"Apa yang kau lakukan di sini?"
"Aku hanya ingin bersamamu malam ini."
🌊🌊🌊
Dia dibuang karena darahnya dianggap noda.
Serafina Romano, putri bangsawan yang kehilangan segalanya setelah rahasia masa lalunya terungkap.
Dikirim ke desa pesisir Mareluna, ia hanya ditemani Elio—pengawal muda yang setia menjaganya.
Hingga hadir Rafael De Luca, pelaut yang keras kepala namun menyimpan kelembutan di balik tatapannya.
Di antara laut, rahasia, dan cinta yang melukai, Serafina belajar bahwa tidak semua luka harus disembunyikan.
Serafina’s Obsession—kisah tentang cinta, rahasia, dan keberanian untuk melawan takdir.
Latar : kota fiksi bernama Mareluna. Desa para nelayan yang indah di Italia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Bisikan di Kegelapan
Sebulan telah cukup bagi Rafael De Luca untuk pulih sepenuhnya. Tangannya yang pernah di-gips kini telah sembuh, meninggalkan hanya bekas luka yang samar sebagai pengingat akan kenekatannya.
Dia sudah kembali melaut seperti biasa, meski kini kawan-kawannya selalu waspada, mengawasinya bagai elang, siap mencegahnya jika ada niatan untuk melompat ke laut lagi.
Bahkan, mereka melarangnya memakai kalung liontin jangkar itu saat berlayar. Rafael menuruti dengan patuh, apalagi itu juga perintah dari Marco—calon kakak iparnya yang sebentar lagi akan resmi menikahi Giada.
Rafael sangat menghormati keluarga Rinaldi yang dengan lapang dada menerima Giada beserta riwayat asmanya yang diwarisi dari Rosa.
Malam ini, dengan celana panjang dan hoodie abu-abu, Rafael menyelinap keluar dari rumahnya. Langkahnya ringan dan hati-hati menaiki jalanan tebing yang sepi. Dia berhenti di depan rumah Livia, dan dengan hati-hati mengetuk jendela kamar Serafina.
Tok. Tok.
Jendela itu terbuka, dan wajah Serafina yang cantik muncul, disinari cahaya bulan. Senyum manis langsung merekah di bibirnya yang merah saat melihat siapa yang datang.
“Rafa! Apa yang kau lakukan di sini?”
Rafael tersenyum, matanya berbinar. “Aku ingin tidur bersamamu malam ini.”
Serafina terkesiap. “Kau serius?”
Tanpa banyak bicara, Rafael mengangkat sandalnya dan dengan lincah memanjat masuk melalui jendela. Serafina segera menutup jendela dan mengunci pintu kamarnya.
Tiba-tiba, suara Elio terdengar dari luar. “Jangan begadang sampai larut.”
“Aku akan tidur sekarang!” balas Serafina cepat, lalu mematikan lampu utama kamar.
Kegelapan menyelimuti ruangan, hanya diterangi cahaya lembut dari lampu nakas. Serafina memberi ruang di kasurnya, dan Rafael masuk ke bawah selimut yang sama.
“Aku sangat merindukanmu, Rafa,” bisik Serafina, kepalanya menempel di bahu Rafael.
“Aku juga, Bella. Setiap hari,” jawab Rafael, tangannya yang kasar membelai rambut Sera.
“Aku pikir aku telah kehilanganmu untuk selamanya.” Suara Serafina bergetar.
“Laut tidak bisa menjauhkanku darimu.” Rafael mengecup keningnya. “Kau adalah jangkarku.”
Mereka saling memandang, lalu bibir mereka bertemu. Ciuman yang dalam, penuh kerinduan, kepala mereka miring untuk mendapatkan sudut yang sempurna. Setelah beberapa saat, mereka berpisah, hanya untuk kembali mengobrol dengan bisikan.
“Kenapa kau begitu keras kepala?” Serafina menggoda, jarinya menelusuri garis rahang Rafael. “Kau mempertaruhkan nyawa untuk sebuah liontin.”
“Itu adalah bagian dari Mamma-ku,” bisik Rafael. “Dan sekarang itu adalah bagian darimu.” Matanya mengatakan segalanya.
Liontin itu sekarang juga melambangkan Serafina, yang telah menunggunya dengan setia.
Rafael mengecupnya lagi, lebih dalam, tangannya menahan pipi Serafina dan mengusap kelembutan pipi itu.
Saat mereka berpisah, Serafina bertanya heran, “kenapa tanganmu selalu begitu kasar?”
“Jika aku mengelusmu terlalu lama, kulitmu akan menjadi kasar sepertiku,” bisik Rafael, matanya sayu. “Mila suka pipimu yang sangat lembut.”
Serafina tersentuh. Dia lalu membalas dengan membelai pipi Rafael dengan lembut. Rafael memejamkan mata, menikmati sentuhan hangatnya. “Rasanya begitu baik,” gumamnya.
Mereka berciuman lagi, berusaha tanpa suara, menahan desahan. Cara Rafael mengecupnya penuh gairah, seolah menyedot jiwa Serafina, membuat gadis itu merapatkan kakinya.
Rafael menarik napas berat. “Kau ingin lebih, amore?” bisiknya di telinga Sera, membuatnya bergidik.
*Sayang
Serafina hanya diam, wajahnya memerah.
“Selama aku pergi…,” Rafael melanjutkan, suaranya serak. “Kau terus menangis? Kau tidak makan?”
Serafina mengangguk pelan di kegelapan.
Rafael mendesah, kecewa. “Aku kecewa. Aku pergi, dan orang-orang yang kutinggalkan tidak merawat diri mereka sendiri.”
Serafina tidak mau disalahkan. “Kau pergi tanpa pamit,” bisiknya, suara kecil penuh sakit.
“Tuhan tidak memberitahuku bahwa itu akan datang,” balas Rafael lembut. “Aku tidak sempat meminta izin.”
Kalimat itu membuat Serafina memeluknya erat-erat. “Jangan pernah tinggalkan aku lagi, Rafael. Kumohon.”
“Aku tidak akan pernah meninggalkan orang yang kucintai,” jawabnya. “Kecuali Tuhan memanggilku.”
Janji yang seharusnya menenangkan, justru membuat Serafina sedih. Air matanya mengalir tanpa suara. Rafael mengusapnya, lalu mengecup bibir Serafina berulang kali, ciuman lembut untuk menenangkan. “Shhh, amore mio. Sono qui. Sono reale.”
*Cintaku. Aku di sini. Aku nyata.
Kemudian, Rafael terbuai. Mulutnya berpindah, menelusuri leher Serafina yang lembut, meninggalkan jejak kehangatan. Serafina mengerang pelan, berbisik nama Rafael berulang kali. Tapi semakin dia memanggil, semakin bernafsu Rafael. Dengan lembut, dia membalikkan tubuh Sera, sehingga kini gadis itu terjebak dalam kungkungannya di bawah bayangannya.
“Rafael …,” bisik Serafina lagi, tapi kali ini suaranya penuh penyerahan.
Rafael melepas hoodie dan kaosnya, menampilkan torso berotot yang sering terkena sinar matahari. Serafina tidak bisa menahan diri untuk tidak menyentuh perutnya yang sixpack, jari-jarinya menelusuri setiap definisi. Rafael mengerang, nafsu membara, dan kembali menunduk, menghirup wangi khas kulit leher Serafina yang membuatnya ketagihan.
Serafina membiarkan dirinya larut, tangannya mengusap punggung Rafael yang kuat. Dia membiarkan Rafael memuaskan keinginannya. Wajah Rafael berpindah, mengecup ‘bukit’ lembut Serafina melalui gaunnya, lalu semakin turun. Dia menatap mata Sera, memohon izin tanpa kata. Mata Serafina berkaca-kaca, dan dengan takut-takut, dia mengangguk.
Rafael menghilang di bawah selimut. Serafina menutup mulutnya dengan tangan untuk meredam suara, tubuhnya melengkung, jari-jarinya meremas sprei hingga kusut. Gelombang kenikmatan menerpanya, membuatnya lemas dan kehabisan napas.
Beberapa saat kemudian, Rafael muncul kembali, wajahnya penuh kepuasan. Dia mengecup pipi Serafina yang basah oleh keringat dan mungkin air mata.
“Ayo tidur, Amore,” bisiknya.
Serafina memeluknya, nafasnya masih tersengal. “Dan kau?” tanyanya, merasakan ‘masalah’ Rafael yang masih jelas menekannya.
“Jika aku menggunakannya, bisa berbahaya bagimu,” jawab Rafael, merujuk pada pengaman yang tidak mereka miliki.
“Tapi nanti akan sakit,” protes Serafina lemah.
Rafael menggeleng. “Aku akan mengurusnya nanti.”
“Bagaimana?” tanya Serafina polos.
Rafael tersenyum di kegelapan. “Seperti aku merawatmu. Mengelusnya dengan lembut.”
Serafina malu, wajahnya membara. Dia memeluk Rafael erat-erat untuk menyembunyikan rasa malunya.
“Jangan terlalu erat.” Rafael memperingatkan dengan suara serak. “Atau aku akan ‘masuk’ tanpa izin.”
Serafina kemudian menciumi Rafael—pipi, dahi, mata, hidung, bibir, dan dagunya—dengan lembut.
“Serafina, kenapa?” gumamnya, bingung.
“Aku hanya ingin memastikan kau benar-benar kembali padaku,” jawab Sera, suaranya bergetar.
Tiba-tiba, Rafael berbisik, “kau tidak kepanasan dengan gaun itu? Aku sekarat kepanasan.”
Serafina langsung bersiap untuk melepas gaunnya, tapi Rafael menahan tangannya. “Jangan terlalu menurut pada pria,” katanya, setengah bercanda setengah serius. “Kau tidak bisa begitu saja melepas gaunmu.”
Serafina terkekeh. Dia lalu memutar tubuhnya, sehingga kini dia berada di atas Rafael, tepat duduk di atas ‘masalah’-nya yang membara.
Rafael mendesah kesal. “Kau sedang bermain api,” geramnya.
Serafina bergerak nakal, membuat Rafael memukulnya dengan ringan. “Aduh!” pekik Serafina mengusap tubuh belakangnya.
Serafina tertawa ringan, lalu membaringkan diri di atas dada Rafael, masih tertawa. Rafael memeluknya.
“Tidur yang serius, Serafina,” katanya, mencoba terdengar tegas. “Kecuali kau ingin membuat bayi sekarang.”
Kata-kata itu langsung membuat Serafina patuh. Dia cepat-cepat turun dari atas Rafael dan membalikkan tubuhnya, tidur membelakangi Rafael. Rafael tentu saja langsung memeluknya dari belakang, dan Serafina bisa merasakan ‘merpati’ kerasnya yang masih ingin terbang bebas menekan punggungnya.
“Selamat malam, Amore mio,” bisik Rafael, mengecup bahunya.
“Selamat malam, pahlawanku,” balas Serafina pelan, sebelum akhirnya tertidur dalam pelukan Rafael dengan damai dan kepastian bahwa cintanya telah kembali.
...🌊🌊🌊...
“Dari keluarga mana kau, Serafina?” tanya Rafael lagi.
“Veraldi.” Serafina bersikeras. “Namaku Serafina Veraldi.”