Seorang pemuda lulusan kedokteran Harvard university berjuang untuk menjadi seorang tentara medis. Tujuan dari ia menjadi tentara adalah untuk menebus kesalahannya pada kekasihnya karena lalai dalam menyelamatkannya. Ia adalah Haris Khrisna Ayman. Pemuda yang sangat tampan, terampil dan cerdik. Dan setelah menempuh pendidikan militer hampir 2-3 tahun, akhirnya ia berhasil menjawab sebagai komandan pasukan terdepan di Kopaska. Suatu hari, ia bertugas di salah satu daerah terpencil. Ia melihat sosok yang sangat mirip dengan pujaan hatinya. Dan dari sanalah Haris bertekad untuk bersamanya kembali.
Baca selengkapnya di sini No plagiat‼️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Fantasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Haris Murka
Perjalanan dari desa sebelah menuju Desa Cipuntu tidak memakan waktu lama, hanya sekitar dua setengah jam. Di dalam mobil, sebagian anggota tertidur pulas, sementara sebagian lainnya asyik dengan ponsel mereka. Haris tak menyangka misinya akan selesai secepat ini, membuatnya bisa segera kembali menemui gadisnya dan membawanya pulang. Perjalanan mereka cukup berliku, melewati hutan lebat dan jalanan tanah yang sedikit menyulitkan laju kendaraan.
"Aduhhh, kapan sampai sih... gue udah pegal, sumpah," keluh Fahri.
"Sabar... Bentar lagi juga sampai... Ini udah mau keluar hutan," jelas Haris.
Haris kembali tersenyum, membayangkan hari ini akan memberikan kejutan manis untuk kekasihnya. Ia tak sabar melihat reaksi Nahda saat ia muncul tanpa memberi kabar terlebih dahulu.
Tak lama kemudian, kendaraan mereka keluar dari hutan, dan jalanan yang lebih baik mulai tampak. Sebentar lagi, mereka akan kembali bertugas di desa itu, hanya untuk mengawasi situasi hingga misi benar-benar berakhir. Namun, untuk sampai ke desa tersebut, masih dibutuhkan waktu beberapa menit lagi.
Mobil mereka memasuki permukiman desa sebelumnya, lalu berhenti di pekarangan markas TNI.
"Weh... Akhirnya sampai juga!"
"Pegal banget, sumpah!"
Haris langsung turun dari mobil, melemparkan tasnya pada Fahri.
"Eh, apaan nih?!" Ujar Fahri terkejut sekaligus tak terima.
"Gue titip sebentar! gue mau langsung ke desa itu dulu ya!" Ujar Haris sembari berlari meninggalkan rekan-rekannya.
Haris berlari sangat kencang. Untuk sampai ke Desa Cipuntu, ia membutuhkan jasa ojek pangkalan yang berada di sekitar sana.
"Pak... Tolong antar saya ke Desa Cipuntu yang di bawah ya."
"Boleh, Pak... Mari naik."
Haris sudah tak sabar untuk menemui pujaan hatinya. Selama lebih dari sebulan, ia tidak berkomunikasi dengan rekan maupun kekasihnya karena kesibukan yang sangat padat.
"Tunggu aku ya, Sayang... Aku akan datang menjemputmu."
***
Tak berapa lama, Haris sudah tiba di desa tersebut. Dirinya tak langsung pergi ke klinik, melainkan menuju rumah kekasihnya. Namun, raut wajah senangnya berubah menjadi terkejut saat melihat banyak batu berserakan di area itu.
"Kenapa banyak batu begini?" gumamnya.
Haris menoleh pada tukang ojek, mengeluarkan beberapa lembar uang untuk membayar ongkos. "Makasih ya, Pak... Ini uangnya."
"Makasih, Pak... Saya pamit ya."
"Iya, silakan."
Haris kembali fokus pada sekitarnya. Ia melihat barang-barang berserakan, bahkan menemukan kunci rumah di atas tanah.
"Apa terjadi sesuatu padanya?"
Ia mengeluarkan ponselnya dan terkejut melihat Agung yang spam chat serta telepon. Ia memang sengaja mematikan ponselnya agar tidak dihubungi siapapun. Karena khawatir, ia langsung menghubungi Agung kembali. Tak lama kemudian, Agung mengangkat teleponnya.
"Ha—"
"Lu di mana?!! gue udah telepon kamu berkali-kali, kenapa gak dijawab, hah?!! Cepat ke balai desa sekarang!!!" Belum sempat menyapa, Haris sudah disambut semprotan kemarahan Agung.
"Memangnya kenapa?!" tanya Haris, bingung sekaligus cemas.
"Nahda lagi diadili warga! Di balai desa sudah ada Puput di sana... gue lagi ada di kantor polisi setempat... Cepat lu ke sana sebelum Nahda disakiti sama mereka!"
"APAAA?!!"
Haris terkejut, kabar buruk mengenai kekasihnya menghantamnya. Pantas saja banyak batu dan barang berserakan. Ia mematikan telepon dari Agung dan langsung bergegas ke balai desa dengan berjalan kaki. Karena jarak balai desa tidaklah jauh, Haris hanya perlu berlari kencang. Dalam waktu singkat, ia pun tiba di sana. Namun, saat ia baru saja melangkah masuk, terdengar suara teriakan sangat nyaring. Ia menduga itu suara Nahda.
"HAAAAAAA JANGAAAAAAANNN!!"
"NAHDA!!"
Tanpa membuang waktu, Haris menerobos masuk ke dalam ruangan yang penuh orang. Ia menggeram marah saat melihat Nahda yang menangis meminta ampun, dengan pakaian yang sudah tidak layak pakai.
"SEMUANYA HENTIKAAAAAANNN!" teriaknya dengan lantang, suaranya menggelegar dan memenuhi seluruh ruangan.
Seketika, semua orang di sana menoleh ke arah Haris yang sudah diliputi amarah. Lalu, mereka semua perlahan melepaskan Nahda dan menundukkan kepala.
"Berani sekali kalian menyentuh dan menyakiti kekasihku!! Kalian akan menerima akibatnya dariku!!" Ujarnya dengan suara lantang yang menggetarkan.
"Pak Haris! Syukurlah Anda datang... Saya tidak mampu menghentikan mereka, Pak," ujar Pak Kades, mengadu dengan wajah pias.
Sementara Haris menoleh ke arah Puput yang memeluk tubuh kekasihnya yang terisak-isak. Mata Haris memerah menahan amarah yang membakar. Niat memberi kejutan dengan kepulangannya, malah disajikan pemandangan yang menyakitkan hati. Dirinya tak mengindahkan omongan Pak Kades. Ia langsung berlari menuju Nahda yang sedang merengkuh tubuh Puput.
"Sayang!" Haris sengaja mengeraskan suaranya agar semua orang di sana tahu bahwa Nahda adalah miliknya.
Haris mengambil alih pelukan tersebut, mendekap erat Nahda. "Sayang... Aku pulang... Maaf aku terlambat."
Suara tangisan Nahda justru semakin kencang. Ia bahkan meremas baju Haris dengan sangat kuat. "Aku... aku... aku tidak bersalah... aku... aku gak bohong..."
"Ssttt... Sudah... Jangan ingat itu ya... Ada aku di sini," Haris menenangkan.
"Puput... tolong ambilkan air minum."
"Baik, Pak."
Sementara Tia, yang sedari tadi mengompori warga, mendadak menciut. Ia merasakan hawa takut yang mendalam saat pertama kali melihat sorotan tajam mata pria itu.
"Ini, Pak, airnya..."
"Makasih ya... Sayang, ayo minum dulu... Biar tenang," ujar Haris lembut.
Namun, Nahda masih terus menangis. "Mereka... mereka jahat... Kenapa harus aku... hiks... Salahku apa..."
"Sudah, Sayang... Tenang... Minum dulu ya... Biar mereka semua aku yang urus."
Dengan tubuh bergetar, Nahda mulai meminum air dengan dibantu Haris. Haris merasakan orang-orang di sana mulai membubarkan diri. Sebelum mereka berhasil kabur, Haris memberikan kode pada Puput agar mencegah mereka melarikan diri.
"Kalian semua!! Jangan ada yang pergi dari sini!! Kalian harus bertanggung jawab... Ini semua salah kalian!! Sekarang Pak Haris sudah di sini... Kita akan tahu kebenarannya... Apakah benar, Pak Haris melakukan kumpul kebo dengan Hana atau tidak? Jika itu bohong, kalian semua akan dilaporkan ke pihak berwajib!!" Ujar Puput panjang lebar, suaranya lantang dan penuh tekad.
Haris masih menenangkan kekasihnya. Wajah Nahda yang penuh peluh, rambut berantakan, serta baju yang sudah robek-robek membuat hatinya semakin sakit. Lalu, ia sengaja membuka jaket atau APD tentaranya dan menyelimuti tubuh kekasihnya itu.
"Kamu pakai ya," ujarnya lembut.
"Ayo kita pulang... Kamu harus istirahat..."
Nahda menggeleng cepat. "Aku takut..."
"Gak usah takut ya... Ada Puput jaga kamu... Aku urus mereka dulu ya," ujar Haris dengan penuh kelembutan. Ia tidak ingin menambah kesedihan Nahda dengan berbicara terlalu tegas.
"Put... Kamu bawa pulang dia dulu ya... Untuk Agung, dia lagi mengurus di kantor polisi..."
"Baik, Pak... Ayo, Han."
"Kita ketemu di rumah ya... Ini kuncinya," ucap Haris pada Puput.
"Terima kasih," lirih Nahda.
Lalu Nahda pun dibawa keluar oleh Puput dengan tertatih, dikarenakan kakinya masih merasakan linu akibat terseret oleh warga. Sementara Haris masih menginterogasi mereka semua yang menundukkan kepala.
"Kenapa kalian menunduk? Tadi sebelum saya datang angkuh banget kelihatannya... Kenapa? Takut?" sindirnya, nada suaranya menusuk.
"Siapa yang menyebarkan rumor murahan seperti ini, jika Hana melakukan hubungan terlarang dengan laki-laki? Siapa?!"
"Saya sudah tahu semuanya... Jika memang benar kalau Hana kekasih saya, memangnya kenapa? Kalian ribut sekali... Hidup kalian saja berantakan, kenapa mengurusin hidup orang lain!"
"Dan kamu, Pak Kades... Saya sudah mengamanahkan Bapak untuk menjaga ketertiban warga di sini... Apa ini maksudnya? Bapak malah membiarkan mereka semua bertindak arogan pada kekasih saya!!" Ujar Haris dengan suara marahnya yang menggelegar.
"Maaf, Pak... Saya sudah berusaha melerai... Tapi mereka memang suka main hakim sendiri... Saya sendirian, tak mampu menghentikan mereka," jelas Pak Kades dengan jujur, menunduk pasrah.
Lalu, Haris kembali memandangi semua warga yang masih menunduk. "Tidak punya otak! Bodoh! Semudah itukah kalian kena dampak informasi yang belum tentu kejelasannya?! Kalian menghakimi orang yang tidak bersalah!! Seharusnya kalian malu!!! Bodoh!!"
Salah satu warga berani berdiri. "Maaf, Pak... Ini bukan salah kami, tapi salah Tia tuh... Dia dari awal sudah menyebarkan gosip itu, Pak."
"Dan kalian percaya begitu saja? Hah?!" Haris melayangkan tatapan tajamnya. "Dan kamu!!" Haris menunjuk Tia, telunjuknya gemetar menahan amarah.
"Berani sekali ya membentak Hana... Kamu itu perempuan! Jaga lisan! Jangan sampai ucapan kamu berbalik ke diri kamu sendiri... Atau jangan-jangan kamu ya yang kumpul kebo bareng pacar?!"
Tia tak berani menjawab Haris. Ia pun ketakutan karena Haris sangat menakutkan hari ini.
"M-maaf... Saya..."
"DIAM!! DASAR BRENGSEK!! KAMU SUDAH MENYEBARKAN FITNAH! TAPI KENAPA HARUS HANA, HAH?!! KURANG AJAR!! KALO LAKI-LAKI SUDAH KUBIKIN BABAK BELUR KAMU!!" Bentaknya, rahangnya mengeras.
"Lagipula, Hana itu calon istri saya... Wajar dong kalau saya main ke rumahnya... Lagipula hanya duduk minum kopi... Pemikiran kalian itu terlalu jorok! Lebih baik bersihkan dulu otak kalian!!" Haris melanjutkan, suaranya penuh kemarahan dan kekecewaan.
"Dengar ya! Kalau sampai ada yang berani mengganggu calon istri saya, maka akan menerima hukuman setimpal, bahkan lebih berat!" ancamnya. Ancaman itu membuat semua orang, terutama para wanita, kembali terkejut dan ketakutan.
Kemudian, datanglah segerombolan polisi dan Agung di belakangnya. Semua orang sangat terkejut dan tambah ketakutan. Karena ucapan Haris tidak main-main. Bahkan ada yang sampai bersujud, meminta maaf padanya.
"Pak... Saya mohon... Ampuni saya."
"Saya juga, Pak... Saya khilaf."
Namun, Haris tak menjawab permintaan maaf mereka. Ia hanya diam dan menatap dingin mereka semua. Agung sudah menceritakan semuanya yang ia dapat dari Puput. Sementara itu, pihak kepolisian meminta negosiasi untuk membicarakan masalah tersebut dengan baik.
Tapi, seperti yang diucapkan Haris, ia tidak akan pernah memaafkan atau bahkan memberikan keringanan bagi siapapun yang berani menyakiti orang-orang yang ia sayangi. Dan benar saja. Mereka semua menerima hukuman di mana harus membayar denda kerugian, meminta maaf sampai diampuni, dan juga membersihkan nama baik Hana yang dicap jelek. Jika mereka tidak melakukan hal itu, maka hukuman penjara akan menanti mereka.
***
"Sudah, Han... Sabar ya... Pak Haris sudah datang tuh... Seharusnya kamu senang."
Nahda yang menangis perlahan menghapus air matanya. "Syukur dia datang tepat waktu, Put... Aku gak bisa bayangin kalau dia telat nolong aku," lirihnya.
"Sudah... Kamu istirahat ya... Biar aku yang rapikan rumah kamu sekarang."
"Makasih ya, Put... Maaf bikin kamu repot terus."
"Kamu kaya ke siapa aja, hehe... Ya sudah, kamu tidur, aku beres-beres dulu."
Nahda pun mengangguk. Jujur, ia pun merasa lelah karena hari ini energinya serasa telah habis akibat kejadian yang tidak mengenakkan. Ia pun terlelap dalam keadaan masih mengenakan jaket/APD yang Haris berikan padanya.
Sementara Puput masih membersihkan area sekitar rumah Hana yang berantakan akibat demo warga tadi siang. Sekarang ia merasa bersyukur karena masalah tersebut telah teratasi. Dengan ikhlas ia membantu sahabatnya untuk meringankan bebannya. Dikarenakan Hana tidak memiliki siapapun di sini kecuali dirinya.
Setelah semuanya selesai, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari arah luar. "Sebentar!"
Puput membuka pintu tersebut dan mendapati Haris berdiri di depan pintu.
"Loh, Pak... Masalah di balai sudah selesai?"
Haris menatap tajam Puput. "Kamu meremehkan saya?"
"Eh... enggak kok, hehehe... Ayo, Pak, masuk... Tapi Hana lagi tidur, kasihan dia kecapean."
Haris terdiam sejenak. "Makasih ya, Put... Selama saya tidak ada, kamu ikhlas menolong Hana dan menjaganya... Saya bersyukur jika Hana masih dikelilingi orang baik seperti kamu."
"Haha, udah ah, Pak... Jangan muji saya... Saya sahabatnya, wajar saya membantunya... Eh iya, ayo masuk... Sengaja pintunya gak ditutup supaya gak ada fitnah," ujar Puput.
Haris pun mulai duduk di kursi kayu. Rasanya sudah lama sekali ia tidak kembali ke sini. Lalu Haris sejenak memperhatikan Puput. Ia sudah bekerja keras kali ini untuk menjaga kekasihnya.
"Eumm... Put... Kamu boleh pulang sekarang... Biar Hana sama saya... Sepertinya kamu juga lelah... Istirahat ya, jangan sampai kamu juga ikut sakit," jelas Haris.
"Eh... tapi kalau—"
"Kalau masalah orang-orang gak usah khawatir... Mereka gak akan berani ganggu Hana lagi... Sekarang, kamu pulang ya... Perbaiki hubungan kamu sama ibumu... Jangan sampai karena kamu ngotot membela Hana, ibumu jadi benci sama Hana."
Puput terkejut mendengar perkataan Haris itu. "Bagaimana Bapak bisa tahu?"
"Saya tentara... Jadi mampu dapat informasi dengan mudah..."
Puput pun menghela napas panjangnya. "Huffft... Ya sudah, Pak... Saya pamit pulang ya... Tolong jaga Hana."
"Baik, Put... Sekali lagi makasih ya..."
Puput pun sudah menghilang dari pekarangan rumah Hana. Lalu Haris menutup pintu kayu itu namun tidak menguncinya. Ia pun masuk ke dalam kamar tempat Nahda sedang terlelap. Ia memperhatikan wajah cantik yang pulas tertidur itu. Ia pun mulai mendekatinya dan duduk di tepi kasur. Tangannya pun ikut membelai rambutnya dengan lembut.
"Tidur yang nyenyak ya, Sayang... Lupakan kejadian hari ini... Anggap hanya mimpi belaka," gumam Haris pelan. Lalu, ia mengecup kening gadis itu dengan penuh kasih sayang.