Clarissa, yang terikat oleh sistem terpaksa harus menjalani dua kehidupan lagi agar dia bisa mati dengan tenang.
Setelah dalam kehidupan sebelumnya, suskses sebagai wanita karir yang dicintai oleh keluarga dan semua orang, kini dia terlempar ke jama di era 80 an yang terlahir sebagai bayi dari keluarga buruh tani miskin yang tinggal di desa Sukorejo.
Misi kali ini adalah mengentaskan keluarganya dari kemiskinan dan menjadi wanita suskse seperti sebelumnya.
Mampukah Clarissa yang kini bernama Lestari,seorang bayi dengan otak dan pemikiran wanita dewasa,yang sudah pernah jatuh bangun dalam menjalankan usahanya mampu menyelesaikan misinya?
Kehidupan di era 80 an tidaklah mudah, keterbatasan alat dan juga masih tingginya praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) membuat hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi Lestari yang dalam kehidupan sebelumnya banyak ditunjang oleh kemajuan teknolgi dan percepatan informasi.
Penasaran...
ikuti terus kisa Lestari dalam cerita ini!
HAPPY READING...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon julieta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERGI KE KOTA
Waktu berjalan dengan cepat, tak terasa Tari sudah berusia empat bulan dan rumah bata yang mereka bangun pun juga sudah mulai dihuni.
Tak seperti perencanaan sebelumnya, karena rejeki yang cukup deras, lantai rumah mereka tak lagi diplester melainkan sudah menggunakan keramik putih yang bersih sehingga Tari yang baru mulai merangkak bebas berkeliaran didalam rumah tanpa takut kotor.
Meski ucapannya belum jelas, Tari sudah bisa memanggil bu dan yah untuk ayahnya. Bayi berusia tiga bulan itu juga sudah bisa memanggil mas untuk ketiga kakaknya.
Selain perkembangan motorik, Tari yang sudah mulai bisa makan sangat rakus hingga berat badannya tiap bulan naik secara signifikan, membuat pipinya semakin cubby dan badannya gemuk putih menggemaskan.
Tempat produksi yang mereka miliki pun semakin lebar karena hampir semua ladang telah Supardi sulap menjadi tempat untuk produksi seiring naiknya permintaan pasar yang sudah merambah keluar kota.
Kini, dia juga punya beberapa langganan tetap dipasar induk untuk membeli singkong, ketela dan jagung. Karena pembelian Supardi sangat besar, harga yang didapatkannya pun bisa lebih murah daripada harga pasaran yang berlaku.
Supardi juga menerima penjualan ketela, singkong dan jagung dari para tetangganya jika dilihat hasilnya bagus dan memuaskan.
Kini, bukan hanya singkong saja yang dibuat keripik, tapi juga ketela dan juga jagung yang dibuat marning jagung aneka rasa yang kebetulan juga memiliki pangsa pasar tersendiri sehingga aneka produksi camilan mereka produksi semakin banyak varian dan rasa.
Belum juga bolu kering buatan Srikandi yang enak, juga ikut dipasarkan. Ibu kantin, sebagai distributor pertama mereka saat ini menjadikan kantinnya hanya sebagai selingan saja karena fokus utamanya memasarkan produk camilan yang Supardi buat karena hasilnya sangat menguntungkan.
“Sekalang usaha kelualga sudah bagus. Kenapa ayah tidak beli motol saja. Tak pelu balu, yang jelas bisa dibuat akomodasi ayah untuk kesana kemali kalena jujul saja, jika halus bolak-balik naik kendalaan umum, selain melepotkan juga tidak hemat waktu. Jika ayah punya motol sendili maka pelajalanan ke pasal induk lebih mudah, dan ayah juga bisa mengantal pesanan langsung ke konsumen tanpa halus menunggu mereka datang untuk mengambilnya sendili. Dengan begini, maka konsumen yang ayah layani akan melasa puas dan pastinya akan membeli lebih banyak diamsa depan atau melekomendasikan ploduk yang ayah miliki kepada teman-teman atau saudalanya. Bukankah itu lebih menguntungkan”, guman Tari dalam hati.
Supardi yang kebetulan tengah menemani Tari bermain mendengarkan semua celotehan bayinya yang tengah duduk sambil memainkan mainannya, tanpa tahu jika suara hatinya terdengar oleh keluarganya.
Narto yang juga ikut mendengarkan ucapan Tari terlihat sangat bersemangat. “Ayah, apa ayah tidak ingin beli motor. Meski tidak baru, setidaknya itu akan mempermudah ayah untuk pergi kemana-mana”.
Melihat kelicikan dimata anak ketiganya, Supardi hanya bisa geleng-geleng kepala karena sangat tahu jika Narto sangat ingin diajak jalan berkeliling naik motor seperti beberapa temannya. Sayangnya, kehidupan mereka dulu sangat miskin sehingga jangankan membeli motor, membeli bensin sebagai kompensasi jika berniat meminjam motor tetangga pun sangat sayang untuk dia keluarkan karena menganggap uang yang akan dikeluarkan utuk dibelikan bensin bisa dibuat untuk membeli bahan makanan atau lauk sehingga hal kecil tersebut tak pernah terealisasi.
“Ayah juga sempat kepikiran akan hal itu. Nanti coba ayah diskusikan dengan ibu dulu ya”, ucap Supardi sambil mengusap kepala Narto dengan penuh kasih sayang.
Mendengar janji sang ayah, meski belum pasti, melihat prediksi Tari, dia sangat yakin jika sebentar lagi keinginannya untuk bisa berkeliling mengendarai motor akan terwujud.
Supardi yang melihat Tari sudah beberapa kali menguap pun segera menggendong dan memberikannya kepada Srikandi untuk disusui dan ditidurkan.
“Setelah membereskan mainan, mas Narto tidur siang juga ya”, ucap Supardi sebelum siluet tubuhnya menghilang dibalik selambu kamar.
Narto yang sudah membayangkan sebentar lagi akan jalan-jalan bersama ayahnya naik motor pun membereskan mainan dengan penuh semangat. Setelah mencuci tangan dan kaki, diapun segera masuk kedalam kamarnya untuk tidur siang.
Dirumah baru ini, semua orang memiliki kamar masing-masing, bahkan Tari yang masih bayi pun memiliki kamar sendiri yang saat ini masih dibiarkan kosong, hanya diisi ranjang sebagai kamar tamu dan baru akan disiapkan nanti ketika bayi perempuan itu sudah siap untuk tidur sendiri.
Semua hal sudah Supardi dan Srikandi rencanakan dengan baik. Bahkan untuk kamar mandi dan wc juga dia buat berada dalam rumah, tak seperti dulu berada diluar rumah dengan kondisi terbuka.
Hal ini memudahkan bagi anak-anaknya untuk kekamar mandi pada malam hari, meski sumur masih berada diluar rumah dimana hanya diberi lubang untuk mengisi air kamar mandi yang posisinya ada didalam rumah menggunakan pipa.
Hal ini juga berlaku untuk dapur dan juga rumah produksi sehingga ketika mereka memerlukan air tak harus lari kearah sumur. Cukup ada satu orang yang menimbah disumur sementara yang lainya tinggal menunggu air tersebut mengalir melalui pipa, sangat efisien dan menghemat tenaga.
Sayangnya, listrik belum masuk kedesa, jika sudah ada listrik makam kehidupan masyarakat akan lebih mudah.
Semua ide ini dicetuskan oleh Tari yang digabungkan dengan kemampuan dan pemahaman Supardi dalam mewujudkan setiap keinginan bayi perempuannya yang memang ingin keluarganya menjadi lebih baik.
***
Keesokan harinya, setelah semalam mendiskusikan hal tersebut dengan istrinya, hari ini Supardi dan Srikandi pun berniat untuk pergi ke dealer motor yang ada di kota T.
Karena jaraknya cukup jauh dan membutuhkan waktu sekitar dua setengah jam perjalanan dengan dua kali oper kendaraan umum, Supardi dan Srikandi pun memutuskan untuk berangkat selepas sholat subuh, ikut nebeng pick up yang hendak mengantarkan sayuran segar ke kota.
Kebetulan hari ini hari minggu sehingga produksi libur dan anak-anak juga libur sekolah membuat Supardi dan Srikandi hanya perlu menyediakan sarapan untuk mereka sebelum pergi dan berpesan agar tak main jauh-jauh sebelum mereka berdua pulang.
Meski baru pertama kali pergi jauh, Supardi yang takut bayinya rewel pun terpaksa melobi Suparman, supir pick up yang biasanya tiap minggu pergi kekota untuk mengantar sayuran segar milik juragannya, dengan membayar uang kepadanya yang sebenarnya jauh lebih mahal daripada naik kendaraan umum, tapi demi kenyamanan Tari, Supardi pun rela mengeluarkan ongkos lebih.
Karena membawa bayi, Srikandi duduk didepan bersama supir sementara Supardi dan kenek Suparman yang bernama Nandar duduk dibelakang bersama puluhan kilo sayur yang telah dipacking rapi yang akan dibawah kekota.
Tari yang baru pertama kali keluar dari rumah cukup senang dan sepanjang perjalanan dia sangat menikmati hamparan hijau pepohonan yang tumbuh diatas pegunungan.
Bayi cantik itu menghirup dalam-dalam udara segar tanpa polusi sambil tersenyum ceria, membuat Srikandi yang duduk memangkunya merasa senang.
“Tari senang ikut pergi kekota?”, tanya Srikandi penasaran.
“Cenang...Tali cenang...”, ucapnya terbata-bata.
Suparman yang berada disamping Srikandi sedikit terkejut mendengar jika bayi itu sudah bisa bicara, meski belum lancar.
“Bayimu sudah bisa ngomong Sri? Bukankah dia baru berusia empat bulan?”, tanyanya penasaran.
“Satu minggu lagi, Tari genap berusia lima bulan. Iya, perkembangan Tari ini lebih cepat sedikit dari kakak-kakaknya dulu”, jawab Srikandi sedikit hati-hati.
Kadang dia bingung bagaimana menjelaskan kepada orang-orang karena jujur saja, perkembangan Tari ini sangat cepat. Bayi yang seumuran dengannya saat ini hanya bisa berguling dan baru mulai merangkak. Sementara Tari, sudah bisa duduk bahkan kadang-kadang dia juga sudah mulai berdiri, meski belum bisa terlalu lama, setidaknya jika ada yang mengetahui pasti akan terkejut.
Suparman yang sudah biasa pulang pergi kekota dan melihat banyak hal aneh dan atas perkembangan apapaun itu diluar, meski terkejut tapi tak terlalu heran juga seperti warga desa pada umumnya.
“Gizi bayimu tampaknya sangat terjamin hingga dia bisa memiliki perkembangan dan kecerdasan yang lebih dibandingkan anak seusianya”, ucap Suparman, membuat hati Srikandi sedikit lega.
Suparman pun menceritakan mengenai banyak hal yang dia temui dikota, terutama masalah bagaimana orang kota dalam memperlakukan bayinya.
Menurut apa yang pernah pria itu lihat dan dengar, makanan dan susu yang dikonsumsi oleh bayi akan sangat mempengaruhi perkembangannya. Bahkan beberapa keluarga kaya di kota bahkan rela membeli susu dari kota yang lebih besar, yang harganya sangat mahal demi bisa memiliki anak yang cerdas.
Mendengar hal itupun, Srikandi tak lagi kikuk ketika sepanjang perjalanan Tari berceloteh atau melakukan hal-hal yang sering membuat orang lain terkejut, setidaknya tidak untuk Suparman.