Tiga Tahun berumah tangga, Amanda merasa bahwa pernikahannya benar-benar bahagia, tapi semua berubah saat ia bertemu Yuni, sahabat lamanya.
Pertemuan dengan Yuni, membawa Amanda pergi ke rumah tempat Yuni tinggal, dimana dia bisa melihat foto pernikahan Yuni yang bersama dengan pria yang Amanda panggil suami.
Ternyata Yuni sudah menikah lima tahun dengan suaminya, hancur, Amanda menyadari bahwa dia ternyata adalah madu dari sahabatnya sendiri, apakah yang akan Amanda lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Dua
“Ada sesuatu yang pengin aku omongin. Tentang aku … tentang kita.”
Suara Azka berat. Setiap katanya seperti mengandung beban berton-ton yang menekan dadanya sendiri. “Aku ingin mengatakan sesuatu yang selama ini aku sembunyikan.”
Amanda yang duduk di seberang meja hanya menatap diam. Matanya tak berkedip, tapi di dalam sana ada tanda-tanda resah yang sulit disembunyikan. Tangannya yang tadi sibuk memainkan gelas kini terhenti di udara. Ia tahu, inilah saatnya. Ada firasat yang sejak tadi membuat dadanya tak tenang.
Mungkin, kalimat berikutnya akan jadi awal dari akhir yang sesungguhnya.
Azka menatap wajah istrinya itu lama sekali. Wajah yang selama ini memberinya kedamaian, namun kini terasa begitu jauh. “Sebenarnya aku ....”
“Tunggu, Mas,” potong Amanda pelan. “Aku juga ada yang ingin aku katakan.”
Azka menatapnya, sedikit terkejut. “Oh … ya sudah. Kamu duluan aja kalau begitu.”
Amanda menarik napas dalam. “Tapi sebelum aku bicara,” ujarnya datar, “Mas buka dulu video yang akan aku kirimkan.”
“Video?” alis Azka berkerut.
Amanda tak menjawab. Ia hanya menunduk, membuka galeri ponselnya, lalu mengirimkan satu file lewat pesan singkat. Tak lama kemudian, suara notifikasi terdengar dari ponsel Azka.
Pria itu mengambil ponselnya dari saku celana, membuka pesan, dan menatap layar. Seketika, napasnya tertahan.
Video itu menampilkan dirinya sendiri, Azka sedang memegang kue ulang tahun bersama seorang wanita dan seorang anak kecil laki-laki. Tawanya dan sang bocah terdengar riang, suara “Selamat ulang tahun, Nathan!” menggema dari rekaman itu. Dan di seberang Azka duduk, ada Yuni istri pertamanya.
Senyum di wajah Azka di video itu membuat suasana restoran itu kini terasa sesak. Amanda menatapnya tanpa ekspresi. Namun sorot matanya tajam, seperti pisau yang menusuk dalam. “Lanjutkan videonya, Mas. Kenapa dihentikan? Pasti Mas juga sudah tau dan ingat semua adegannya,” ucapnya datar.
Azka buru-buru menekan tombol pause. Tangannya bergetar. “Amanda, aku bisa jelaskan semuanya.”
“Jelaskan apa, Mas?” Suara Amanda meninggi sedikit. “Jelaskan kalau kamu sebenarnya telah menikah sebelum denganku dan telah memiliki anak? Kalau kamu ternyata selama ini hidup di dua dunia dan aku cuma bagian dari kebohonganmu?”
“Aku nggak bermaksud ....”
“Cukup, Mas!” Suaranya pecah. “Jangan bilang nggak bermaksud. Semua ini kamu rencanakan, kan? Kamu yang datang ke hidupku, kamu yang yakinkan aku kalau aku satu-satunya. Sekarang … sekarang aku cuma orang ketiga yang bahkan nggak tahu kalau sahabatku sendiri adalah istri pertama suamiku.”
"Sahabat?" tanya Azka dengan raut wajah terkejut.
"Ya, seandainya aku tak bertemu Yuni, mungkin sampai detik ini aku masih hidup dalam kebohongan yang kamu ciptakan!"
Azka memejamkan mata. “Aku salah, Manda. Aku memang salah. Tapi aku benar-benar sayang sama kamu. Aku cinta sama kamu. Aku serius waktu nikahin kamu, aku nggak main-main.”
Amanda menatapnya lama, menahan air mata yang sudah menumpuk di pelupuk. “Sayang?” Ia tertawa getir. “Cinta? Kamu bilang, Mas? Cinta tapi kamu menyembunyikan anak dan istri dari aku. Itu bukan cinta, Mas. Itu pengkhianatan.”
“Aku cuma takut kamu tak mau menerimaku. Aku takut kehilangan kamu,” bisik Azka. “Aku tahu kalau aku jujur dari awal, kamu nggak akan pernah mau bersamaku. Aku takut.”
Amanda menatapnya tak percaya. “Takut kehilangan? Jadi, karena takut, kamu tega membohongi dua perempuan sekaligus?”
Keheningan jatuh di antara mereka. Hanya detik jam dinding yang terdengar, berdetak pelan seperti menghitung sisa waktu kebersamaan mereka.
Azka menunduk, matanya kosong. “Aku akan selesaikan semuanya,” ucap Azka akhirnya. “Aku janji. Aku akan ceraikan Yuni.”
Mendengar itu, Amanda tersentak. Matanya langsung membesar. “Mas gila?!” Azka menatapnya kaget.
Amanda berdiri, suaranya meninggi, penuh amarah. “Mas tahu nggak siapa Yuni itu?! Dia sahabatku, Mas! Aku tak akan menyakitinya lebih dalam. Yuni yang pertama hadir dalam hidup, Mas. Biar aku yang mengalah."
Air mata akhirnya jatuh juga di pipi Amanda. Ia menunduk, menggigit bibir, menahan isak. “Mas sadar nggak, apa yang sudah Mas lakukan? Mas bukan cuma menghancurkan aku, tapi juga siap menghancurkan Yuni kalau dia tahu semua ini.”
Azka terdiam. Bibirnya bergetar, tapi tak ada kata yang keluar.
“Mas,” lanjut Amanda pelan, suaranya gemetar tapi jelas, “kalau aku egois, mungkin aku akan terima waktu Mas bilang mau ceraikan Yuni. Tapi aku nggak bisa. Aku nggak bisa ngelihat sahabatku hancur cuma karena aku. Cukup selama ini dia menerima perlakuan tak adil dari Mas. Selama ini Mas selalu bersamaku. Sudah waktunya Mas menebus kesalahan. Kembali padanya."
Amanda menatap Azka lurus-lurus. “Aku mohon, rahasiakan pernikahan ini. Jangan sampai Yuni tahu. Jangan buat dia terluka. Kita urus perceraian, anggap aku tak pernah hadir dalam pernikahan kalian!"
Azka memegang kepala, frustrasi. “Amanda, kamu pikir aku bisa hidup tanpa kamu? Aku nggak sanggup! Aku mencintai kamu, bukan Yuni!"
“Kamu harus sanggup, Mas.”
“Jangan gitu, Manda." Suara Azka mulai serak. Ia berdiri, mendekat, mencoba meraih tangan Amanda. Tapi wanita itu mundur satu langkah.
“Jangan sentuh aku,” ujar Amanda tegas. “Aku nggak mau mendengar apa pun lagi. Aku udah dengar cukup banyak kebohongan kamu, Mas”
“Aku minta maaf, Sayang,” ucap Azka lirih. “Tapi aku benar-benar nggak mau kehilangan kamu.”
Amanda menggeleng, air matanya semakin deras. “Kamu sudah kehilangan aku, Mas. Sejak aku tahu semuanya, aku nggak lagi bisa lihat kamu sama seperti dulu.”
Azka mendekat lagi, kali ini memegang lengannya dengan erat. “Tolong jangan pergi, Manda. Aku bisa perbaiki semua ini. Aku janji aku akan jujur, aku akan lakukan apa pun supaya kamu tetap di sini.”
Amanda menatapnya dalam-dalam. Tatapan itu bukan benci, tapi kecewa yang terlalu dalam untuk diucapkan. “Mas, ada hal-hal yang nggak bisa diperbaiki walau kamu berlutut sekalipun. Kebohonganmu udah terlalu jauh.”
Azka menahan napas, lalu perlahan melepas genggaman tangannya. Suasana di ruang itu terasa beku. Lampu gantung di atas meja berayun pelan, memantulkan cahaya lembut yang kini terasa menyakitkan.
Amanda menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Mas, aku mohon satu hal. Jangan cari aku lagi. Anggap aja aku nggak pernah hadir di hidup Mas. Anggap aku cuma mimpi buruk yang sebentar datang dan hilang.”
“Jangan ngomong gitu, Manda,” bisik Azka. “Kamu bukan mimpi buruk. Kamu rumah buat aku.”
Amanda tersenyum samar, tapi air matanya kembali jatuh. “Kalau aku rumah, kenapa Mas masih punya rumah lain?”
Azka terdiam. Tak tahu harus berkata apa.
“Udah, Mas. Cukup. Aku capek.” Amanda mengambil tasnya yang tergeletak di kursi. Tangannya sempat gemetar saat memegang tali tas itu. Ia berdiri tegak, menatap suaminya untuk terakhir kali.
“Terima kasih buat semua kenangan indah selama tiga tahun pernikahan kita," ucap Amanda pelan. “Walaupun semuanya ternyata cuma bayangan. Semua dibangun dari kebohongan.”
Azka berusaha menahan langkahnya, tapi tubuhnya kaku. “Amanda, jangan tinggalkan aku. Aku mohon.”
"Jika Mas memang mencintaiku, biarkan aku pergi. Bersama Mas hanya membuat aku terluka. Membuatku hidup dalam bayangan rasa bersalah karena telah merebut kebahagiaan sahabat sendiri," ucap Amanda.
Azka tak bisa berkata apa-apa lagi. Rasa penyesalan itu menggumpal di dada. Amanda menatapnya sebentar, lalu melangkah pergi.
Langkah kakinya terdengar jelas di lantai marmer. Setiap pijakan seperti gema dari keputusan yang tak bisa ditarik kembali. Saat pintu terbuka, udara malam masuk membawa hawa dingin yang membuat dada Azka sesak.
“Amanda …,” panggil Azka pelan.
Tapi Amanda tak menoleh. Pintu menutup perlahan, meninggalkan Azka berdiri sendirian di ruang yang kini terasa begitu sunyi.
"Sampai bertemu pada takdir terindah dalam versi terbaik kita masing-masing. Aku bahagia pernah mengenalmu dan menjadi bagian dari hidupmu. Aku bahagia bisa sesayang ini padamu, meskipun pada akhirnya kita kembali menjadi dua orang asing."
Azka terdiam lama. Ia memandang meja di hadapannya, dua gelas kopi yang kini dingin, satu belum sempat tersentuh. Di kursi seberang, bayangan Amanda masih terasa seolah duduk di sana, menatapnya dengan mata yang penuh kecewa.
Ia mengusap wajahnya, menahan air mata yang akhirnya tak terbendung. “Tuhan …,” gumamnya lirih. “Kenapa aku sebodoh ini?”
Ia berjalan ke arah pintu, membuka sedikit, berharap Amanda masih di luar. Tapi halaman restoran itu sunyi. Tak ada seorangpun di sana.
Azka jatuh berlutut di depan mobilnya, menggenggam cincin di jarinya sendiri. Cincin yang dulu Amanda pasangkan dengan senyum dan janji, kini terasa seperti belenggu yang menyakitkan.
“Maafkan aku, Manda,” ucap Azka pelan, suaranya nyaris tak terdengar. “Maaf karena aku terlalu pengecut untuk jujur.”
Di kejauhan, hujan mulai turun. Butir-butirnya jatuh di atap, menambah getir pada malam yang seolah ikut menangis bersama mereka.
supaya adil tdk ada yg tersakiti..
amanda dan yuni berpisah saja..
klo terus bersm yuni hanya amanda yg diikiran azka ..hanya u status nathan..
klo terus dengan amanda..azka melepas yuni merampas nathan..bagai mana perasaan yuni apalagi amanda sahabat nya..
kita mah pembaca nurut aja gimana kak authornya..walau baper gemesh😂😂😂