Juru masak di bistro bernama Ruby River yang diminta bekerja di mansion milik keluarga kaya. Di mansion mewah itu, Ruby bertemu dengan pria dingin, arogan, dan perfeksionis bernama Rhys Maz Throne, serta si tengil dan rebel, Zade Throne. Zade jatuh hati pada Ruby pada pandangan pertama. Rhys, yang selalu menjunjung tinggi kesetaraan dan menganggap hubungan mereka tidak pantas, berupaya keras memisahkan Ruby dari adiknya. Ironisnya, usaha Rhys justru berbuah bumerang; ia sendiri tanpa sadar jatuh cinta pada Ruby, menciptakan konflik batin yang rumit.
Perasaan Rhys semakin rumit karena sifatnya yang keras kepala dan keengganannya mengakui perasaannya sendiri. Sementara itu, Ruby harus menghadapi dua pria dengan kepribadian yang sangat berbeda, masing-masing menawarkan cinta dengan cara mereka sendiri. Di tengah dilema ini, Ruby harus memilih: mengikuti kata hatinya dan menerima cinta salah satu dari mereka, atau menjaga harga dirinya dan memendam cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lyraastra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEMBALINYA TUAN MANSION
"Signor dan Signora sudah datang!"
"Cepat berkumpul!"
Eden menarik tangan Ruby kala suara pengawal itu terdengar hingga ke dapur. Walaupun tak tahu jelas, Ruby tetap mengikuti langkah Eden yang membawanya.
"Kita harus menyambut kedatangan Signor dan Signora. Sambut dengan senyum manis dan sikap yang patuh, Signor dan Signora pasti sangat senang."
"Aku kira... koki sepertiku hanya akan berdiam di dapur saja."
"Kau kan juga bagian dari mansion ini. Justru dengan kau tidak ada, itu akan dinilai buruk oleh Signora."
Peraturan yang Ruby sering dengar, tapi sebelumnya belum pernah ia lakukan, dan ini adalah pertama kalinya. Di ambang pintu besar, seluruh staf rumah tangga dan pegawal telah berbaris rapi, membagi dua barisan. Ruby dan Eden terakhir datang, berdiri paling ujung. Kedatangan mobil mewah, membuat suara-suara bisikan tak lagi terdengar. Pengawal yang paling dekat, membuka pintu mobil penumpang. Nyonya rumah turun lebih dulu—elegan dalam balutan mantel krem lembut dan syal sutra berwarna pastel. Di belakangnya, Tuan rumah menjejakkan sepatu kulitnya, berdiri di samping istrinya.
"Selamat datang kembali di mansion, Signor dan Signora..." seretan mereka, di susul dengan menunduk dalam penuh hormat, hanya sejenak.
Ellard dan Beatrice tersenyum tipis, " terima kasih." Beatrice yang membalas, Ellard hanya memberikan anggukan kecil.
Tak ingin berdiam di tempat, sepasang suami-istri itu saling menautkan tangan, berjalan membelah melewati para pekerjanya.
"Ibu! Ayah!" Suara nyaring itu memecah keheningan. Celeste berlari lebih dulu, memeluk tubuh Beatrice, kemudian disambut tangan Ellard yang mengelus surai putrinya, memberikan kecupan lembut di pipi. Kemudian, dua putranya menyusul—Rhys dan Zade. Lebih tenang dari Celeste, cukup memberikan senyum tulus dan berdiri sedikit jauh, membiarkan adiknya itu melepaskan rindu.
Ellard yang justru menghampiri Zade dan Rhys. Memberikan tepukan di bahu masing-masing putranya. Pria dewasa itu menyimpulkan senyum. "Semuanya aman?"
"Tenang ayah. Semuanya terkendali. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Benarkan kakak?" Zade ganti bertanya pada Rhys. Yang di tanya hanya melengos, jelas lebih tertarik pada sosok ayahnya.
"Perusahaan aman. Bahkan jauh lebih baik saat aku yang memegang kendalinya."
Ellard mengangguk, mengakui kesombongan putra pertamanya itu yang memang benar adanya. "Kesombongan yang pantas diakui. Tak ada yang bisa meremehkan mu, Rhys. Bahkan ayah sendiri. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan selama kami di Milan."
"Di mana pujian untukku, ayah? Aku juga sudah menjadi lebih baik selama kalian berada di Milan."
"Menjadi lebih baik dengan menggoda seorang wanita di sini? Atau, merusak mobilku untuk balap liar tanpa meminta izin?"
Badan Zade mundur, kepala miring sedikit. Mata menyipit setengah, nunduk tipis tapi tetap memelotot, memposisikan diri tepat pada sang kakak. "Aku tak menyangka mulutmu semicin ini. Padahal aku sudah berubah jadi pemuda yang sehat, tampan, dan bermoral baik. Tapi selalu saja ada orang yang senang mengungkit dosa-dosa lama.”
"Dosa di masa lalu bukan untuk dilupakan, agar menjadi pelajaran di masa depan."
"Astaga! Apa ini?" Beatrice menegurnya. Tidak hanya untuk basa-basi, tapi juga melerai.
Zade mendekat, memeluk tubuh Beatrice yang langsung di balas. Juga menyempatkan mengecup kening sang ibu. "Bagaimana kabar ibu? Ku harap aku tidak mendapatkan adik lagi setelah kalian kembali dari Milan. Sudah cukup bocah kecil ini yang merepotkan ku."
Celeste menatap sinis, lalu tanpa ragu menendang tulang kering kakak keduanya itu. Mulutnya bergerak, membentuk kata "menyebalkan," meski tak ada suara yang keluar.
"Bekerja Zade, jangan berlebihan seperti itu. Ibu sudah tua."
"Tapi ibu tetap cantik, benarkan ayah?" Zade memainkan alis tebalnya, menggoda Ellard.
"Tentu saja."
Kehangatan keluarga itu tak luput dari perhatian Ruby. Ia merasa senang, seolah benar-benar menjadi bagian dari mereka.
Ketika pemilik mansion lebih dulu meninggalkan ruangan, Eden menggandeng tangannya, membawanya pergi untuk melanjutkan agenda selanjutnya; makan malam bersama.
Selama tangan Ruby digenggam Eden, matanya tak lepas memandangi punggung pria yang semalam nyaris membuatnya mabuk. Bukan nyaris, tapi memang sudah.
Rhys berjalan di samping Beatrice, keduanya tampak saling melepas rindu. Dan entah mengapa, sebelum pria itu berlalu, Ruby merasa... diperhatikan. Oleh Rhys? Pria itu tadi sempat memandang ke arahnya, bahkan saling bersitatap. Tak ingin terlalu percaya diri, tapi tatapan itu nyata. Ia merasakannya, walaupun jauh.
"Kita tidak ada pekerjaan lagi. Bagaimana kalau kita di ruang perpustakaan saja? Sebelum Nyonya dan Tuan beristirahat."
Ruby mengangguk, terlihat antusias sekali. "Boleh. Sudah lama aku tidak membaca buku."
"Kau pergi saja dulu. Aku akan menyusul nanti bersama Mira."
"Baiklah. Jangan lama-lama ya, Eden."
Mereka berpisah tepat di persimpangan dua arah. Lorong untuk ke ruang perpustakaan cukup jauh, Ruby berjalan seperti biasa, tidak lambat tapi juga tidak pelan. Ia sangat senang memperhatikan ukiran-ukiran kuno yang terpahat begitu sempurna. Dekorasi kecil dan lilin yang menyala, bukan untuk menerangi lorong, melainkan mempercantik dan memperdalam gaya klasiknya.
Ruby mendorong daun pintu perpustakaan yang berat dengan hati-hati. Gelap menyambutnya, membuat langkah kecilnya melambat sejenak. Sedikit rasa takut yang membuatnya ragu untuk menyelundup masuk. Gagang pintu masih ia pegang. Mungkin terlalu lama pertimbangan, sampai ia tak sadar seseorang berdiri di belakangnya. Namun sebelum ia sempat melangkah masuk sepenuhnya, sebuah tangan lain menyentuh gagang pintu yang sama. Tubuhnya refleks menegang. Ia mendongak cepat, dan pandangannya langsung bertemu dengan sorot mata yang sangat ia kenal.
Tuan Rhys.
Nama itu menggantung di ujung lidahnya, tapi tak sempat keluar.
Rhys tak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya memberikan sebuah isyarat lewat mata dan gerakan, yang dapat dimengerti oleh Ruby. Ruby menurut, masuk lebih dulu dan di susul oleh Rhys yang langsung mengunci pintu dari dalam.
Ruby panik, mencegah dengan menyentuh pergelangan tangan Rhys. "Apa yang Tuan lakukan?"
"Apa aku perlu pendapatmu untuk melakukan sesuatu? Ini hak ku. Sekarang diam saja. Jika Eden memanggilmu dari luar, jangan menyahut."
"Untuk apa? Aku tidak mau." Tanpa sadar meninggi, dan terdengar sangat kasar di telinga Rhys.
Tatapan Rhys awalnya tajam, berubah cepat. Bibirnya menyeringai, sampai Ruby yang memperhatikan perubahan wajahnya, kehilangan kata. Ia tak tahu pasti, apakah sedang takut... atau hanya menunggu apa yang akan dilakukan Rhys selanjutnya.
"Aku sudah bilang, kan? Aku benci saat kau beada di sekitar Zade. Sekarang dia sedang mencarimu... tapi tenang saja, aku pastikan dia tak akan menemukanmu." Rhys menyelipkan kunci besi itu ke dalam saku dalam jasnya. Memastikan pintu ini tidak akan terbuka, tanpa se izinnya.