Hagia terkejut bukan main karena dirinya tiba-tiba dilamar oleh seorang pria yang jauh lebih muda dari usianya. Sebagai seorang janda beranak satu yang baru di ceraikan oleh suaminya, Hagia tidak menyangka jika tetangganya sendiri, Biru, akan datang padanya dengan proposal pernikahan.
"Jika kamu menolakku hanya karena usiaku lebih muda darimu, aku tidak akan mundur." ucap Biru yakin. "Aku datang kesini karena aku ingin memperistri kamu, dan aku sadar dengan perbedaan usia kita." sambungnya.
Hagia menatap Biru dengan lembut, mencoba mempertimbangkan keputusan yang akan diambilnya. "Biru, pernikahan itu bukan tentang kamu dan aku." kata Hagia. "Tapi tentang keluarga juga, apa kamu yakin jika orang tuamu setuju jika kamu menikahi ku?" ucap Hagia lembut.
Di usianya yang sudah matang, seharusnya Hagia sudah hidup tenang menjadi seorang istri dan ibu. Namun statusnya sebagai seorang janda, membuatnya dihadapkan oleh lamaran pria muda yang dulu sering di asuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Starry Light, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Dewi berjalan cepat menuju rumahnya setelah turun dari angkot, ia ingin memastikan kabar yang di dengarnya dari pasar. Sebab, hampir semua orang yang ada di pasar membahas pernikahan putra Kyai Ismail Bachtiar, dengan seorang wanita yang bernama Hagia Sophia Ameera Ansori.
Dewi ingat betul dengan pemilik nama itu, tapi ia ragu jika Hagia akan secepat ini mengakhiri status jandanya. Hanya beberapa bulan setelah ia resmi diceraikan oleh suaminya, meskipun jika hal ini benar, Dewi akan sangat lega dan senang hati menjatuhkan nama mantan istri suaminya.
"Mas! Mas! Mas!" serunya menggebu-gebu, Heru yang sedang menemani Radhin bermain mobil-mobilan, hanya menoleh sang istri dengan malas.
Dewi langsung menaruh belanjaan nya ke meja dapur tanpa membereskan nya lebih dulu. "Mas tahu gak, kalau mbak Hagia mau nikah? Mbak Hagia itu namanya, Hagia Sophia Ameera Ansori 'kan? Bener kan, Mas?" tanyanya memastikan dengan nada semangat empat lima.
"Hemm." sahut Heru lesu, berbanding terbalik dengan sang istri.
Dewi melebarkan matanya dan menarik salah satu sudut bibirnya, seperti orang mengejek. "Berarti bener dong kalau besok mbak Hagia mau menikah?" katanya. "Gak nyangka ya, Mas. Kalau Mbak Hagia seperti itu, padahal aku pikir dia wanita baik-baik, tapi nyatanya belum lama jadi janda udah nikah lagi." cibirnya, seakan apa yang dilakukan Hagia adalah sebuah kesalahan.
Heru langsung menegakkan tubuhnya mendengar kata-kata Dewi, ia tahu jika Hagia memang mau menikah dan Hagia sendiri sudah mengatakan hal itu padanya. Tapi ia tidak menyangka jika pernikahan mantan istrinya itu akan digelar besok.
"Hagia menikah besok? Kamu tahu dari mana?" rasa ingin tahu tiba-tiba membuncah.
Dewi mencebik, melirik sinis suaminya. "Tadi aja kamu males-malesan jawab pertanyaan ku. Kenapa sekarang jadi semangat? Kepo ya, sama kehidupan mantan istri?" ejek Dewi.
Heru mendengus tak suka mendengar ejekan itu. "Kalau suami tanya itu di jawab yang bener, Wi! Memang kenapa kalau aku kepo sama hidup Hagia? Dia ibu dari anakku, meskipun kami sudah bercerai, tapi hubungan kami tidak benar-benar putus, karena ada anak diantara kami. Jadi aku memang harus tahu bagaimana kehidupannya!" bentak Heru, membenarkan pemikirannya sendiri. Meskipun tidak sepenuhnya salah.
Dewi yang tidak terima, tentu membalas kata-kata Heru dengan tidak kalah pedas. "Alah, Mas. Jangan bersikap seolah kamu ayah yang baik, kalau kamu tidak pernah memberikan nafkah sama anakmu! Kamu gak malu mengakui Hasya sebagai anakmu, tapi satu rupiah pun kamu gak pernah memberikan, atau sebutir beras. Bahkan setetes air saja ...."
BRAKKKK.....
Kata-kata Dewi menguap di udara sebelum ia selesaikan. Sebuah galon yang masih berisi air setengahnya pecah, dan membuat ruangan itu menjadi basah.
"MAS! KAMU APA-APA SIH?" teriak Dewi menatap nyalang suaminya. "KAMU GAK TERIMA DENGAN KEBENARAN YANG AKU KATAKAN?" nadanya masih tinggi, seolah menantang Heru tanpa rasa takut.
Heru tersenyum getir, ia memang tidak terima dan tidak siap mendengar keburukan tentang dirinya sendiri. Tidak seharusnya ia marah pada Dewi, karena apa yang dikatakan wanita itu adalah fakta.
Heru menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya. "Aku tidak marah, aku bahkan berterima kasih karena kamu menginginkan ku tentang kewajiban yang selama ini aku lupakan." katanya tenang.
"Mulai sekarang, aku akan memastikan kalau Hasya mendapatkan hak dari ayahnya. Aku akan memberikan uang nafkah setiap bulannya." putus Heru, mungkin terlambat. Tapi lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali.
"MAS!" desis Dewi tidak terima. Penghasilan Heru selama ini sudah dibagi untuk dirinya dan keluarganya, dan sangat pas-pasan, bahkan kurang. Apalagi Heru akan memberikan uang pada Hasya? Tidak, Dewi tidak akan terima keputusan suaminya.
"Aku tidak setuju!" tolak Dewi melipat kedua tangannya di dada.
"Aku tidak butuh pendapat mu!" sahut Heru tidak peduli.
"Mas! Aku ini istrimu, dan keuangan kita selama ini sudah sangat pas-pasan. Lalu kamu mau kasih uang untuk Hasya?" katanya menggelengkan kepala dengan tidak percaya.
"Aku hanya memberikan hak nya. Hasya berhak untuk aku nafkahi, dia putriku!" keputusannya sudah bulat.
"Lalu bagaimana dengan aku dan Radhin? bagaimana dengan keluargaku?" tuntutnya.
Heru memejamkan matanya, ia sangat tahu kondisi keuangannya sangat pas-pasan. Tapi ia tidak ingin lagi lepas tanggung jawab, sudah terlalu lama ia mengabaikan putrinya.
"Kamu dan Radhin tetap aku nafkahi, tapi untuk keluargamu. Jujur saja aku tidak sanggup lagi, jika untuk memenuhi makan dan minum mereka, tidak masalah. Tapi tidak untuk gaya hidup mereka, aku tidak sekaya itu, Wi." katanya, terlalu banyak tuntutan dari keluarga mertuanya, Heru sepertinya baru sadar jika dirinya di manfaatkan.
"Tapi kamu sudah berjanji...."
"Aku berjanji untuk membantu semampuku! Bukan berarti memenuhi semua kebutuhan mereka. Ayahmu masih bisa bekerja, kakak mu juga sudah menikah, sedangkan adik mu. Seharusnya dia juga bisa bekerja, dia sudah dewasa, Wi. Tidak semuanya aku yang tanggung!" bentak Heru, Dewi bungkam.
"Kamu lihat kan! Aku bahkan jual mobilku untuk membelikan motor adik mu, AC, TV, untuk ayahmu. Belum lagi gadget terbaru untuk kakak mu!" nafasnya menderu, menandakan jika ia sedang sangat emosi.
"Sekarang tidak lagi, bukan kewajiban ku menafkahi keluargamu. Mereka semua sehat dan tidak lumpuh atau cacat! Suka tidak suka, ini keputusanku! Kalau kamu keberatan, aku tidak peduli!" pungkasnya, meninggalkan Dewi yang menggeram kesal.
Lagi-lagi Heru pergi meninggalkan Dewi setelah berdebat. Dengan mengemudikan motornya, Heru menuju rumah mantan mertuanya, dimana mantan istri dan putrinya berada.
Perjalan dari rumah kontrakannya ke rumah Malik tidak begitu jauh, sebab mereka masih di kota yang sama, hanya beda desa saja. Saat melintasi balai desa yang tidak jauh dari rumah Malik, disana terlihat ramai. Gedung serbaguna yang berada di sebelah balai desa di hias dengan sangat cantik.
Heru menghentikan motornya, melihat banyak orang-orang seakan kerja bakti membersihkan sekitar tempat itu. Rasa ingin tahu membuat Heru bertanya pada salah satu orang yang sedang membersihkan selokan.
"Maaf, pak. Ini mau ada acara apa, ya?" tanyanya sambil tersenyum ramah.
Bapak-bapak yang tadinya sibuk dengan cangkul nya itu melihat kearah Heru, ia tersenyum sambil menyeka keringat di sekitar wajahnya. Lalu menjawab, "Oh, ini mau ada acara resepsi anak pak Kyai Ismail Bachtiar, Mas." katanya riang. "Gus Biru itu, dia menikahi putrinya pak Ansori. Ya, walaupun menikah dengan janda beranak satu, tapi pernikahan nya digelar meriah." jelasnya, masih sibuk mengusap keringat yang membanjiri wajahnya.
Untuk sesaat Heru mematung, ternyata Hagia menikah dengan pria yang jauh segala-galanya darinya. Membuatnya sedikit insecure, merasa kecil, apalagi setelah menyadari apa yang sudah ia lakukan pada Hagia dan Hasya.
"Mas, mas bukan orang sini, ya?" suara bapak-bapak yang tidak diketahui namanya, menyadarkan Heru dari lamunannya.
Heru menggaruk tengkuknya dan mengangguk. "Iya, Pak. Saya dari desa sebelah." kata Heru, kemudian ia pamit, mengurungkan niatnya bertemu dengan sang mantan istri.
"Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik, Gi." bisiknya dalam hati. Pantas saja jika kemarin Hagia menolaknya, sebab Hagia sudah mendapatkan pria yang jauh lebih baik dari nya. Namun, jauh dalam lubuk hati Heru juga yakin jika Hagia akan menolaknya, meskipun belum bertemu dengan pria mana pun. Sakit yang ia torehkan terlalu dalam, tidak mungkin seseorang akan kembali pada orang yang telah menyakitinya.
*
*
*
*
*
TBC
Happy reading 🤗🤗🤗🤗
Jangan lupa tinggalkan jejak kalian di kolom komentar, like, subscribe, dan vote 🥰🥰🥰