Maira salah masuk kamar hotel, setelah dia dijual paman dan bibinya pada pengusaha kaya untuk jadi istri simpanan. Akibatnya, dia malah tidur dengan seorang pria yang merupakan dosen di kampusnya. Jack, Jackson Romero yang ternyata sedang di jebak seorang wanita yang menyukainya.
Merasa ini bukan salahnya, Maira yang memang tidak mungkin kembali ke rumah paman dan bibinya, minta tanggung jawab pada Jackson.
Pernikahan itu terjadi, namun Maira harus tanda tangan kontrak dimana dia hanya bisa menjadi istri rahasia Jack selama satu tahun.
"Oke! tidak masalah? jadi bapak pura-pura saja tidak kenal aku saat kita bertemu ya! awas kalau menegurku lebih dulu!" ujar Maira menyipitkan matanya ke arah Jack.
"Siapa bapakmu? siapa juga yang tertarik untuk menegurmu? disini kamu numpang ya! panggil tuan. Di kampus, baru panggil seperti itu!" balas Jack menatap Maira tajam.
'Duh, galak bener. Tahan Maira, seenggaknya kamu gak perlu jadi istri simpanan bandot tua itu!' batin Maira.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon noerazzura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25. Salah Kira
Sepanjang perjalanan menuju ke apartemen, Maira sungguh hanya bisa melihat ke arah ujung sepatu yang dia pakai. Tidak berani mengangkat kepalanya, apalagi menoleh ke arah Jack.
Setibanya mereka di apartemen, Maira bahkan berjalan di belakang Jack cukup jauh. Hingga ketika mereka tiba di depan pintu lift. Sejak terakhir kali, Jack mengajaknya ke apartemen ini. Dia memang tidak pernah berada satu lift bersama dengan Jack lagi. Itu sudah cukup lama. Rasanya akan sangat canggung.
Jack sudah masuk ketika pintu lift terbuka, namun Maira merasa kakinya seperti tiba-tiba ada yang menempel di sok sepatunya. Membuatnya tidak bisa bergerak. Sebenarnya tidak ada sama sekali hal seperti itu, hanya perasaan canggung yang membuatnya enggan masuk ke dalam lift.
Jack melihat itu, Maira terdiam dan terlihat gusar.
"Masuklah!" kata pria itu datar.
Maira menghela nafas, dan mengangkat kakinya. Ternyata memang benar, tidak benar-benar ada lem perekat di sol sepatunya. Memang hanya perasaannya saja.
Pintu lift tertutup. Jack menekan angka dimana unit apartemen mereka berada. Sebenarnya jarak antara satu lantai dan lantai lainnya itu tidak lebih dari 15 detik saja. Tapi bagi Maira, 15 detik itu sepertinya 15 jam. Lama sekali. Dia merasa sebentar lagi pasti akan berkeringat.
Ting
Bahu Maira turun perlahan, dan Jack yang ada di sebelahnya tentu saja memperhatikan hal itu. Bahkan Maira lebih dulu keluar dari lift itu. Dia terkesan ingin terburu-buru meninggalkan lift itu.
'Apa dia takut naik lift?' batin Jack.
Jack berpikir begitu, Jack pikir Maira punya phobia di ruangan sempit. Lift kan ruangan yang cukup sempit. Dan beberapa orang memang memiliki hal seperti itu. Tapi karena memang unit apartemen Jack ada di lantai 17. Pasti akan sangat lelah kalau naik tangga.
Kalau tadi Maira yang mengikuti di belakang Jack. Sekarang Jack yang mengikuti di belakang Maira. Karena Maira memang melangkah lebih cepat dari pria itu.
Pria yang saat ini masih berpikir, kalau gadis di depannya itu memiliki phobia naik lift atau berada di ruangan sempit.
'Aku akan tanya pada Frans, nanti' batinnya lagi.
Di dalam apartemen Maira langsung mengambilkan Jack air minum.
"Ini tuan minumnya. Obatnya dimana ya tuan?" tanya Maira.
Terakhir kali kan dia melihat obat Jack ada di atas meja ruang tengah ini. Tapi sekarang sudah tidak ada. Jadi daripada Maira celingak-celinguk mencari seperti di kampus tadi. Bukankah akan lebih baiknya bertanya saja.
"Ada di meja kamar" jawab Jack.
Maira mengangguk paham. Dia segera beranjak ke kamar Jack untuk mengambil obat yang harus Jack minum.
Begitu Maira membuka pintu kamar, ternyata Jack juga ikut masuk.
Itu membuat Maira sangat gugup.
"Tuan..."
"Bantu aku ganti pakaian!" seru Jack yang pergi ke ruang gantinya.
'Ganti pakaian? kenapa...' Maira menjeda apa yang ada di pikirannya, karena dia langsung ingat saat tangan Jack merah karena melindungi dirinya dari sudut meja.
Bahkan dia meninggalkan mobilnya di kampus, karena tidak bisa menyetir kan? bukankah pastinya Jack juga akan kesulitan ganti pakaian.
Maira menghela nafas panjang, dan berjalan mengikuti Jack.
Pria itu berusaha membuka jasnya. Maira pikir, dia harus membantunya. Tangan satunya masih di perban. Dan satunya lagi merah, sepertinya lebam. Maira rasa akan sangat sulit bagi Jack berganti pakaian.
Deg
Jack menoleh ke belakang, hanya menoleh tanpa berbalik. Maira sedang membantunya membuka jasnya. Dan memang baru Maira saja yang melakukan itu. Sebelumnya tidak ada wanita yang pernah melakukan itu padanya. Jack pikir, dia merasa sedikit berdebar. Sayangnya pria itu terlalu dingin untuk bisa menyadarinya.
Maira meletakkan jas itu di tempatnya. Kemudian beranjak ke hadapan Jack. Maira mengangkat tangannya perlahan, membuka kancing kemeja Jack paling atas.
Deg deg deg
'Maira, ayolah. Hanya buka kemeja saja! kenapa jantungku berdebar secepat ini. Ini bukan uji nyali, di depan kamu itu Jack. Bukan singa. Jangan berdebar karena takut seperti ini?' batin Maira dalam hatinya.
Sementara Jack, matanya sungguh tak berpaling dari wajah memerah Maira. Karena hal ini juga pertama kalinya Maira lakukan, membantu seorang pria membuka kemejanya.
Satu kancing saja, Maira bisa menghabiskan hampir satu menit.
Terlihat semburat senyuman tipis di sudut bibir Jack.
"Kamu gugup?" tanya Jack yang makin membuat debaran jantung Maira semakin cepat.
Maira merasa ada berapa kilo beban di belakang kepalanya. Mau mengangkat kepalanya itu rasanya sulit sekali.
Tapi tangan Jack yang ada perbannya malah meraih dagu Maira dan membuat wanita itu mendongak ke arahnya.
"Kalau membuka kancingnya tanpa melihat, bagaimana bisa kamu melakukannya dengan benar?" tanya Jack dengan suara yang terdengar begitu berat di telinga Maira.
"Maaf tuan..."
Jack menurunkan tangannya, tapi bukannya bersikap tenang. Pria itu makin mendekat ke arah Maira.
"Jaraknya terlalu jauh, tanganmu bisa pegal"
Maira menatap Jack yang tengah menatapnya juga.
'Apa ini dosen yang terkenal galak di kampus itu? kenapa kata-katanya malah terdengar seperti...'
'Suara ponsel berdering'
Itu suara ponsel Jack. Maira menurunkan tangannya, membiarkan Jack menerima panggilan itu.
Jack meraih ponsel di sakunya, dan melihat layar ponselnya itu.
"Halo Tamara..."
[Jack, aku menabrak. Bisa tolong aku? Aku takut sekali]
Maira mundur beberapa langkah. Dia tidak mau mencuri dengar apa yang sedang dibicarakan Jack dengan Tamara.
"Jangan takut, aku kesana sekarang! kirim lokasimu padaku!"
Jack bahkan tidak lagi perduli pada tangannya yang lebam. Pria itu mengambil jasnya. Menggunakannya untuk memakai jas itu lagi dengan satu tangan sambil tangan satu menerima panggilan telepon.
Maira melihat semua itu. Jack meninggalkan kamar itu, tanpa menoleh sekali saja ke arah Maira.
"Dia tadi bilang tangannya..." gumaman Maira itu terhenti.
Mungkin memang seperti itu kekuatan cinta. Seseorang akan lupa pada rasa sakit atau apapun yang dia rasakan. Ketika mendapatkan panggilan dari orang yang dia sukai.
Maira juga menoleh ke arah meja di kamar itu. Dimana obat Jack masih berada disana. Bukannya pria itu tadi sibuk memintanya pulang untuk minum obat. Sekarang malah pergi begitu saja tanpa minum obat itu, hanya karena satu panggilan dari Tamara.
Maira tersenyum.
"Mungkin memang seperti itu rasanya jatuh cinta. Ya sudahlah, lebih baik tidur sekarang! menunggu jemuran kering, lalu menyetrika pakaian sebelum berangkat kerja" gumamnya berjalan menuju kamarnya.
Gadis itu tampak tidak terlalu sedih, padahal suaminya sedang pergi dengan terburu-buru karena panggilan wanita lain. Dia bahkan tersenyum lirih, berharap nanti akan ada pria yang juga sangat khawatir padanya seperti Jack khawatir pada Tamara.
***
Bersambung...
dari sekian novel yg ku baca ini ga ada rasa sakit hati atau nyesek malah enjoy gitu Very good 👍👍👍👍