Beberapa bulan setelah ditinggalkan kedua orang tuanya, Rama harus menopang hidup di atas gubuk reot warisan, sambil terus dihantui utang yang ditinggalkan. Ia seorang yatim piatu yang bekerja keras, tetapi itu tidak berarti apa-apa bagi dunia yang kejam.
Puncaknya datang saat Kohar, rentenir paling bengis di kampung, menagih utang dengan bunga mencekik. Dalam satu malam yang brutal, Rama kehilangan segalanya: rumahnya dibakar, tanah peninggalan orang tuanya direbut, dan pengkhianatan dingin Pamannya sendiri menjadi pukulan terakhir.
Rama bukan hanya dipukuli hingga berdarah. Ia dihancurkan hingga ke titik terendah. Kehampaan dan dendam membakar jiwanya. Ia memutuskan untuk menyerah pada hidup.
Namun, tepat di ambang keputusasaan, sebuah suara asing muncul di kepalanya.
[PEMBERITAHUAN BUKAN SISTEM BIASA AKTIF UNTUK MEMBERIKAN BANTUAN KEPADA TUAN YANG SEDANG PUTUS ASA!
APAKAH ANDA INGIN MENERIMANYA? YA, ATAU TIDAK.
Suara mekanis itu menawarkan kesepakatan mutlak: kekuatan, uang,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarif Hidayat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 Kasus di desa
Mobil Patroli bergerak kembali ke arah desa, tetapi Sherline meminta pengemudi berhenti di dekat perbatasan hutan yang menghubungkan desa tersebut dengan jalan utama kota.
Sherline masih menatap video pertarungan Rama di layar ponselnya ketika panggilan masuk.
[RING!]
Ia menekan tombol jawab. "Sherline. Bagaimana laporannya, Sersan Hadi?"
Suara Sersan Hadi terdengar tergesa-gesa dan tegang dari seberang telepon.
"Lapor, Kapten. Kami baru saja mendapatkan laporan resmi dari kantor polisi desa. Ada korban terbaru yang dilaporkan hilang pagi ini. Ini sudah kasus ketiga dalam empat hari terakhir, Kapten."
Wajah Sherline mengeras. Kasus ini—kasus hilangnya penduduk tanpa jejak—adalah alasan utama ia dikirim ke desa terpencil ini. Kasus preman pasar hanyalah pengalih perhatian.
"Tiga kasus dalam empat hari?" ulang Sherline, nadanya rendah. "Apa ada saksi mata? Apakah ada pola, Sersan?"
"Tidak ada, Kapten. Benar-benar lenyap. Korban pertama adalah seorang pedagang yang baru pulang dari kota. Korban kedua adalah seorang pemuda desa yang sedang memancing di sungai. Dan yang terbaru pagi ini adalah seorang buruh tani yang pergi ke sawah sebelum subuh."
"Bos preman yang terlibat dalam kasus pasar itu... apakah dia ada kaitannya dengan hilangnya orang-orang ini?" tanya Sherline.
"Kami masih mendalami, Kapten. Kami menduga bos preman itu bergerak di bawah perintah pihak yang lebih besar. Mereka mungkin memanfaatkan kegaduhan yang mereka timbulkan di pasar untuk menutupi jejak kasus orang hilang ini."
Sherline memotongnya tajam, pandangannya beralih ke hutan di kejauhan. "Baiklah untuk saat ini, Sersan. Fokus pada kasus hilangnya. Kumpulkan semua data korban dan panggil tim forensik cadangan, untuk sekarang.. kembali ke pos jaga, saya akan segera ke sana."
Sherline menutup telepon, tangannya menggenggam ponselnya erat. Wajahnya yang cantik kini dilingkupi bayangan serius. Kasus ini jauh lebih rumit dari pada yang ia pikirkan, apalagi menurut dugaannya.. hilangnya orang-orwng di desa ini ada hubungannya dengan para organisasi gelap dari kota,
Di rumah Pak Suhardi, Rama sudah menata piring di meja makan. Aroma gurih Ayam Goreng Krispi menyebar ke seluruh ruangan. Bela, yang baru selesai mandi, matanya berbinar melihat hidangan kesukaannya.
"Wah, Kak Rama benar-benar menepati janji!" seru Bela, bersemangat.
Rama tersenyum. "Tentu saja. Ini kan permintaan maafku karena meninggalkanmu tadi. Cepat duduk, nanti keburu dingin."
Bela langsung duduk. Sambil menikmati renyahnya kulit ayam, yang mana makanan Rama menang tak pernah gagal dan Selalu membuat kejutan bagi dia menikmatinya, namun raut wajahnya wajahnya kembali murung.
"Kak, tadi aku khawatir sekali. Aku takut Pak Guntur benar-benar marah. Dia itu jahat sekali," ucap Bela.
"Sudah kubilang, jangan khawatir berlebihan," ujar Rama, ia sendiri menikmati masakannya. "Lagipula, sebentar lagi Kakak akan pergi dari sini. Fokuslah pada masa depanmu. Kamu harus tetap semangat belajar di sekolah ini, Bela."
Bela menghela napas, ia tampak sedih. "Tapi Kak, rasanya sedih juga Kakak akan pergi. aku-aku nanti tidak akan merasakan masakan kakak lagi? Dan siapa yang akan menemaniku di rumah ini ketika bapak sama ibu pergi bekerja?"
Rama tersenyum hangat, mengusap puncak kepala Bela. "Keputusan ini bukan akhir, Bela. Justru awal dari hal yang lebih baik untuk Kakak, mencari kehidupan yang baru. Dan kamu? Kamu harus lebih kuat dan mandiri. Kamu sudah kelas 11, kamu harus fokus belajar untuk masa depanmu. kakak janji akan sering mengabarimu lewat pesan atau call.. dan jika kakak sudah memiliki tempat tinggal yang nyaman di sana, bela juga bisa sering berkunjung menemui kakak,"
"Aku akan ikut ke mana pun Kakak pergi," ujar Bela pelan, matanya berkaca-kaca.
Rama menggeleng lembut. "Tidak, Bela. Ini adalah urusan dan jalan Kakak sendiri. Kamu harus tetap di sini, bersama Bapak dan Ibu. Mereka membutuhkanmu, dan kamu harus menyelesaikan sekolahmu."
"Humph!" bela menghela nafas berat. "Tapi janji ya, Kakak harus sering kirim kabar dan jika tidak betah.. kakak jangan memaksakan diri tinggal di sana!"
Rama tertawa kecil. "Pasti. Sekarang habiskan ayam goreng ini, lalu setelah itu kamu harus mengerjakan tugas sekolahmu."
Tak lama setelah mereka selesai makan, Pak Suhardi masuk. Wajahnya tampak lelah, tetapi senyum langsung mengembang melihat Rama dan Bela. Hanya beberapa menit kemudian, Bu Maya kembali dengan wajah yang sedikit pucat dan cemas.
..........
Malam harinya, setelah makan malam, mereka berkumpul di ruang tamu. Suasana hening sejenak. Bu Maya meletakkan jahitan di pangkuannya.
"Tadi Ibu dari rumah Bu Darmi, Rama, Bela," kata Bu Maya membuka suara, nadanya terdengar sedikit khawatir. "Ibu mendengar kabar yang kurang enak di desa kita."
"Kabar apa, Bu?" tanya Bela.
"Beberapa hari terakhir ini... ada orang-orang yang hilang tanpa jejak," jawab Bu Maya pelan.
"Hilang?" tanya Pak Suhardi terkejut. "Kenapa Bapak tidak dengar, Bu? Siapa yang hilang?"
Bu Maya menjelaskan tentang tiga korban yang hilang, lalu menatap Rama dengan sorot mata yang penuh kesedihan bercampur ketakutan.
"Ibu mohon, Nak Rama. Terutama kamu," kata Bu Maya, air matanya seperti tertahan. "Dua hari lagi kamu akan pergi ke kota kan.? Ibu tahu niatmu baik, Nak. Tapi dengar kabar orang hilang ini, hati Ibu merasa khawatir apalagi ibu mendengar desas desus di kota juga ada banyak sekali kasus kejahatan"
Seprtinya bu maya benar-benar telah menganggap Rama sebagai anaknya sendiri bukan hanya sekasar kata, apalgi melihat ke khawatir annya yang begitu dalam membuat Rama ikut bisa merasakan ke cemasan dari bu maya itu terhadap dirinya,
Bela langsung merapatkan dirinya pada Bu Maya, raut wajahnya menunjukkan ketakutan tidak hanya pada kabar hilangnya orang, tapi juga atas kepergian Rama yang semakin dekat,
Pak Suhardi mengangguk setuju. "Benar kata Ibu ram. Kasus ini pasti ada hubungannya dengan orang luar. Kamu di sana nanti harus lebih waspada. Janji pada kami, kamu akan jaga diri baik-baik. Kami sudah menganggapmu seperti anak kandung kami, Nak."
Rama menatap tulus pada kedua orang yang sudah dianggapnya seperti orang tua kandung itu. Rasa syukur dan haru membanjiri hatinya.
"Baik, Bu, Pak. Saya janji akan lebih berhati-hati. Saya akan selalu ingat semua nasihat Bapak dan Ibu," jawab Rama dengan tulus.
"Kamu juga, meski kamu jarang kelaur dari rumah.. tetapi kamu harus lebih waspada dan jangan asal dekat dengan orang tak di kenal," Ucap bu maya pada bela, apalgi ia dan suaminya tidak selalu berada di dalam rumah,
Bela mengangguk pelan. "Iya, Bu. Aku janji."
lanjut thorrrr💪💪💪