Seorang kultivator muda bernama Jingyu, yang hidupnya dihantui dendam atas kematian seluruh keluarganya, justru menemukan pengkhianatan paling pahit dari orang-orang terdekatnya. Kekasihnya, Luan, dan sahabatnya, Mu Lang, bersekongkol untuk mencabut jantung spiritualnya. Di ambang kematiannya, Jingyu mengetahui kebenaran mengerikan, Luan tidak hanya mengkhianatinya untuk Mu Lang, tetapi juga mengungkapkan bahwa keluarganya lah dalang di balik pembunuhan keluarga Jingyu yang selama ini ia cari. Sebuah kalung misterius menjadi harapan terakhir saat nyawanya melayang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berangkat Menuju Lokasi Kolam Petir Neraka!
Keesokan harinya, fajar belum sepenuhnya terbit ketika langit Sekte Qingyun telah diselimuti awan kelabu. Hujan tidak turun, namun hawa lembap menggantung di udara, membawa kesejukan yang merayap sampai ke setiap paviliun dan jalan berbatu di sekte. Kabut tipis menuruni lereng gunung, menyelimuti atap-atap ubin giok hijau hingga seolah seluruh sekte tenggelam dalam lautan awan.
Murid-murid Sekte Qingyun sudah bangun sejak dini hari. Di pelataran utama, puluhan dari mereka duduk bersila dalam lingkaran-lingkaran kecil, membaca kitab teknik dan menyalin mantra dari gulungan tua. Suara lembut lembaran kertas yang dibuka berpadu dengan hembusan angin pegunungan, menciptakan harmoni yang menenangkan. Beberapa tetua sekte berdiri di sisi mereka, memperhatikan dengan mata tenang dan penuh kebijaksanaan. Di antara kabut yang bergulir, aroma dupa spiritual menguar perlahan, seperti napas langit yang suci.
Sementara di gerbang utama Sekte Qingyun, dua sosok tetua berdiri menunggu. Jian Wuji dan Fengyuan berdiri bersebelahan di bawah gapura batu besar yang diukir dengan naga perak dan burung fenghuang. Di depan mereka, berdiri Lumo dengan pakaian putihnya yang berkibar ringan, dan di sampingnya, Qingwan yang berdiri sopan dengan kepala sedikit menunduk.
Fengyuan memandang wajah Qingwan, matanya memancarkan ketegasan seorang guru yang menyembunyikan kasih sayang di balik ketenangan. “Jangan merepotkan Daoyo Lu,” katanya dengan nada dalam. “Patuhi setiap arahannya.”
Qingwan menangkupkan kedua tangannya, membungkuk hormat. “Baik, Guru. Murid mengerti.” Suaranya lembut, namun di matanya tersimpan tekad yang gemetar.
Jian Wuji lalu menatap Lumo sambil tersenyum kecil. “Daoyo Lu, saat kau kembali nanti, aku pastikan informasi tentang Negara Yozhi sudah kudapatkan.”
Lumo mengangguk perlahan, bibirnya menampilkan senyum tipis yang hampir tak terlihat. “Baiklah. Aku percayakan padamu, Daoyo Jian.”
Jian Wuji membalas anggukan itu dengan hormat, lalu Fengyuan menatap Lumo. Ia menangkupkan kedua tangannya ke depan dada, dan berkata dengan tenang, “Aku percayakan Qingwan padamu, Daoyo Lu. Kuharap tujuanmu akan berjalan dengan lancar dan tanpa hambatan.”
Lumo menjawab dengan anggukan ringan. “Aku akan menjaganya.”
Fengyuan kemudian mengangkat tangan kanannya. Qi spiritual keluar dari tubuhnya, berputar di udara seperti pusaran cahaya giok. Dalam sekejap, sebuah perahu spiritual muncul, melayang lembut di udara di depan mereka. Perahu itu terbuat dari kayu hitam langka, diukir dengan simbol naga dan awan, memancarkan aura suci yang menenangkan. Dari dasar perahu, kabut biru keperakan terus mengalir, menjaga keseimbangannya di udara.
“Gunakan ini dalam perjalananmu, Daoyo Lu,” kata Fengyuan. “Perahu spiritual ini akan menghemat energi, terutama untuk Qingwan. Ia masih di tingkat Pendirian Pondasi tahap tengah, sedangkan perjalanan ke Kolam Petir Neraka sangat jauh. Dengan kekuatanmu yang sudah mencapai Core Formation tahap tengah, mungkin perjalanan panjang tak akan berpengaruh besar padamu, tapi baginya, terbang terus-menerus bisa menghabiskan Qi dan melelahkan roh.”
Lumo menatap perahu spiritual itu sejenak. Cahaya biru di matanya memantul lembut dari permukaan kayu yang mengilap. “Ini lebih baik, Daoyo Feng. Kalau begitu, aku tidak akan sungkan.”
Fengyuan tertawa kecil, suara tawanya dalam dan bergaung di udara. “Bagus. Memang seharusnya begitu.”
Lumo menangkupkan kedua tangannya dan menatap mereka berdua. “Kalau begitu, aku pergi.”
Jian Wuji dan Fengyuan sama-sama mengangguk. Fengyuan menepuk dada dengan tangan kanan, memberi salam penghormatan khas Sekte Qingyun.
Lumo melompat ringan, tubuhnya melayang bagaikan kabut yang tertiup angin. Ia mendarat di atas perahu spiritual tanpa suara. Gerakannya halus, seolah udara itu sendiri tunduk padanya.
Qingwan menangkupkan tangan dan menatap gurunya. “Guru, Tetua, murid pamit. Jaga diri kalian baik-baik.” Suaranya bergetar lembut, tapi tegas.
Jian Wuji tersenyum dan mengangguk, sementara Fengyuan berkata pelan, “Ingat, jangan merepotkan Senior Lu.”
“Baik, Guru.”
Qingwan melompat ke atas perahu, tubuhnya melesat ringan seperti kelopak bunga dihembus angin. Begitu ia mendarat, perahu spiritual mulai bergetar lembut, lalu perlahan melesat ke udara, meninggalkan kabut dan batu giok di bawahnya.
Dalam hitungan detik, perahu itu meluncur menembus lapisan awan, menuju selatan, ke arah Kolam Petir Neraka.
Di bawah, di gerbang besar, Fengyuan dan Jian Wuji masih berdiri, menatap langit yang mulai menelan bayangan perahu spiritual itu. Hanya jejak tipis cahaya biru yang tersisa di udara. Jian Wuji menghela napas panjang. “Aku berharap para petinggi Negara Gizo tidak tahu tentang ini. Jika mereka mengetahui, akan sangat berbahaya bagi sekte kita.”
Fengyuan tersenyum samar dan menepuk pundaknya. “Tidak perlu khawatir, Tetua Wuji. Ini tidak seburuk yang kau bayangkan.” Ia menatap ke langit, matanya redup memantulkan kabut. “Lagi pula... aku penasaran. Apakah Daoyo Lu benar-benar mampu memurnikan kekuatan Petir Neraka?”
Jian Wuji ikut menatap langit. “Aku juga ingin tahu, Pemimpin.”
Di langit tinggi, di antara awan yang berarak, perahu spiritual itu melaju cepat. Angin pegunungan berubah menjadi pusaran tipis di sekitar mereka. Lumo berdiri di bagian depan perahu, kedua tangannya disilangkan di belakang tubuh. Pakaian putihnya berkibar perlahan, dan rambut panjangnya bergoyang diterpa angin. Tatapannya lurus ke depan, menembus kabut dan awan gelap.
Qingwan berdiri beberapa langkah di belakangnya, sedikit gugup. Sesekali matanya mencuri pandang ke arah Lumo, tetapi segera mengalihkan pandangan setiap kali tatapannya bertemu udara di sekeliling pria itu. Ada sesuatu dalam ketenangan Lumo yang membuat udara di sekitarnya terasa lebih dingin. Ia ingin berbicara, namun setiap kali hendak membuka mulut, kata-katanya lenyap di tenggorokan.
Hening panjang menggantung di udara sampai akhirnya suara Lumo memecahnya. “Berapa lama waktu yang kita butuhkan untuk sampai di tempat itu?”
Suara itu dalam dan datar, namun mengandung tekanan halus yang membuat Qingwan segera menegakkan tubuhnya. “Mungkin... sekitar sepuluh hari, dengan kecepatan perahu ini, Senior,” jawabnya hati-hati.
Lumo mengernyit ringan. Ia mengangkat tangan, membentuk segel sederhana, lalu mengarahkannya ke inti kendali perahu. Cahaya biru muncul dari telapak tangannya, mengalir masuk ke dalam perahu spiritual. Seketika, perahu itu bergetar dan kecepatannya meningkat beberapa kali lipat. Angin menggulung lebih keras, membuat Qingwan sedikit terhuyung.
“Berapa lama dengan kecepatan ini?” tanyanya datar.
Qingwan menelan ludah. “Mungkin tujuh hari, Senior.”
Lumo kembali membentuk segel. Cahaya lain menyelimuti perahu, dan kecepatannya bertambah lagi. Angin menjerit di sekeliling mereka, membuat tubuh Qingwan berguncang lebih keras.
“Berapa lama sekarang?”
“Lima hari... Senior,” jawabnya, wajahnya mulai pucat karena terpaan angin spiritual yang keras.
Namun Lumo belum berhenti. Ia kembali membentuk segel tangan, dan kali ini Qi-nya menyatu dengan pola kendali perahu. Dalam sekejap, perahu spiritual melesat bagaikan petir menembus langit. Awan-awan hitam terbelah di belakang mereka. Qingwan hampir terlempar oleh tekanan udara, tubuhnya bergetar keras.
Namun sebelum ia kehilangan keseimbangan, tangan Lumo bergerak cepat. Dalam sekejap, ia memegang tangan Qingwan, menariknya agar tidak terjatuh. “Berapa lama dengan kecepatan ini?” tanyanya lagi, tanpa emosi.
“Besok pagi... mungkin kita akan sampai, Senior,” jawab Qingwan dengan suara kecil. Ia menunduk, menatap tangan yang masih digenggam Lumo. Hatinya bergetar, namun Lumo segera melepaskannya begitu menyadari.
Ia mengangkat tangan, mengeluarkan selembar kertas jimat hijau dari cincin penyimpanannya. Ia membakarnya tanpa berkata. Cahaya hijau menyelimuti perahu, membentuk lapisan pelindung spiritual di sekeliling mereka. Dalam sekejap, suara angin lenyap. Perahu melesat dengan kecepatan luar biasa, tapi udara di dalamnya tenang seperti di dalam gua meditasi.
Qingwan menatap pemandangan itu dengan mata terbelalak. Kekuatan spiritual yang dilepaskan Lumo terasa halus namun tak terbatas, seperti lautan yang menelan seluruh badai. Namun ia tidak berani memuji, hanya diam, menunduk dengan hormat.
Lumo kemudian duduk bersila di lantai perahu, menutup matanya. “Kau bisa melakukan apa pun. Aku akan bermeditasi untuk mempertahankan kecepatan perahu ini.” Suaranya dingin dan datar.
Qingwan menunduk, lalu ikut duduk bersila beberapa langkah di belakangnya. Ia memejamkan mata, menenangkan napasnya, dan mulai bermeditasi.
Langit di atas mereka perlahan berubah gelap, sementara di kejauhan, sambaran petir sesekali menyala di antara awan. Perahu spiritual terus melesat menembus langit yang kelam, meninggalkan jejak cahaya hijau yang berkilau di balik kabut.
Dan di tengah kesunyian itu, dua jiwa yang berbeda diam dalam meditasi, satu dengan ketenangan batu, satu dengan rasa kagum yang belum berani diungkapkan.