NovelToon NovelToon
Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Rumahhantu / Romantis / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama
Popularitas:337
Nilai: 5
Nama Author: YourFriend7

Liburan Natal di Villa Edelweiss seharusnya menjadi momen hangat bagi Elara, Rian, dan si jenaka Bobi. Namun, badai salju justru mengurung mereka bersama sebuah piano tua yang berbunyi sendiri setiap tengah malam—memainkan melodi sumbang penagih janji dari masa lalu.
​Di tengah teror yang membekukan logika, cinta antara Elara dan Rian tumbuh sebagai satu-satunya harapan. Kini mereka harus memilih: mengungkap misteri kelam villa tersebut, atau menjadi bagian dari denting piano itu selamanya.
​"Karena janji yang dikhianati tak akan pernah mati, ia hanya menunggu waktu untuk menagih kembali."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YourFriend7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Reset Memori dan Genre Baru

"Maaf, Anda... siapa?" kata Rian.

Kalimat singkat itu menghantam dada Elara lebih keras daripada palu Bobi.

Rian menatapnya dengan pandangan kosong. Bukan kosong seperti mayat hidup, melainkan kosong yang polos. Seperti kanvas putih yang belum tersentuh kuas. Genggaman tangannya di jari Elara terlepas, lalu dia menarik tangannya perlahan, menciptakan jarak fisik dan emosional yang menyakitkan.

"Yan, ini gue... Elara," suara Elara bergetar, air mata mengalir tanpa permisi. "Jangan becanda, Yan. Ini nggak lucu."

Dokter Adrian, atau siapapun wujud iblis ini sekarang, terkekeh pelan di balik maskernya. Dia mencatat sesuatu di papan jalannya dengan pena perak yang berkilau.

"Percuma, Nona Protagonis," kata Dokter Adrian santai, seolah sedang mendiagnosa flu biasa. "Saya baru saja melakukan Hard Reset pada arc karakternya. Menurut saya, perkembangan hubungan kalian di Draf Pertama terlalu terburu-buru. Tidak realistis. Jadi, saya hapus semuanya."

"Balikin ingatan dia, Bangsat!" Elara menerjang maju, hendak mencakar wajah dokter itu.

Tapi sebelum Elara bisa menyentuhnya, sebuah dinding transparan berwarna merah muncul di udara, memblokir tubuh Elara.

[ACCESS DENIED: LEVEL TOO LOW]

Tulisan merah itu melayang di depan wajah Elara, berkedip disertai bunyi buzz yang kasar. Elara terpental mundur, jatuh terduduk di lantai keramik yang dingin.

"Sabar," Dokter Adrian merapikan jas putihnya. "Di Draf Kedua ini, kita main pakai aturan RPG. Kamu harus grinding lagi kalau mau dapetin hati dia. Mulai dari nol. Selamat berjuang."

Dengan satu kedipan mata, sosok Dokter Adrian memudar seperti hologram yang dimatikan, meninggalkan mereka sendirian di bangsal yang hening.

"Elara..."

Suara Sarah terdengar dari kasur sebelah. Sarah sudah bangun. Dia duduk tegak, matanya menatap nanar ke arah udara kosong di atas kepala Rian.

"Lo liat itu juga, kan?" tanya Sarah, menunjuk ke atas kepala Rian.

Elara menoleh. Di atas kepala Rian yang kebingungan, kini melayang sebuah bar status berwarna abu-abu.

[Rian. Status: Stranger. Memory: 0%]

[Affection: Neutral]

"Gila..." desis Elara. "Kita beneran jadi karakter game?"

"Aduh, pala gue pusing banget, kayak abis diputer di blender..." Bobi mengerang dari kasur seberang. Dia bangun sambil memegangi kepalanya yang diperban.

Tiba-tiba, di atas kepala Bobi juga muncul tulisan hijau.

[Bobi. Role: Comic Relief. Special Skill: Bad Jokes.]

"Apaan nih?!" Bobi kaget melihat tulisan di atas kepalanya sendiri lewat pantulan cermin lemari. "Comic Relief? Peran lawak? Woy, gue mau jadi Tanker atau Assassin! Masa jadi badut?!"

"Diem dulu, Bob," potong Sarah tajam. Dia turun dari kasur, melepas penyangga lehernya yang ternyata cuma aksesoris, lehernya baik-baik saja di draf ini. Sarah berjalan mendekati Rian.

Rian mundur sampai punggungnya nempel ke sandaran kasur. Dia tampak ketakutan melihat tiga orang asing yang mengelilinginya.

"Kalian siapa?" tanya Rian defensif. "Kenapa ada tulisan-tulisan aneh di atas kepala kalian? Saya gila ya? Saya kecelakaan, kan?"

Elara mendekat pelan-pelan, mengangkat kedua tangannya tanda damai. Dia harus hati-hati. Salah langkah sedikit, status Affection Rian bisa berubah jadi Hostile (Musuh).

"Rian, dengerin gue," kata Elara lembut. "Nama lo Rian. Lo emang kecelakaan, tapi lo nggak gila. Kita... kita temen lo. Kita kejebak di situasi yang aneh bareng-bareng."

Rian menatap mata Elara. Ada keraguan di sana. Bar status di atas kepalanya berkedip pelan.

[Affection: Neutral -> Suspicious]

"Gue nggak inget lo," kata Rian dingin. "Gue nggak inget kalian semua. Dokter tadi bilang kalian mungkin halusinasi gue akibat benturan kepala."

"Si Adrian bener-bener anjing," umpat Bobi pelan. "Dia nanemin narasi palsu di otak Rian."

"Rian, liat tangan lo," kata Sarah cerdas. "Liat tangan kanan lo. Apa yang lo rasain?"

Rian menunduk melihat tangan kanannya. Tangan itu terlihat normal, kulit sawo matang biasa. Tapi saat Rian menggerakkan jarinya, ada jejak afterimage berwarna emas yang tertinggal sepersekian detik.

"Anget..." gumam Rian bingung. "Rasanya kayak... megang matahari."

"Itu karena lo punya kekuatan, Yan," kata Elara, mengambil kesempatan itu. "Lo bukan orang biasa. Lo Co-Writer. Lo pernah nyelamatin kita semua."

Rian memegangi kepalanya yang sakit. Sekelebat bayangan, gadis yang memegang pulpen berdarah, mobil yang melayang di jurang muncul di benaknya, tapi buram dan acak.

"Argh!" Rian mengerang kesakitan.

[Warning: Memory Block Active. Do not force.]

Peringatan merah muncul di atas kepala Rian.

"Jangan dipaksa, El," cegah Sarah. "Sistemnya nolak. Kita harus cari cara lain buat ngebuka kuncinya. Mungkin cari item pemicu memori?"

Tiba-tiba, lampu neon di bangsal itu berubah warna. Dari putih steril menjadi merah remang-remang.

Suara sirene melengking keras dari speaker di langit-langit. Bukan sirene ambulans, tapi sirene peringatan udara air raid siren yang bikin kuping sakit.

WIIIIUUUU.... WIIIIUUUU....

Lalu, terdengar suara pengumuman dari speaker. Suara Adrian, tapi dengan nada datar seperti operator mesin.

"PERHATIAN KARAKTER. DATA MENUNJUKKAN PEMBACA MULAI BOSAN DENGAN DRAMA RUMAH SAKIT. MEMULAI PROTOKOL PERGANTIAN GENRE."

"Pergantian genre?" ulang Bobi bego.

"MENGUBAH GENRE DARI: DRAMA MEDIS... MENJADI: SURVIVAL HORROR (ZOMBIE MODE)."

KLAK.

Pintu bangsal mereka terkunci otomatis. Lampu indikator di gagang pintu berubah merah.

"Zombie?!" pekik Bobi. "Woy, gue nggak bawa palu gue! Palu gue mana?!"

Di luar pintu kaca bangsal, di lorong rumah sakit yang tadinya sepi, mulai terlihat bayangan orang-orang berjalan. Tapi jalannya aneh. Menyeret kaki. Patah-patah.

Salah satu sosok itu mendekat ke kaca dan menempelkan wajahnya.

Itu perawat yang tadi mengganti infus Elara.

Tapi wajahnya sudah tidak ada. Wajahnya rata, cuma ada tekstur kertas kusut. Dan mulutnya... mulutnya adalah robekan kertas vertikal yang menganga lebar, meneteskan tinta hitam.

"Re...vi...si..." desis perawat kertas itu.

Lalu, puluhan sosok lain muncul di belakangnya. Pasien, dokter, cleaning service, semuanya telah berubah menjadi Paper Zombies. Mereka mulai menggedor kaca bangsal.

BAM! BAM! BAM!

Kaca itu mulai retak.

"Kita harus keluar dari sini!" teriak Sarah. Dia mencari senjata. Dia menyambar tiang infus besi. "Bobi, cari apa kek!"

Bobi mengambil pispot logam di bawah kasur. "Yaelah, senjata gue ginian amat."

Elara menatap Rian. Cowok itu masih duduk di kasur, shock berat melihat zombie-zombie di luar.

"Rian, lo harus ikut kita!" Elara menarik tangan Rian.

Rian menepis tangan Elara kasar.

"Jauh-jauh!" bentak Rian. Matanya liar ketakutan. "Kalian ini apa?! Kalian bawa monster-monster itu ke sini kan?!"

[Affection: Hostile]

Status Rian berubah merah. Dia menganggap Elara ancaman.

"Rian, please!" Elara memohon.

Kaca bangsal pecah. PRANG!

Zombie kertas pertama merangkak masuk, meneteskan tinta hitam ke lantai.

"Awas!" Sarah maju, menghantam kepala zombie itu dengan tiang infus.

BUK! Kepala kertas itu penyok, tapi zombie itu nggak mati. Dia malah mencengkeram tiang infus Sarah dan menariknya.

"Mereka kuat banget!" teriak Sarah.

Elara melihat sekeliling. Dia butuh senjata. Dia meraba sakunya.

Tuts piano hitam itu. Masih ada di sana.

Elara mengeluarkannya. Tapi saat dia mau menggunakannya, dia melihat Rian.

Rian sedang memegang pisau bedah yang dia ambil dari meja nampan di samping kasurnya. Tangan Rian gemetar, tapi dia mengarahkan pisau tajam itu lurus ke arah Elara.

"Jangan deket-deket gue," ancam Rian. Matanya penuh ketakutan yang murni. "Gue nggak segan-segan buat nyerang lo."

Elara terjepit. Di belakang ada pasukan zombie kertas yang membanjiri ruangan. Di depan, Rian yang amnesia mengacungkan pisau padanya karena menganggap dia musuh.

Dan di atas kepala Rian, muncul Quest baru berwarna ungu:

[NEW QUEST UNLOCKED: KILL THE STRANGER (ELARA) TO SURVIVE.]

[REWARD: MEMORY FRAGMENT #1]

Elara membaca tulisan itu dan darahnya membeku.

Adrian benar-benar sakit jiwa. Dia memberi Rian misi untuk membunuh Elara supaya ingatannya kembali.

Zombie perawat itu sudah bangkit lagi dan menerjang ke arah punggung Rian yang tidak waspada.

"Rian, awas belakang!" teriak Elara.

Rian tidak percaya. Dia pikir itu trik. Dia malah maju menerjang Elara dengan pisau bedah.

Elara tidak menghindar. Dia merentangkan tangannya.

"Tusuk gue kalau itu bikin lo inget," bisik Elara pasrah.

Tapi sebelum pisau itu menyentuh dada Elara, zombie perawat di belakang Rian menggigit bahu Rian.

"ARGH!" Rian menjerit, menjatuhkan pisaunya.

Darah Rian muncrat. Tapi bukan darah merah.

Darahnya Tinta Emas.

Cipratan tinta emas itu mengenai wajah zombie perawat.

SSSSHHH!

Zombie itu menjerit kesakitan dan terbakar hangus seketika.

Rian jatuh berlutut, memegangi bahunya yang mengeluarkan cahaya emas. Dia menatap darahnya sendiri dengan tatapan ngeri.

"Gue... gue monster..." bisik Rian.

"Bukan," Elara berlutut di depannya, memungut pisau bedah itu, dan berdiri membelakangi Rian, menghadap pasukan zombie yang datang. "Lo pahlawan kita. Dan sekarang giliran gue yang lindungin lo."

Elara menggenggam tuts piano di tangan kiri dan pisau bedah di tangan kanan.

"Bobi! Sarah! Formasi segitiga! Lindungin Rian!" teriak Elara. Aura Protagonist-nya menyala terang.

Tapi masalahnya belum selesai.

Lantai di bawah kasur Rian tiba-tiba berlubang. Sebuah tangan raksasa muncul dari bawah, tangan yang terbuat dari ribuan tuts piano yang tajam.

Tangan itu mencengkeram kaki Rian dan menariknya ke bawah dengan kecepatan kilat.

"ELARAAAA!" teriak Rian saat dia diseret masuk ke lubang lantai.

"RIAN!"

Elara melompat ke lubang itu tanpa pikir panjang, menyusul Rian jatuh ke kegelapan level bawah tanah rumah sakit.

Bobi dan Sarah tertinggal di atas, dikepung ratusan zombie kertas.

"Yah, kita ditinggal Sar." kata Bobi sambil memegang pispotnya..

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!