Untuk membalaskan dendam keluarganya, Swan Xin menanggalkan pedangnya dan mengenakan jubah sutra. Menjadi selir di Istana Naga yang mematikan, misinya jelas: hancurkan mereka yang telah membantai klannya. Namun, di antara tiga pangeran yang berebut takhta, Pangeran Bungsu yang dingin, San Long, terus menghalangi jalannya. Ketika konspirasi kuno meledak menjadi kudeta berdarah, Swan Xin, putri Jendral Xin, yang tewas karena fitnah keji, harus memilih antara amarah masa lalu atau masa depan kekaisaran. Ia menyadari musuh terbesarnya mungkin adalah satu-satunya sekutu yang bisa menyelamatkan mereka semua.
Langkah mana yang akan Swan Xin pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 Simbol Burung Bul Bul dan Koreksi Rencana.
“Dari mana… dari mana kau dapat ini?” bisiknya, suaranya pecah, sebuah retakan di benteng es yang telah ia bangun selama delapan tahun.
Prajurit Bayangan itu tidak menjawab. Tangannya yang bersarung kulit tetap terulur, mempersembahkan ukiran burung bulbul kayu itu seolah benda tersebut adalah jantungnya sendiri. Keheningan yang menekan menyelimuti teras paviliun, hanya suara jangkrik dan desir angin malam yang menjadi saksi bisu.
“Aku bertanya padamu.” Suara Swan kini bergetar, bukan lagi karena ketakutan, melainkan karena amarah yang mulai membara di bawah lapisan keterkejutannya. “Siapa yang menyuruhmu? Jawab aku!”
San Long, yang sedari tadi diam membeku di balik pilar, akhirnya melangkah keluar dari bayang-bayang. “Tenang,” katanya, suaranya rendah dan waspada. “Meneriakinya tidak akan membuat dia bicara lebih cepat.”
“Ini bukan urusanmu!” sentak Swan, menoleh tajam pada San Long. Matanya yang biasanya dingin kini menyala liar. “Ini… ini urusan pribadiku.”
“Saat benda dari masa lalumu tiba-tiba muncul di tengah pertemuan strategis kita, itu jadi urusan kita,” balas San Long datar. Ia menatap Prajurit Bayangan itu. “Kau tidak akan menjawab pertanyaannya, kan?”
“Perintah adalah perintah, Yang Mulia,” sahut Prajurit itu, suaranya teredam di balik topeng peraknya.
“Perintah dari siapa?” desak Swan. Ia melangkah maju, tangannya terulur untuk merebut ukiran itu, tapi ia berhenti sesaat. Menyentuhnya terasa seperti menyentuh hantu. “Komandan Lei? Guru Wen?”
“Bukan.” Prajurit itu akhirnya menurunkan tangannya sedikit, seolah memberi isyarat agar Swan mengambil benda itu. “Ini dari seorang teman lama.”
“Teman?” Swan tertawa, tawa yang kering dan tanpa humor. “Aku tidak punya teman.”
“Kau punya,” kata Prajurit itu pelan. “Seseorang yang merawat luka Ibumu di hari-hari terakhirnya. Seseorang yang bersumpah pada Jenderal Xin untuk selalu menjagamu dari jauh.”
Darah serasa surut dari wajah Swan. “Tidak mungkin…”
“Tabib Wen Qi,” bisik Prajurit itu. “Adik dari Jenderal Xin. Pamanmu.”
Nama itu menghantam Swan seperti gelombang pasang, menyeretnya kembali ke masa lalu yang kabur, ke kenangan seorang pria eksentrik yang selalu berbau ramuan aneh dan bisa membuatnya tertawa bahkan setelah dimarahi Ayahnya. Ia mengira pamannya telah tewas malam itu, seperti semua orang lainnya.
“Dia… dia masih hidup?” tanya Swan, suaranya kini nyaris tak terdengar.
“Dia hidup. Dan dia mengawasimu.” Prajurit itu meletakkan ukiran burung bulbul itu dengan lembut di atas meja batu. “Dan dia mengirimkan ini sebagai bukti, sekaligus sebagai peringatan.”
San Long melangkah mendekat, matanya yang tajam menganalisis ukiran kecil itu. “Peringatan soal apa?”
“Soal rencana kalian,” jawab Prajurit itu, kepalanya sedikit menoleh ke arah San Long, sebuah pengakuan bahwa ia tahu sang Pangeran ada di sana. “Membuat longsor untuk mengacaukan keuangan Jiang Long itu ide yang bagus. Tapi kalian hanya melihat ranting, bukan akarnya.”
“Apa maksudmu?” tanya Swan, pikirannya masih berputar karena kabar tentang pamannya.
“Pamanku mengirim pesan?”
“Pesannya ada pada burung itu,” kata Prajurit itu. “Dia bilang, ‘Burung bulbul tidak akan bisa bernyanyi jika sangkar emasnya dikendalikan oleh bayangan dari Selatan’.”
“Selatan?” San Long langsung menyela, nadanya tajam. “Maksudmu Raja Zhao? Pasukannya memang ada di…”
“Bukan hanya Raja Zhao,” potong Prajurit itu. “Bayangan ini lebih tua dari ambisi Raja Zhao. Jauh lebih kuat.” Ia menatap Swan. “Ingat buku catatan yang kau curi dari Menteri Su Yang?”
“Tentu saja aku ingat,” sahut Swan. “Bagaimana kau…”
“Ada satu nama di sana,” lanjut Prajurit itu, mengabaikan pertanyaannya. “Sebuah nama sandi yang diulang-ulang. Dewan Kekaisaran Selatan.”
Keheningan yang berbeda menyelimuti mereka. Bukan lagi keheningan emosional, melainkan keheningan strategis yang dingin.
“Aku melihatnya,” kata Swan pelan. “Aku kira itu hanya nama sandi untuk faksi Raja Zhao.”
“Itu kesalahan yang mereka ingin kau buat,” sahut Prajurit itu. “Dewan Kekaisaran Selatan adalah organisasi rahasia yang sudah ada sebelum dinasti ini berdiri. Terdiri dari para bangsawan tua dan tuan tanah dari provinsi-provinsi selatan yang kaya raya. Mereka tidak peduli siapa yang duduk di tahta naga, selama perdagangan dan kekayaan mereka tidak diganggu.”
“Dan sekarang mereka peduli,” simpul San Long, matanya berkilat saat ia menyatukan kepingan-kepingan teka-teki itu. “Karena Kaisar mencoba memberlakukan reformasi pajak beberapa tahun lalu. Reformasi yang akan memotong keuntungan mereka secara drastis.”
“Tepat sekali, Yang Mulia,” Prajurit itu mengangguk. “Merekalah dalang yang sesungguhnya. Mereka yang mendanai Jenderal Zen. Mereka yang memberi Raja Zhao pasukan bayaran. Selir Agung hanyalah boneka yang mereka gunakan untuk menciptakan kekacauan dari dalam. Tujuannya satu: menempatkan kaisar boneka di atas takhta. Seseorang yang bisa mereka kendalikan.”
“Jiang Long,” gumam Swan.
“Atau Zheng Long,” koreksi San Long. “Siapa pun yang paling mudah dimanipulasi.”
Swan akhirnya mengambil ukiran burung bulbul itu. Kayunya yang halus terasa hangat dan familier di telapak tangannya. Perasaan duka yang tajam bercampur dengan amarah yang membara. Permainan ini jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. Dendam pribadinya kini tampak seperti riak kecil di tengah badai besar perebutan kekuasaan atas seluruh kekaisaran.
“Jadi, apa pesan Paman?” tanya Swan, suaranya kini kembali mantap.
“Fokus pada akarnya,” jawab Prajurit itu. “Kalahkan Pangeran Sulung dan Pangeran Kedua, itu penting. Tapi jangan pernah lupakan siapa yang memegang tali mereka. Kumpulkan bukti yang mengarah ke Selatan.”
“Terima kasih,” kata Swan tulus, menatap Prajurit itu. “Katakan pada Pamanku… aku akan melakukannya.”
“Tugasku sudah selesai.” Prajurit itu membungkuk sedikit, pada Swan dan San Long, sebuah isyarat yang mencakup mereka berdua. “Tetap waspada. Musuh kalian bukan hanya ular di istana, tapi juga naga yang bersembunyi di pegunungan selatan.”
Ia baru saja akan melompat dari teras ketika San Long angkat bicara.
“Tunggu,” katanya. “Masih ada satu hal.”
Prajurit Bayangan itu berhenti, menoleh.
“Rencanaku soal longsor itu,” ujar San Long. “Akan aku lanjutkan. Kita butuh pengalih perhatian yang besar.”
“Pilihan yang bijak, Yang Mulia,” sahut Prajurit itu.
“Tapi sekarang aku sadar,” lanjut San Long, menatap lurus pada Swan, “menyerang Jiang Long tidak cukup. Kita harus mendapatkan kembali buku catatan itu dari Zheng Long saat semua orang panik.”
“Bagaimana kau akan melakukannya?” tanya Prajurit itu.
Swan yang menjawab, “Aku yang akan melakukannya. Tapi aku butuh bantuanmu.” Ia menatap Prajurit itu. “Saat kekacauan terjadi, pastikan unitmu membuat keributan kecil di dekat paviliun arsip timur. Cukup untuk menarik sebagian penjaga dari kediaman Permaisuri Utama ke arah yang berlawanan.”
“Akan kulakukan, Nona muda,” Prajurit itu mengangguk tanpa ragu.
Ia melirik ke arah San Long sekali lagi, lalu kembali ke Swan. “Ada laporan terakhir sebelum aku pergi.” Suaranya kini terdengar mendesak.
“Apa itu?” tanya Swan.
“Pangeran Zheng Long. Dia tidak kembali ke paviliunnya setelah meninggalkan kantor Su Yang.”
“Lalu dia ke mana?” desak San Long.
Prajurit itu berhenti sejenak, seolah kata-kata berikutnya terasa berat untuk diucapkan.
“Pengawas kami melihatnya masuk ke sayap penjara bawah tanah,” katanya pelan. “Dia baru saja memanggil Kepala Penyiksa Kekaisaran ke ruang interogasi pribadinya.”
trmkash thor good job👍❤