Aku tidak tahu jika nasib dijodohkan itu akan seperti ini. Insecure dengan suami sendiri yang seakan tidak selevel denganku.
Dia pria mapan, tampan, terpelajar, punya jabatan, dan body goals, sedangkan aku wanita biasa yang tidak punya kelebihan apapun kecuali berat badan. Aku si pendek, gemuk, dekil, kusam, pesek, dan juga tidak cantik.
Setelah resmi menikah, kami seperti asing dan saling diam bahkan dia enggan menyentuhku. Entah bagaimana hubungan ini akan bekerja atau akankah berakhir begitu saja? Tidak ada yang tahu, aku pun tidak berharap apapun karena sesuatu terburuk kemungkinan bisa terjadi pada pernikahan kami yang rentan tanpa cinta ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Shandivara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Pertanyaan
Kak Alan yang sejak tadi setia menunggu di lobby saat aku berbicang dengan Anastasia di kamarnya, sekarang dia juga yang mengantarkanku pulang.
Di sepanjang perjalanan, dia tidak bosan mendengarkanku yang bercerita panjang lebar tentang apa saja yang kami bahas di dalam kamar hotel Anastasia tadi.
"Beneran, Kak. Dia secantik itu, the best deh. Gak karyanya, gak orangnya, semuanya cantik."
"Dan Kak Alan tahu apa yang membuat aku bahagia?" tanyaku se-excited itu padanya.
"Apa?"
"Katanya, aku bisa pakai gaun itu kalau perlu. Kapan, ya? Nunggu aku kurusan?" jelasku antara bangga dan sedih bersamaan.
Memang Anastasia sebaik itu, tanpa aku meminta lebih dulu nomor teleponnya meskipun aku sangat ingin berkontak lebih lanjut dengannya, dia lebih dulu membeirkan nomor ponselnya kepadaku.
"She is not human, but an angel!"
Berlebihan, tapi Kak Alan tidak keberatan. Memang benar, kata orang—rupa wajah seseorang adalah gambaran sebagian isi hatinya. Dia begitu cantik, terpancar bagaimana kemurnian hatinya yang tidak berbeda jauh pastinya dengan perangainya yang tulus dan tidak ada yang dibuat-buat di mataku.
"Next, kita bisa ketemuan lagi katanya kalau lagi senggang."
"Sounds good!" Kak Alan menanggapi.
Sampai tiba di depan apartemenku, kak Alan tidak mampir. Dia langsung pergi karena permintaanku, mengingat ini sudah sore rawan mas Elham pulang karena seperti biasanya dia tidak bisa ditebak kapan waktu pulang dan pergi dari dan ke kantornya.
Namun, ada yang tertinggal satu pertanyaannya yang belum sempat aku tanyaan padanya.
"Memangnya Kak Alan kenal Claire dan Anastasia dimana?"
Apakah orang kaya mudah mendapatkan kenalan orang hebat seperti itu? Ah, iya. Pergaulan mereka luas, mengapa aku bertanya?
Di rumah, ruangan ini masih kosong. Lampu masih padam dan jendela masih tertutup. Lembab dan panas karena air condition tidak menyala sejak pagi tadi.
Niatku akan memasak bisa saja mas Elham pulang sekarang dan tanpa terduga seperti yang sudah-sudah.
Lemari makanan sudah penuh, entah siapa yang mengisi tetapi selalu penuh dengan bahan dapur yang sering au pakai. Lemari mendingin dan frezeer pun selalu penuh dengan bahan makna mentah ikan, dan makanan beku yang segar.
Begitu aku mengiris udang, suara pisau bertabrakan dengan suara pintu yang terbuka lebar.
"Moy!" teriak seseorang yang aku paham betul suara siapa.
Aku berlari. Ada apa dia berteriak begitu, tidak biasanya memanggil namaku dengan begitu lantang.
"Ada apa, Mas?" tanyaku pelan.
"Dari mana? Jawab, dari mana saja kamu?"
Aku mengernyit ketika dia mencengkeram lengaku dan tiba-tiba bertanya seperti orang kerasukan.
"Tidak ada. Hanya sekolah, dan ...."
"Kamu bertemu si brengsek itu lagi? Jawab," ujarnya.
"Siapa?"
Dia mendesah sebelum menjawab. Dadanya yang sempat menggembung, kempis seketika. "Alan," ujarnya lirih.
Aku diam, tatapanku bukan lagi tegak lurus menatap matanya, namun menunduk.
Dia kembali menghirup udara kuat-luat, lalu merauk wajahnya, berputar, seraya berkacak pinggang.
"Arrg...!" katanya berteriak menggarus rambut kepala seperti seorang yang frustrasi.
"Kenap---"
"Sudah kubilang jauhi dia! Kau mengerti tidak? Dengan cara apalagi harus kuberitahu? Jangan ketemu!" katanya membentakku. Sungguh, dia membentak dengan sangat keras hingga jantungku jumpalitan di dalam dada.
"Apa saja yang sudah kamu lakukan bersamanya? Kemana saja? Bertemu dengan siapa saja?"
"Tidak," ujarku belum selesai.
"Bohong! Kamu bohong! Kalian pergi ke pameran seni itu, kan?!" terkanya. Dan benar.
Darimana mas Elham tahu? Kalau orang suruhannya yang berada di sekolah, tidak mungkin. Sedangkan orang-orang di sekolahku pun tidak ada yang tahu tentang hal ini.
"Aku,"
"Katakan saja, iya atau tidak, Moy?!"
"Iya, maksudku ... tidak, apa yang...."
"Diam. Aku tahu, kamu pergi tanpa seizinku."
"Maaf, mas. Tapi, memang itu sebuah kebetulan. Kak Alan hanya iseng mengajakku,"
"Dia tidak cuma iseng! Kalian sengaja pergi atau dia sengaja mengajakmu kesana."
"Sengaja? Tidak," elakku membantah pernyataan pertama, aku tidak berencana pergi ke pameran itu. Kak Alan yang mengajak dan itu dadakan, tidak terencana sebelumnya.
"Berhenti membelanya, dia bahkan membawamu bertemu dengan Claire! Benar?" ujarnya.
Benar. Darimana dia tahu.
"Benar atau tidak, bajingan itu membawamu menemui wanita itu?"
Sayangnya, aku tidak bisa berbohong. Aku mengangguk membenarkan. Mas Elham mengepalkan tangannya. Namun, bagiku kini muncul pertanyaan baru.
"Memangnya kenapa?" tanyaku ragu-ragu.
Namun, Mas Elham diam. Dia berbalik menatapku dengan bola mata yang bergerak tak terarah. Dia gelisah.
"Memangnya kenapa kalau aku datang ke pameran seni itu? Itu event umum," ujarku.
"Kak Alan mengenalkanku pada Claire, dia penyelenggara event itu. Dia wanita baik, dan aku juga bertemu dengan adiknya yang seorang seniman. Anastasia namanya. Kami berteman."
"Meski mereka berteman akrab dengan kak Alan, sepanjang perbincangan, kami tidak ada membahasmu. Lalu bagian mana yang menjadi masalah, Mas?"
Tidak ada respons darinya. Kini malah, dia terpaku pada posisinya yang mematung memandangiku dengan tarikan napas dalam-dalam dan embusan napas yang panjang di setiap mendengar pertanyaanku.
"Memangnya siapa mereka? Kamu kenal?"