan suara yang terdengar ramah tapi ada nada perintah di sana. "Aku menyampaikan pesan dari Ndoro Ayu untukmu."

Pariyem berdiri membeku. Jantungnya langsung berdetak dua kali lebih cepat.

Pesan dari Raden Ayu. Setelah ancaman tadi. Setelah teriakan Soedarsono. Ini bukan pertanda baik.

"Sebentar, Mbakyu," ucap Pariyem dengan suara yang dibuat tenang meski dadanya sesak. "Wajah saya basah setelah mencuci muka. Saya lap dulu."

Dia bergegas masuk ke kamar, menutup pintu dengan tangan yang gemetar.

Hatinya berdebar keras. Jelas bukan pesan baik yang akan disampaikan. Apalagi setelah ada ancaman pembunuhan tadi—Aku akan mencari cara untuk menyingkirkan dia.

Dan Pariyem tahu betul, pelayan pribadi seorang ningrat tinggi seperti Raden Ayu Kusumawati bukan orang biasa.

Mereka ini tangan kanan yang menjalankan tugas-tugas kotor. Tugas-tugas yang tidak bisa dilakukan langsung oleh sang majikan.

1
Ricis
tetaplah waspada Yem, jangan ceroboh & mudah percaya dgn orang
Lannifa Dariyah
pariyem k t4 sumi, apa akan menggoda Martin juga?
oca
aku juga mules yem,takut kamu di apaapain😬
oca
jangan2 suruhan kanjeng ibu
oca
pinteeer kamu yem
SENJA
naaah gitu le jangan cuma nunduk2 aja,,, protes! tanya! 😙
oca
neeeh kumat merasa berjasa🤣
oca
🤭🤭🤭🤭
🌺 Tati 🐙
pokonya hati2 dan waspada Yem,mau dia baik tetep kita harus hati2
SENJA
buset pemikirannya gini amat yak 😂 astaga miris ya
SENJA
ddihhh jahat banget yah 🥺😑
SENJA
hmmn tugasmu yem buat ngorek2 tapi harus hati2 yem 😂
SENJA
kamu kan laki2 kamu imam lho! masa cemen gini yak ternyata 😪😂
SENJA
addduh sayang kau tak bisa baca tulis yem 😑
SENJA
deal sudah ! pinter juga kau yem 👌
Eniik
❤❤❤
Fitriatul Laili
mau diracun ya kayaknya
Kenzo_Isnan.
oalah yem yem karma dibayar tunai ,,tp kok yo melas men yem yem ra tegel q ngikuti kisah mu sek sabar yo yem yem
Kenzo_Isnan.
lanjut kak ayoo semagaaattt 💪💪💪💪
🌺 Tati 🐙
ditunggu kabar sumi dan keluarga besarnya...yem sekalian kamu minta maap sama sumi,kalau perlu minta bantuan sumi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!