Ina gadis yang di nikahi tanpa tahu alasan pernikahan itu.
Bukan pernikahan sewajarnya yang diberikan sang suami, namun sikap acuh dan sombong bahkan tak tersentuh. Ina baru tahu jika dia memang istri pria itu tapi wanita lainlah yang menjadi pemilik singgasana hati suaminya.
Sanggupkah dia memperjuangkan statusnya?.
SESSION 2
Maurie gadis cantik yang dinikahi karena sesuatu dendam yang tak dia ketahui. Dia dijebak menjadi istri seorang lelaki, Deon.
Sementara cinta sejati juga akan menghampiri Maurie, lelaki yang tulus, baik sebaik seorang Ardi yang dikhianati gadis tercintanya di depan matanya sendiri.
Akankah takdir menyatukan Ardi dan Maurie?
Atau kah mereka terikat ditempat masing masing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sha21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
IS chapter 29
Ina menaiki bus menuju kota B, menanggalkan rasa khawatirnya, meneguhkan hati untuk membuka lembaran baru dan tak mau menengok ke belakang tantang nasib yang membelenggu sebelumnya.
'Aku harus kuat, kita akan saling menjaga ya sayang'
Seolah berbicara pada bayi yang masih ada didalam perutnya, mengelus perutnya dengan sangat menyenangkan, karena sekarang dia tidak sendirian lagi, akan ada teman kecil yang lucu, yang dalam beberapa bulan lagi menemani hari hari menyenangkan bersama dirinya. Miliknya dan tidak akan terpisah atau menyakiti.
Tiba di stasiun kota ini, begitu ramai, Ina tersenyum melihat sekeliling, banyak orang lalu lalang disana.
"Non Ina"
Seorang paruh baya mendekat.
"Maaf, siapa ya?"
"Saya Lilis non dan ini Inke, kami disuruh tuan besar menjemput non"
"Maksud bibik itu papah Eric?"
Mereka mengangguk lalu tersenyum. Ina berjalan bersisian dengan bik Lilis dan Inke. Mereka memasuki Livia putih dengan sopir paruh baya yang tersenyum ramah menyambutnya.
"Wah non Ina menantu tuan ya Lis?"
"Iya pak, non kenalkan itu mang Usin suami bibik"
"Salam kenal mang, berarti Inke itu putri bibik ya?"
Mereka tersenyum bersama.
"Saya anak angkat non"
Inke gadis manis berkulit sawo matang itu menyahut sambil tersenyum. Dia berada di kursi depan dengan sang ayah. Mobil melaju dengan kecepatan sedang, menuju jalanan sempit yang hanya bisa di lalui satu mobil saja.
Kini mata Ina dimanjakan dengan pemandangan pedesaan yang indah, asri, lagi sejuk. Sejenak Ina teringat 13 tahun tinggal dengan nenek Sri di kampung halamannya.
Bibir Ina tertarik membentuk lengkungan senyum cantiknya.
"Non kita sudah sampai"
Bik Lilis menepuk bahu majikannya yang seumuran Inke, putri angkatnya. Ina tersadar dari lamunannya, dengan segera tersenyum pada wanita paruh baya dan juga mengangguk.
"Oh maaf bik, Ina takjub akan keindahan desa ini"
"Oh sukurlah jika non sudah jatuh hati pada desa tempat tinggal kami"
"Sangat nyaman, lagi sejuk sekali"
Mang Usin tersenyum, sembari mengangkat tas milik majikan barunya.
"Non tinggal di rumah ini, sedangkan kami tinggal di seberang rumah milik non"
Ina tersenyum mengangguk. Sambil kakinya menapaki rumah sederhana itu dengan halaman yang agak luas, rumah dengan dua kamar dilengkapi kamar mandi di setiap kamarnya juga kamar mandi terpisah ruang tamu dapur dan yang sangat Ina sukai halaman belakang begitu sejuk dengan adanya beberapa jenis bunga di bawahnya kursi tempat duduk juga dudukan seperti ayunan bertengger disana. Ina berkeliling rumah dan dengan setia bik Lilis menemani, sementara Inke putri angkatnya menyiapkan makan siang di dapur, mang Usin sendiri membersihkan lahan yang tersisa, supaya bisa di gunakan nyonya baru mereka.
"Bagaimana non?"
Ina berbalik dan tersenyum.
"Indah, rumah ini sangat indah sekali"
"Tadinya rumah ini dan tanah yang disini mau di jual oleh tuan Eric, tapi kami keburu pensiun dari rumah utama, jadi beliau menyuruh kami mengurus semua miliknya disini dan penghasilan semua kebun, sawah untuk kami sendiri, asalkan terurus"
"Sayang juga ya kalau di jual"
"Betul non, disini sangat indah, cuma ke jalan raya sekitar 30 menit semua kebutuhan ada, letak tanah milik tuan Eric ini sangat strategis sekali, tapi karena tuan sibuk mengurus bisnis di kota makanya disini terbengkalai"
"Oh"
"Mungkin tuan muda juga lupa dengan tanah yang tuan Eric miliki di kota ini"
"Semoga saja ya bik, supaya liburan ku tenang"
Ina tersenyum, sambil tangannya di masukan ke dalam kaos oblongnya untuk mengelus perutnya yang masih rata, yang didalamnya terdapat buah hatinya.
"Non bener sedang liburan?"
"Iya"
Ina menjawab sambil tersenyum, dan itu membuat dugaan tak berdasar bik Lilis sirna.
"Non makan siang sudah siap"
Mereka menuju meja makan, menyantap santap siang mereka dengan lezat.
Uweeekk.......uweeekk
Entah sudah keberapa kalinya Revan bolak balik kamar mandi memuntahkan isi perutnya yang baru masuk 1 jam lalu. Lelaki gagah nan tampan itu, lemas tak berdaya.
"Kenapa rasanya lemas sekali?"
Revan bukan dewa yang tidak pernah mengalami sakit, meski arogan nan dingin dia juga manusia.
"Tuan"
Suara Bagas asisten juga perangkap dirinya di kantor mengetuk pintu kamarnya.
"Masuk, tidak di kunci"
Bagas, Sam, juga seorang lelaki dewasa seumuran mereka itu tersenyum manis sambil masuk ke kamar bos nya, karena mereka baru pertama kali di perbolehkan masuk ke kamar terlarang itu.
""Wah, kamar mu tidak di ragukan lagi bos"
Suara berat Sam bersuara. Sementara sang pemilik hanya terpujur tak berdaya diranjang empuknya. Revan hanya melirik malas ke sosok kakak angkatnya itu.
"Kenapa kalian berbondong bondong kemari? bukannya aku hanya menyuruh Bagas seorang?"
Bagas yang disebut namanya, hanya diam menunduk. Sedangkan Sam menggaruk rambut yang sudah mulai ada ubannya. Dan seorang lelaki hanya geleng geleng kepala menyadari dia tidak di inginkan lelaki seumurannya yang sombong itu.
"Adik ku, aku kemari menjenguk mu, Bagas kemari di suruh oleh mu dan si dokter itu aku undang untuk memeriksa diri mu?"
"Alasan saja kau"
Mereka semua tersenyum, namun Revan tidak menolak di periksa karena memang benar ucapan Sam, dia butuh dokter saat ini, dia sudah tidak kuat setiap pagi hampir 5 hari merasakan seperti itu. Rasanya tenggorokan panas, perut nyeri dan entah mengapa lemas sekali.
"Bagaimana?"
Revan sudah tidak sabar ingin mendengar kondisi tubuhnya.
"Kau sehat dan baik saja tidak ada penyakit apa pun"
"Benar kah?"
Sam bersuara, Revan hanya terdiam mencerna penjelasan dokter Malik itu.
"Apa kau yakin Hen?"
Kini Revan yang bertanya, karena menurutnya penyakitnya sangat parah. Terlihat beberapa hari ini Revan selalu pusing, mual bahkan tiba tiba lemas saja tanpa sebab, tidak ingin beraktifitas hanya ingin tiduran saja, bahkan makan pun tak ingin.
"Tentu, mungkin kau hanya butuh vitamin dan asupan gizi saja"
"Hah"
Revan melongo seakan tak percaya penyakit separah yang dialami Revan, nyatanya tidak ada penyakit apa pun.
"Hei, dia bilang kau sehat saja"
Sam menepuk pundak adik angkatnya, agar kembali ke alam nyata.
"Apa benar, coba kau periksa diri ku sekali lagi"
"Aku sudah 10 tahun menjadi dokter, jadi sudah di pastikan tidak mungkin salah"
"Tapi aku sakit parah"
"Lalu"
"Ya kau periksa yang betul lah, jangan jangan kau lelah dan tidak memeriksa dengan benar"
"Hei, kau meragukan kemampuan ku!"
Suara dokter yang bernama lengkap MALIK MAHENDRA ADAM itu meninggi satu oktaf. Pasalnya dia tidak terima dikatakan tidak benar dengan pemeriksaannya.
"Kau berani meninggikan suara mu!"
Dokter Malik hanya terdiam melanjutkan kegiatannya menulis resep untuk sepupu bawelnya itu.
"Jangan kau intimidasi, dia dokter bro, nanti mentalnya ciut dan salah memberi resep"
Sam mengingatkan Revan, supaya pemeriksaan cepat selesai. Juga tidak ada perdebatan menegangkan antara sepupu dan sahabat itu.
"Biasanya penyakit ini terjadi pada pria yang sangat mencintai istrinya"
Dokter Malik berucap seolah pada dirinya sendiri, namun itu sontak menarik atensi Revan juga Sam, meski Bagas penasaran namun dia memilih abai, karena dirinya belum berkeluarga dan itu juga menyangkut privasi tuannya. Terbukti dengan kini Revan menegakkan duduknya.
"Apa maksud mu?"
Dokter Malik melirik sebentar, lalu memberikan resep pada Bagas asisten kepercayaan Revan untuk segera ditebus. Agar tuannya tidak mengoceh terus menerus.
Bukan hanya Revan yang penasaran akan jawaban dokter Malik atas perkataannya sendiri, namun Sam juga dibuat penasaran. Dokter Malik yang tidak lain keponakan mamah Mila, yaitu mamah dari Revan kini duduk diatas ranjang memandang kearah kedua lelaki dewasa itu, menatap bergantian, pasalnya mereka sudah beristri dan memiliki anak tapi tidak mengerti penyakit ngidam yang bisa di derita oleh sang ayah dari bayi yang sedang dikandung sang ibu. Lain halnya dengan dirinya yang masih lajang alias belum menikah atau tepatnya belum menemukan wanita yang bisa mengikat hatinya.
"Apa istri mu sedang hamil?"
DEG............
BERSAMBUNG
efek'y bikin gw naek darah turun perut y thorrr ...