Cerita ini mengisahkan perjalanan lima teman—Aku, Danang, Rudi, Indra, dan Fandi—yang memutuskan mendaki Gunung Lawu. Namun, perjalanan mereka penuh ketegangan dan perdebatan sejak awal. Ketika mereka tiba di pasar aneh yang tampaknya terhubung dengan dimensi lain, mereka terperangkap dalam siklus yang tidak ada ujungnya.
Pasar Setan itu penuh dengan arwah-arwah yang terperangkap, dan mereka dipaksa untuk membuat pilihan mengerikan: memilih siapa yang harus tinggal agar yang lainnya bisa keluar. Ketegangan semakin meningkat, dan mereka terjebak dalam dilema yang menakutkan. Arwah-arwah yang telah menyerah pada pasar itu mulai menghantui mereka, dan mereka semakin merasa terperangkap dalam dunia yang tidak bisa dijelaskan. Setelah berjuang untuk melarikan diri, mereka akhirnya sadar bahwa pasar setan itu tidak akan pernah meninggalkan mereka.
Keputusasaan semakin menguasai mereka, dan akhirnya mereka harus menerima kenyataan bahwa mereka ternyata tidak pernah keluar dari pasar setan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pradicta Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali ke Gunung Lawu
Kami sudah sampai di kaki Gunung Lawu, namun langkah kami terasa berat. Keputusan untuk kembali ke tempat yang penuh dengan ketakutan itu tidak pernah kami anggap ringan. Pasar setan yang dulu kami coba lupakan kini seperti magnet yang menarik kami kembali. Kami merasa ada sesuatu yang belum selesai—sebuah utang yang harus kami bayar, atau mungkin sebuah teka-teki yang harus kami pecahkan.
Di sepanjang perjalanan menuju pendakian, setiap langkah kami semakin dibebani oleh perasaan cemas yang tak terungkapkan. Rasanya seperti ada sesuatu yang mengawasi kami, seperti pasar itu sudah menunggu kedatangan kami. Ada ketegangan di udara, dan kami semua bisa merasakannya—kami tak benar-benar bebas. Kami berusaha untuk terus maju, tetapi seolah ada kekuatan tak terlihat yang menarik kami ke belakang, memaksa kami untuk kembali.
“Apa lo ngerasain itu?” tanya Rudi dengan suara yang terdengar parau. Wajahnya tampak lelah, dan meskipun dia berusaha terlihat tenang, matanya menunjukkan kecemasan yang tak bisa disembunyikan.
“Apa yang lo rasain?” jawab Indra, yang juga tampak tertekan. Sejak kami mulai berjalan, dia tak bisa berhenti melirik ke belakang, seolah takut ada sesuatu yang mengikutinya.
“Ada sesuatu yang ngikutin kita,” jawab Rudi pelan. “Kayak bayangan yang nggak bisa kita lihat, tapi kita bisa ngerasain. Pasar itu, gue yakin, masih ada di sini, ngikutin kita.”
Kami semua terdiam, mencoba mengerti apa yang Rudi maksud. Perasaan itu semakin menguat, semakin nyata. Kami berempat berjalan bersama, tapi kami semua merasa seperti berjalan sendirian, terperangkap dalam ketakutan yang tak terucapkan. Seolah-olah meskipun kami ada di dunia ini, kami masih terikat dengan dimensi lain—dimensi pasar setan itu.
Di tengah perjalanan, Danang berhenti sejenak. Matanya menatap kosong ke arah gunung, dan kami bisa melihat ada kegelisahan di wajahnya.
“Gue nggak tahu lagi,” katanya dengan suara yang hampir hilang. “Setiap kali gue ngerasa hampir nyampe ke puncak, rasanya kayak kita malah mundur. Gimana kalau kita nggak keluar dari sini? Gimana kalau ini semua cuma mimpi buruk yang nggak ada habisnya?”
Indra mengusap wajahnya, merasa semakin cemas. “Jangan ngomong kayak gitu, Danang. Kita pasti bisa keluar dari sini. Kita harus bisa keluar. Kalau kita nggak coba, kita nggak akan tahu.”
Namun, meskipun kata-kata Indra terdengar meyakinkan, kami semua merasakan ketakutan yang sama. Bayangan pasar setan itu seperti mengikuti kami di setiap langkah, mengintai dari setiap sudut, menunggu waktu yang tepat untuk mengambil kami kembali. Meskipun kami sudah berusaha untuk melarikan diri, kenyataan bahwa kami kembali ke sini seperti sebuah panggilan yang tak bisa ditolak.
Perasaan itu semakin jelas ketika kami mendekati jalur pendakian yang familiar—jalur yang sama yang membawa kami ke pasar setan itu dulu. Udara semakin dingin, dan kabut tebal mulai turun, menutupi pandangan kami. Rasanya seperti dunia ini sedang berubah. Kami berjalan semakin pelan, seolah tempat itu semakin terasa asing, meskipun kami tahu jalur ini dengan sangat baik.
“Gue ngerasa kayak kita bakal balik ke tempat yang sama lagi,” kata Rudi, suaranya parau. “Kita nggak bakal pernah lepas dari pasar itu. Semua yang terjadi—apa kita benar-benar bisa keluar?”
Indra menatap Rudi, matanya penuh kecemasan. “Jangan ngomong gitu. Kalau kita terus mikirin itu, kita nggak bakal bisa maju. Kita harus yakin, kita harus percaya kalau kita bisa keluar dari sini.”
Tapi dalam hati kami, kami tahu. Kepercayaan itu mulai rapuh. Pasar setan itu seperti perangkap yang tak bisa dibuka. Meskipun kami berjalan maju, rasanya kami tidak benar-benar bergerak, seolah kami sedang terperangkap dalam ilusi.
Danang menghela napas panjang, matanya menatap jalan yang semakin gelap. “Gue nggak tahu, guys. Setiap kali kita terjebak dalam bayangan itu, setiap kali kita berusaha lari, semakin kita ngerasa kayak jalan kita nggak ada ujungnya. Kita cuma muter-muter di tempat yang sama.”
Tiba-tiba, sebuah suara keras terdengar dari balik kabut. Kami semua terdiam, saling melirik dengan ketakutan. Suara itu, suara yang seperti tawa yang familiar—tawa yang menggelikan, tetapi menakutkan. Suara itu terdengar semakin jelas, semakin dekat. Kami semua tahu suara itu. Itu adalah suara yang pernah kami dengar di pasar setan.
“Gue denger itu,” kata Indra dengan suara gemetar. “Itu… itu tawa yang sama. Kenapa bisa ada di sini? Kita udah jauh dari pasar itu, kenapa masih ada suara itu?”
Kami semua berlari, berusaha menghindar dari suara itu. Tetapi suara tawa itu semakin keras, semakin menguasai pikiran kami. Kami merasa seolah-olah pasar itu kembali hidup, menunggu kami. Kami berlari semakin cepat, tapi semakin kami berlari, semakin kami merasa seperti kembali ke tempat yang sama—ke pasar setan yang tidak pernah kami tinggalkan.
Kami akhirnya berhenti, kelelahan dan hampir putus asa. Kami berdiri di tengah jalur pendakian, mencoba mencerna semua yang baru saja terjadi. “Kita nggak bisa terus begini,” kata Rudi, suaranya penuh keputusasaan. “Pasar itu masih ada di sini. Apa kita benar-benar terjebak?”
Aku menatap mereka semua, dan untuk pertama kalinya, aku merasakan apa yang mereka rasakan. Kami semua terjebak dalam perasaan yang sama—rasa takut yang tak bisa dihindari, bayangan pasar setan yang tak bisa dihindari. Kami merasa seperti kami tidak pernah benar-benar keluar. Kami sudah berada di dunia ini, tetapi bagian dari diri kami masih terjebak di sana.
“Apa yang kita lakukan sekarang?” tanya Indra, suaranya penuh kecemasan. “Kita udah sampai di sini, tapi rasanya kita malah semakin dekat ke pasar itu lagi.”
Danang menunduk, seolah mencoba mencari jawaban yang tak bisa ia temukan. “Kita harus kembali, kan? Kalau nggak, kita nggak akan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
Aku mengangguk pelan. Meskipun kami merasa lelah, meskipun ketakutan itu semakin besar, kami tahu bahwa kami tidak bisa mundur lagi. Kami harus kembali ke pasar itu, untuk mencari jawaban, untuk mencari cara untuk mengakhiri semua ini. Tidak ada jalan lain.
Kami berdiri bersama, saling memandang dengan perasaan yang berat. Kami tahu perjalanan ini tidak akan mudah. Kami tahu ketakutan itu akan terus mengikuti kami. Tetapi kami tidak bisa membiarkan pasar itu menang. Kami harus mencari cara untuk keluar, meskipun kami tidak tahu apakah itu mungkin.
Dengan langkah yang penuh keraguan, kami melanjutkan perjalanan kami. Mungkin pasar itu sudah menunggu, mungkin kami sudah terperangkap dalam lingkaran yang tak berujung. Tetapi kami tidak bisa lagi menahan diri. Kami harus kembali, karena kami tahu hanya dengan itu kami bisa mendapatkan jawaban yang kami cari.
Pasar setan itu mungkin belum selesai dengan kami, tetapi kami akan berjuang. Kami tidak akan menyerah.